Senin, 30 Agustus 2021

 

Pemilu 2024 dan Nagara Rimba Nusa

Budiman Tanuredjo ;  Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 28 Agustus 2021

 

 

                                                           

”Kita harus ada keberanian untuk memindahkan ibu kota, memisahkan pusat pemerintahan dari pusat keuangan, perdagangan, industri, teruskan Pak.”     Menteri Pertahanan Prabowo Subianto

 

Dukungan terbuka Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu disampaikan pada Selasa (24/8/2021). Prabowo diajak Presiden Joko Widodo melihat sodetan akses jalan menuju calon ibu kota negara di Kalimantan Timur. Gagasan pemindahan ibu kota negara timbul tenggelam.

 

Sejak Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan pada pemerintahan Presiden Jokowi, gagasan itu muncul lagi. Padahal, dalam masa kampanye Pemilihan Umum 2019, debat calon presiden, kampanye partai politik, gagasan pemindahan ibu kota negara rasa-rasanya tak pernah terdengar. Tidak ada juga calon presiden atau partai politik yang menjanjikan pemindahan ibu kota. Ibu kota baru di Penajam, Kalimantan Timur, direncanakan diberi nama Nagara Rimba Nusa.

 

Memindahkan dan membangun ibu kota negara adalah proyek mercusuar tahun jamak (multiyears) yang membutuhkan dana besar. Ide itu digagas dalam situasi keuangan negara yang terkuras karena Covid-19. Akan tetapi bisa saja ada pemikiran, akan ada pihak asing atau pengusaha yang mau bergotong royong membangun ibu kota baru.

 

Pindahnya ibu kota, jika terlaksana, bisa menjadi legacy pemerintahan Presiden Jokowi. Namun, pemindahan ibu kota jangan sampai menghilangkan memori sejarah dan akar sejarah bangsa ini. Beban Jakarta memang berat. Tidak ada yang membantah. Namun, apakah memindahkan ibu kota merupakan jawaban dari beratnya permasalahan Jakarta atau lari dari permasalahan. Itu perlu kajian serius.

 

Pemindahan ibu kota membutuhkan dukungan politik berkesinambungan. Dukungan kekuatan politik dan juga dukungan masyarakat, termasuk dunia usaha. Dukungan politik tulus dan berdasarkan studi kelayakan serta dasar hukum yang kuat. Ibaratnya, setiap warga negara yang akan mendirikan rumah atau gedung membutuhkan IMB (izin mendirikan bangunan). Dengan analogi yang sama, memindahkan dan membangun ibu kota negara membutuhkan ”permisi politik” melalui undang-undang. Dan, akan banyak undang-undang yang harus direvisi.

 

Kesinambungan dukungan politik ini menjadi keharusan agar ibu kota negara tidak mangkrak. Perlu ada jaminan berkesinambungan dari pemerintahan setelah 20 Oktober 2024. Pemerintahan baru harus punya komitmen yang sama dengan gagasan pemindahan ibu kota. Kesinambungan dukungan politik harus digalang agar gagasan itu bisa terwujud. Presiden baru setelah Presiden Jokowi harus punya komitmen meneruskan pembangunan ibu kota. Itu bukan hal mudah.

 

Pertemuan pimpinan MPR, sejumlah ketua umum partai politik koalisi, termasuk Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dengan Presiden Jokowi, bisa saja menjadi ajang konsolidasi kekuatan politik pendukung pemerintah. Dengan bergabungnya PAN, koalisi pemerintahan sangat kuat. Koalisi akan menguasai 471 kursi DPR atau 82 persen. Yang tertinggal hanyalah Partai Demokrat (54 kursi) dan Partai Keadilan Sejahtera (50 kursi). Sebanyak 82 persen kursi DPR dikuasai pemerintah.

 

Dibandingkan dengan periode akhir Orde Baru, Golkar mengusai 325 kursi dari 425 kursi DPR. Bahkan, ditambah dengan anggota DPR Fraksi ABRI 75 orang, kekuatan pemerintahan Jokowi masih jauh lebih kuat. Periode terakhir Orde Baru mengontrol 80 persen kursi DPR.

 

Dengan konsolidasi kekuasaan politik—minimal untuk saat ini, karena politik begitu dinamis—semua langkah, tindakan, dan keputusan politik bisa saja dilakukan. Tergantung mau ke mana kekuasaan mau diarahkan. Mau melunasi janji kampanye penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, sangat bisa dilakukan.

 

Mau mengegolkan UU Perampasan Aset mudah dikerjakan ketika pemerintah sedang memburu dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Akan tetapi sebaliknya, mau mengubah konstitusi, membuat undang-undang soal pemindahan ibu kota secara teoretis bisa dilakukan. Praktik politik di Indonesia masih sangat dol tinuku (jual beli) atau transaksional. Faktor kepentingan akan menjadi faktor penentu.

 

Tiada kawan dan lawan abadi dalam politik selain kepentingan. Kredo politik purba itulah yang terjadi. Atas nama gotong royong, yang dulu beroposisi bisa bergabung, yang dulu mengecam dan mencela, kini menjadi pembela. Itulah politik kepentingan, bukan berbasis nilai. Siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana mendapatkannya. Tapi yang pasti, rakyat dengan rasionalitas politiknya akan mengawal.

 

Kembali kepada pembangunan ibu kota, izin prinsip politik berkesinambungan jadi faktor penentu. Kepentingan partai politik bisa berubah ketika tahapan politik 2024 dimulai pada tahun 2022. Komitmen presiden baru dibutuhkan, jangan sampai dalam Pemilihan Presiden 2024, ada capres berkampanye, program ibu kota negara tidak perlu diteruskan. Itu berabe. Akan tetapi jangan demi ibu kota baru, ada pikiran memperpanjang atau memundurkan pemilu dengan alasan kegentingan akibat pandemi Covid-19, menjadi 2027. Hal itu mengingkari demokrasi. Mendengar akal sehat rakyat adalah penting.

 

Djohermansyah Djohan, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), dalam esainya di Kompas, 28 Januari 2020, menulis, skenario paling cepat, asal ada uang, pemindahan ibu kota negara butuh waktu 15 tahun atau tahun 2034. Jika dipaksakan di tahun 2024, sangat berisiko. Untuk pemindahan ibu kota provinsi dengan kasus Kalimantan Selatan dan Maluku Utara butuh waktu 15 tahun. Sejumlah tahapan langkah teknis dan politis dibeberkan Djohermansyah Djohan di Kompas, 28 Januari 2020. Mungkin bisa dibaca kembali.

 

Kini, publik mulai mereka-reka, apa makna pernyataan dukungan Prabowo soal pemindahan ibu kota dalam konstelasi politik 2024. Silakan mereka-reka karena mereka-reka adalah hak setiap orang. ●

 

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/28/pemilu-2024-dan-nagara-rimba-nusa/

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar