Senin, 23 Agustus 2021

 

Konsekuensi Hukum Gagalnya Hibah

Rio Christiawan ;  Dosen Hukum Bisnis dan Keperdataan Universitas Prasetiya Mulya

DETIKNEWS, 18 Agustus 2021

 

 

                                                           

Beberapa minggu belakangan seluruh media yang ada baik cetak, elektronik, maupun media sosial ramai memberitakan mengenai hibah yang rencananya akan diberikan ahli waris dari Akidi Tio sebesar Rp 2 triliun melalui salah satu lembaga negara. Sebagaimana diketahui bahwa rencana hibah tersebut tidak terealisasi, demikian juga setelah dilakukan pemeriksaan bahwa kepemilikan dana di bank dari calon pihak yang memberikan hibah tersebut tidak mencapai jumlah yang rencananya akan dihibahkan tersebut.

 

Pro-kontra terjadi dalam masyarakat sehubungan dengan tindakan pihak kepolisian yang menetapkan pihak yang rencananya akan memberikan hibah tersebut sebagai tersangka. Artikel ini tidak akan secara khusus mengulas mengenai proses hukum tersebut, namun akan membahas mengenai aspek hukum dari tindakan hibah maupun konsekuensi hukumnya jika hibah yang direncanakan tersebut tidak terjadi.

 

Hibah secara hukum diatur dalam Pasal 1666 KUH Perdata, yakni hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Jika melihat dari rumusan Pasal 1666 KUH Perdata, maka sudah jelas dan terang benderang bahwa hibah masuk ranah keperdataan.

 

R Subekti (1980) menjelaskan bahwa undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup. Konsekuensi dari tidak terjadinya hibah yang direncanakan tersebut secara hukum telah jelas diatur dalam Pasal 1683 KUH Perdata, yakni tiada suatu penghibahan pun mengikat penghibah atau mengakibatkan sesuatu sebelum penghibahan diterima dengan kata-kata tegas oleh orang yang diberi hibah atau oleh wakilnya yang telah diberi kuasa olehnya untuk menerima hibah yang telah atau akan dihibahkannya itu.

 

Penegasan penerimaan hibah tersebut harus dilakukan melalui akta notaris sebagaimana disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 1682 KUH Perdata. Artinya dalam hal ini jika terdapat pelanggaran Pasal 1666 juncto 1683 KUH Perdata tersebut harus diselesaikan melalui mekanisme keperdataan, mengingat benda/aset yang akan dihibahkan tersebut secara sah masih dimiliki oleh pihak yang yang akan menghibahkan.

 

Jika pada hari yang telah ditentukan hibah tidak terjadi termasuk disebabkan karena tiadanya benda/aset yang akan dihibahkan tersebut, maka sepanjang hibah tersebut belum dituangkan dalam akta notaris, maka tidak memiliki konsekuensi hukum mengingat sesuai Pasal 1682 dan 1683 hibah dianggap belum terjadi.

 

Sebaliknya jika telah dibuat perjanjian hibah, namun pihak yang akan memberikan hibah gagal memenuhi janjinya, maka menimbulkan konsekuensi hukum keperdataan yakni cidera janji ( wanprestasi) sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata. Pada tahap ini secara hukum jelas tiadanya unsur pidana pada gagalnya hibah.

 

Termasuk dalam hal ini jika yang dimaksud oleh pihak yang memberikan hibah adalah benda/aset yang baru akan ada di kemudian hari, maka konsekuensinya adalah batalnya hibah itu sendiri sebagaimana dimaksud Pasal 1667 ayat (2). Kecuali, secara tegas pemberi hibah menyatakan seolah-olah benda/aset itu telah ada dan telah menuangkan dalam akta hibah sebagaimana dimaksud dalam 1682 dan 1683 KUH Perdata. Namun pada kenyataannya benda/aset yang dihibahkan tersebut belum ada atau belum menjadi milik sah dari pihak yang memberikan hibah tersebut, maka dalam hal ini terkadung unsur pidana pada tindakan hibah tersebut.

 

Hibah Wasiat dan Unsur Pidana

 

Selain hibah sebagaimana diatur dalam Pasal 1666 yang telah dijelaskan di atas, pada KUH Perdata dikenal juga jenis hibah wasiat yang diatur dalam Pasal 957, yakni hibah wasiat ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua barang-barang dan macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barangnya.

 

Kondisi hibah wasiat ini berlaku apabila pemilik benda/aset yang akan dihibahkan tersebut sudah meninggal dunia, artinya hibah wasiat akan direalisasikan oleh ahli waris dari pemilik sah benda/aset yang akan dihibahkan tersebut.

 

Eggens (1961) menjelaskan bahwa makna hibah wasiat adalah gabungan dari dua peristiwa hukum yakni hibah dan wasiat; hibah merujuk pada bab tentang penghibahan KUH Perdata, dan wasiat merujuk pada bab tentang waris.

 

Konstruksi hibah wasiat adalah adalah wasiat dari pihak yang meninggalkan benda/aset sebagai warisan untuk dihibahkan oleh ahli warisnya kepada pihak yang ditunjuk. Jadi dalam hal ini jika ahli waris yang ditunjuk lalai atau menyimpangi isi wasiat tersebut, maka selain dapat menimbulkan konsekuensi keperdataan juga dapat menimbulkan konsekuensi pidana, mengingat benda/aset yang akan dihibahkan tersebut bukanlah milik sah dari ahli waris yang akan melakukan hibah wasiat tersebut.

 

Penyimpangan penggunaan benda/aset warisan yang bukan milik sah dari ahli waris tersebut akan berimplikasi pada konsekuensi pidana dengan syarat bahwa pihak yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan tersebut membuat surat wasiat sebelum meninggal. Tiadanya surat wasiat akan menggugurkan unsur pidana karena ahli waris dianggap sebagai pemilik sah atas seluruh atau sebagian benda/aset warisan tersebut.

 

Mengingat secara hukum hibah wasiat merujuk pada dua hal, yakni hibah dan wasiat, maka penentuan ada maupun tiadanya unsur pidana ditetapkan oleh dua hal, yakni ada atau tiadanya surat wasiat yang menyatakan bahwa pihak yang meninggal menyerahkan warisannya kepada pihak lain melalui mekanisme hibah dengan menyebut secara pasti jumlah, bentuk maupun hal spesifik lainnya. Demikian juga unsur lainnya apakah sudah terpenuhi unsur perjanjian hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1682 dan 1683 KUH Perdata.

 

Penetapan unsur pidana sehubungan dengan hibah wasiat akan sangat tergantung dipenuhinya kedua unsur tersebut. Sifat kedua unsur tersebut adalah kumulatif yang artinya kedua unsur tersebut (unsur hibah dan surat wasiat) harus terpenuhi untuk menentukan unsur pidana. Artinya jika tidak terpenuhi salah satu maupun keduanya, maka akan menggugurkan unsur pidana sehubungan dengan hibah wasiat tersebut.

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5686478/konsekuensi-hukum-gagalnya-hibah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar