Prioritas
dalam Peta Jalan Pandemi Djoko Santoso ; Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga;
Ketua Badan Kesehatan MUI Jawa Timur; Penyintas Covid-19 |
KOMPAS, 25 Agustus 2021
Mengendalikan
liarnya pandemi Covid-19, harus diakui, tidaklah semudah mengucapkannya.
Bahkan sebaliknya, virus korona-lah yang masih ”mengendalikan” kita. Seluruh
gerak kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara kita mau tak mau terus
dibatasi. Anggaran rumah tangga individu hingga anggaran negara juga
ditumpahkan agar kita bisa bertahan dari serbuan virus SARS-CoV-2. Agresi
brigade varian Delta yang paling ganas saat ini, masih terus menebar maut.
Sudah lebih dari sebulan, sejak 11 Juli 2021, angka kematian harian lebih
dari 1.000 orang. Sudah sebulan pula angka kematian kita menjadi juara dunia. Meskipun
saat Hari Kemerdekaan Ke-76 RI tahun ini angka penambahan harian sudah turun
ke 20.741, angka kematian tetap tinggi, yakni 1.180 orang. Angka
puncak penambahan harian 56.757 pada 15 Juli dan kematian 2.069 pada 27 Juli
lalu. Bandingkan saat dimulai pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat
(PPKM) Darurat Jawa-Bali 3 Juli. Saat itu tercatat kasus harian 27.913 dan
kematian 493 orang. Kita
sebenarnya telanjur senang mendengar penegasan Menko Bidang Kemaritiman dan
Investasi Luhut B Pandjaitan, komandan PPKM darurat, bahwa situasi
”sangat-sangat terkendali”. Bahkan, menantang siapa yang menyatakan belum
terkendali, ”Bisa datang ke saya, nanti saya tunjukin ke mukanya bahwa kita
terkendali,” katanya dalam jumpa pers daring 12 Juli. Hasilnya? PPKM
yang mestinya selesai 19 Juli terus diperpanjang. Sekarang sampai 23 Agustus.
Entah sampai kapan panjang-memanjangkan ini dilangsungkan. Dan, angka
penambahan kasus dan kematian baru belum bisa juga dijinakkan meskipun tes
mengalami pengurangan. Kenyataan
pahit yang harus juga kita lihat adalah anggaran negara kian banyak tambalan
utang. Pada pidato penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN 2022, Presiden Jokowi
menyatakan Surat Berharga Negara neto yang akan diterbitkan di 2022 mencapai
Rp 991,3 triliun. Artinya, itu tambahan utang negara. Padahal utang posisi
Mei 2021 sudah 415 miliar dollar AS (sekitar Rp 6.017 triliun). Sedihnya,
anggaran untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022, yang di dalamnya
termasuk belanja kesehatan untuk penanganan Covid-19, turun drastis. Yakni,
sebesar Rp 321,2 triliun, turun 56,8 persen dari tahun ini yang Rp 744,45
triliun. (Jauh lebih besar biaya bunga utang yang Rp 405,9 triliun!) Alokasi
anggaran itu menandakan cara pandang baru. Seperti disampaikan Menteri
Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Presiden memberikan arahan kepada jajaran
menterinya agar segera menyusun peta jalan (roadmap) bagaimana ke depan
menjalani kehidupan dengan situasi pandemi Covid-19 (Kompas, 9/8/2021).
Asumsinya, pandemi tidak bisa sepenuhnya dikendalikan dalam waktu singkat. Peta
jalan meliputi target vaksinasi, hingga penyesuaian aktivitas ekonomi di
tengah pandemi. Dalam hal vaksinasi, untuk wilayah Jawa-Bali, pemerintah
menargetkan minimal tercapai 70 persen vaksinasi hingga akhir September. Secara
praktis, Menkes akan membuat proyek percontohan yang mengatur penerapan
protokol kesehatan secara digital di enam sektor: perkantoran, kawasan
industri, perdagangan, pendidikan, keagamaan, transportasi, pariwisata.
Rencana menyusun peta jalan ini mungkin karena melihat perkembangan positif
pada Agustus ini, khususnya di DKI dan Bali. Angka
pertambahan kasus harian cenderung stabil menurun, tingkat keterisian tempat
tidur (bed occupation rate/BOR) rumah sakit (RS) dan RS darurat di DKI makin
turun, ruang ICU tidak lagi penuh pasien, dan vaksinasi diklaim sudah
mencapai 70 persen di DKI dan Bali. Momentum
lainnya adalah pengumuman BPS, bahwa kuartal II-2021 pertumbuhan ekonomi
mencapai 7,07 persen dibanding kuartal II-2020. Pengumuman BPS ini membuat
pemerintah langsung percaya diri, dan cepat-cepat mau menyusun peta jalan
hidup berdampingan dengan pandemi, yang disebutnya sebagai ”normal baru era
vaksinasi” (Kompas, 15/8/2021). Menteri
Perdagangan M Lutfi dan Menkes menjelaskan skenarionya. Dalam kurun 10-16
Agustus, pemerintah menguji coba pembukaan 138 pusat perbelanjaan di Jakarta,
Bandung, Surabaya dan Semarang. Syaratnya, kapasitas pengunjung dibatasi
hanya 25 persen dan harus sudah divaksin, area hiburan dan bermain tetap
ditutup, warga lansia di atas 70 tahun dan bayi di bawah dua tahun dilarang
masuk. Selanjutnya mulai 16 Agustus akan dilanjutkan mengizinkan industri
yang berbasis ekspor dibuka kembali 100 persen dengan ”sejumlah syarat yang
ketat”. Prioritas pengendalian pandemi Perintah
Presiden untuk menyusun peta jalan hidup normal baru berdampingan dengan
pandemi ditindaklanjuti para menterinya dengan melakukan pelonggaran pada
aktivitas ekonomi. Pilihan prioritasnya pada sektor industri khusus berbasis
ekspor. Itu menunjukkan langkah ini lebih mengutamakan mengejar devisa, guna
mencegah merosotnya cadangan devisa. Sementara,
pilihan membuka pusat perbelanjaan menunjukkan pemerintah lebih ingin segera
menyelamatkan pelaku usaha skala besar. Pilihan economic oriented ini
mengingat karena keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara sangat
tergantung roda perekonomian. Selama
1,5 tahun pandemi, ekonomi berantakan sampai resesi. Ekspor berhenti, impor
obat dan peralatan medis meningkat, cadangan devisa merosot, pendapatan
negara anjlok, pemerintah terpaksa tambah utang baru. Oleh
karena itu, bisa dipahami jika pemerintah seperti tak tahan lagi untuk segera
memutar roda perekonomian. Maka, perintah menyusun peta jalan langsung
disambar sebagai peluang untuk segera membuka mal, pusat perbelanjaan, dan
industri berbasis ekspor. Harapannya,
eksportir bisa segera menambah devisa, dan pelaku usaha skala besar bisa jadi
lokomotif pertumbuhan yang selanjutnya akan menarik pelaku usaha lainnya yang
skalanya lebih kecil. Empat dekade lalu, para ekonom menyebutnya trickle down
effect. Masalahnya,
kebijakan yang lebih condong ke ekonomi ini bisa dipandang kurang tepat,
khususnya dari sisi pandang kesehatan masyarakat. Jika tak hati-hati,
cepatnya pelonggaran kembali aktivitas ekonomi ini malah berpotensi menjadi
bumerang. Bisa memukul balik pencapaian positif yang sudah nampak selama satu
bulan terakhir ini, khususnya di Jawa dan Bali. Pemerintah
perlu diingatkan agar mempertimbangkan kembali kebijakan pelonggaran yang
terlalu cepat ini. Belum waktunya menyusun peta jalan hidup berdampingan
dengan pandemi economic oriented, sebab pandeminya saja belum terkendali.
Justru yang lebih penting adalah menyusun peta jalan penguatan pengendalian
pandemi dulu. Misal,
ditargetkan hingga Desember 2021, pandemi bisa dikendalikan. Setelah
pandeminya bisa dikendalikan, kasusnya turun dan kurvanya sudah landai,
barulah kemudian menyusun peta jalan hidup berdampingan dengan pandemi. Ibaratnya,
”sembuh” dulu baru bisa mulai bekerja dengan cepat. Jika
terlalu cepat melakukan pelonggaran, hal itu sangat berisiko meningkatkan
kembali penularan karena faktanya sampai sekarang belum terkendali. Betul
sekarang kurva kasus tambahan hariannya menurun (dengan tes yang dikurangi),
tetapi masih sementara dan sangat sensitif terhadap faktor pemicu. Apalagi
kematian harian masih tinggi. Aktivitas
kerumunan dalam bentuk apapun, sangat potensial memicu peningkatan penularan,
sepanjang belum tercapai kekebalan kelompok (herd immunity). Ketergesaan
mengizinkan dibukanya usaha berbasis kerumunan seperti mal dan pusat
perbelanjaan, dikhawatirkan akan meningkatkan penularan dan menyulitkan
pengendalian. Pada akhirnya akan semakin lama, melelahkan, dan makan lebih
banyak biaya. Langkah lebih realistis Para
ahli kesehatan terus mencari cara mengendalikan yang tepat dan efisien,
bahkan untuk membasmi virus penyebab Covid-19. Namun, virus ini makhluk hidup
dengan spesifikasi tertentu, yang juga punya mekanisme mutasi untuk bertahan
dari pemusnahan. Karena
upaya pembasmian terus-menerus, virus ini justru memutasi diri jadi lebih
pintar, dan terus menyerang dengan lebih ganas. Mutasi varian Delta adalah
varian terganas hari ini, yang bisa jadi di kemudian hari muncul generasi
baru yang lebih ganas lagi. Kita
belum bisa mengendalikan, apalagi memusnahkan sepenuhnya. Dalam situasi
seperti ini, kembali ke kehidupan normal seperti sebelum pandemi, bisa
dikatakan hanya mimpi. Padahal, kehidupan harus berjalan terus dan tak
mungkin selamanya jaga jarak dengan ketat. Maka,
muncullah usulan yang dianggap lebih realistis, yaitu bagaimana bisa hidup
berdampingan dengan pandemi. Beberapa negara dan wilayah berhasil
mengendalikan laju virus. China (termasuk Hong Kong), Eslandia, dan Selandia
Baru adalah contoh negara yang berhasil mengendalikan sementara laju korona,
sejak pra-vaksinasi. Andalannya adalah kontrol perbatasan yang ketat,
pemakaian masker, menjaga jarak fisik, memperbanyak tes pengujian, dan
pelacakan kontak. Bukan malah mengurangi tes demi memberi gincu menor pada
kurva perkembangan Covid-19. Mengacu
pada sejarah, bukan hal mustahil untuk hidup berdampingan secara lebih aman
dengan pandemi Covid-19. Kita dulu diserang wabah cacar dan polio. Berdasar
kajian sejarah dan hasil studi, ada bukti bahwa dunia telah diserang wabah
cacar sejak 3.000 tahun lalu. Artinya,
selama 3.000 tahun manusia telah hidup berdampingan dengan cacar, dan baru
berhasil memusnahkan sepenuhnya di era 1970-an. Cara pencegahannya kurang lebih
sama dalam wabah: jaga jarak, pisahkan yang sakit dari yang sehat, serta
rawat yang sakit. Contoh berikutnya polio, yang hampir bisa diberantas
sepenuhnya. Dua dari tiga serotipe virus polio telah diberantas secara
global, dan kasus virus polio liar turun 99 persen dalam kurun 1988-2018. Dengan
penanganan yang belum semaju sekarang, masyarakat mulai dipaksa hidup
berdampingan dengan virus cacar (variola) dan polio yang waktu itu juga
sangat berbahaya. Tiga dari 10 penderita cacar akan mati. Satu dari 200
penderita polio lumpuh permanen; dan 15-20 persen penderita kelumpuhan
meninggal. Tapi manusia tak mengalami ”pemusnahan” karena dengan akal dan
budi, selalu punya metode mencegah penularan. Cara
pencegahan meluasnya wabah kurang lebih sama: jaga jarak, pisahkan yang sakit
dari yang sehat, rawat yang sakit. Covid-19 juga ditangani dengan metode
standar karantina itu (plus masker, tes, dan pelacakan). Kemudian ditambah
vaksinasi, lambat laun polio dan cacar itu menghilang. Edward Jenner memulai
pencegahan dengan vaksinasi pada 1796. Kita
juga melakukan hal yang sama pada Covid-19. Kemajuan iptek membuat penanganan
era sekarang bisa lebih cepat dibanding pada era cacar dan polio dulu.
Terbukti vaksin Covid-19 sudah dikembangkan dalam jangka tak sampai setahun.
Margaret Keenan, 91 tahun, jadi orang pertama yang disuntik vaksin Pfizer di
Inggris pada 8 Desember 2020. Kini sudah ratusan juta orang disuntik vaksin
dalam waktu delapan bulan ini. Sejumlah
pakar di Selandia Baru melakukan studi, membandingkan penanganan wabah polio
dan Covid-19, menggunakan sistem penilaian tiga poin untuk 17 variabel
eliminasi, seperti ketersediaan vaksin, durasi kekebalan, perilaku kesehatan
masyarakat, dan manajemen pengendalian infeksi. Dengan melihat berbagai
variabel ini, mereka menemukan Covid-19 memiliki 28 poin dan polio 26 poin,
dari total 51. Artinya,
keseluruhan penanganan wabah Covid-19 ini hanya sedikit lebih tinggi sehingga
peluangnya tak jauh berbeda dibandingkan penanganan wabah polio beberapa
dekade lalu. Kendala
pemberantasan Covid-19 memang sangat beragam, berbeda di tiap negara dan
wilayah. Ada yang soal narasi (misal, ketidakpercayaan pada vaksinasi dan
lebih percaya hoaks), minimnya kapasitas layanan kesehatan, keterbatasan
anggaran, dan rendahnya kepercayaan pada pemerintah. Poin terakhir ini
menimpa banyak negara, baik negara maju maupun terbelakang. Di
AS, masyarakat tak mempercayai pemerintahan Trump, yang terang-terangan
meremehkan pandemi, hingga akhirnya Trump gagal terpilih kembali. Dalam kadar
dan skala berbeda, ini juga terjadi di Indonesia, terutama pada periode awal
pandemi. Pejabat yang mengurusi kesehatan terkesan meremehkan dan tidak cepat
tanggap, dan kemudian diperparah oleh kasus penggarongan bantuan sosial untuk
korban pandemi. Untuk
memulihkan kepercayaan, sudah saatnya lebih tenang dalam menyusun peta jalan
untuk berdampingan dengan pandemi. Susun dulu langkah-langkah penguatan
penanganan pandemi dengan tetap mengutamakan sisi kesehatan. Turunkan dulu
kurva keterjangkitan dan kematiannya dengan serius sebagaimana panduan WHO. Gencarkan
vaksinasi lengkap sehingga bisa memadai untuk menuju herd immunity. Untuk
saat ini, jangan langsung ”memanglimakan” ekonomi berbasis kerumunan yang
berisiko memperparah pandemi. Kecuali kita sudah makin mati rasa ketika
ditunjukkan ke kita korban keterjangkitan dan mati akibat Covid-19 yang masih
tinggi. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/25/prioritas-dalam-peta-jalan-pandemi/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar