Bioetika
Penyuntingan Genom Manusia Ahmad Arif ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 25 Agustus 2021
Penyuntingan
genetika merupakan salah satu puncak kemajuan sains modern. Didukung
teknologi yang kian mangkus seperti gunting genetik CRISPR/Cas9, ilmuwan bisa
mengutak-atik cetak biru penciptaan makhluk hidup, termasuk manusia. Namun,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini mengeluarkan rambu-rambu untuk
mengawasi penyuntingan genom manusia di tingkat embrio. Kenapa saintis perlu
mengikuti anjuran ini? Teknik
penyuntingan gen sebenarnya telah dimulai sejak 1990-an. Prosedur ini dinamai
demikian karena melibatkan upaya menghapus segmen DNA tertentu dan memasukkan
gen baru, baik ke sel germinal maupun sel somatik. Dalam
kasus sel germinal (sel telur dan sperma) dan sel prekursor, penyuntingan
genetik ditransmisikan ke keturunannya. Sedangkan pada sel somatik, merujuk
ke semua sel lain dalam tubuh di luar germinal, modifikasi tidak turun-temurun. Gunting
genetik CRISPR/Cas9 memungkinkan para ilmuwan memotong DNA secara lebih
presisi, murah, dan memungkinkan dilakukan pada semua genom makhluk hidup.
Teknologi ini sudah digunakan untuk menghasilkan tanaman dan ternak
transgenik, selain berpotensi dalam terapi berbagai penyakit kelainan
genetik, sehingga membuat dua penemunya, Emmanuelle Charpentier dan Jennifer
A Doudna, meraih hadiah Nobel Kimia pada 2020. Di
bidang riset biomedis, penyuntingan gen juga memungkinkan pembuatan garis sel
isogenik dan modifikasi hewan untuk digunakan dalam penelitian. Hewan yang
dimodifikasi (dikenal sebagai "chimera") memiliki karakteristik
yang melekat pada tubuh manusia. Dengan demikian, para peneliti memiliki
model kontrol eksperimental yang sangat penting bagi pengetahuan empiris. Teknologi
ini juga memberi iming-iming besar bagi perbaikan kualitas fisik manusia,
karena secara teori, teknik penyuntingan memungkinkan manipulasi gen sehingga
sifat kognitif dan fisik sesuai permintaan yang dapat diturunkan ke individu. Namun,
ada beberapa risiko, misalnya, dengan germline dan pengeditan genom manusia
yang dapat diwariskan, hal ini bisa memodifikasi sifat keturunan yang berarti
bisa memicu dampak secara permanen pula. Bahaya dari rekayasa pengeditan
genom ini menjadi sorotan pada tahun 2018 ketika ilmuwan China, He Jiankui
mengumumkan telah mengedit genom embrio bayi perempuan kembar. Dia
berargumen, pengeditan genom dilakukan agar gen bayi kebal pada infeksi HIV. Rekayasa
genom ini dilakukan He dengan menonaktifkan gen CCR5, yang mengode protein
dan memungkinkan HIV masuk sel. Namun, penonaktifan gen memicu mutasi bagian
lain genom dengan dampak kesehatan tak terduga karena gen CCR5 ternyata
berfungsi melawan infeksi lain, seperti virus West Nile. Penonaktifan ini
membuat gadis kembar itu bisa menjadi rentan penyakit lain. Pada
akhirnya, He dihukum. Selain dipecat dari kampusnya, dia juga dipenjara tiga
tahun dan denda 3 juta yuan atau sekitar Rp 6 miliar oleh otoritas China
karena memakai dokumen etik palsu saat perekrutan responden dan menukar
sampel darah. Sebagai
tanggapan atas kasus ini, WHO kemudian membentuk komite yang terdiri dari
panel multi-disiplin global yang terdiri dari 18 ahli. Komite ini bertugas
mengembangkan standar dan pedoman untuk pengeditan genom manusia. Setelah
hampir tiga tahun bekerja, pada 12 Juli 2021, panel ilmuwan ini menerbitkan
rekomendasi tentang mekanisme tata kelola kelembagaan, nasional, dan global
tentang pengeditan genom manusia. Rekomendasi ini mengatur tata kelola dan
pengawasan pengeditan genom manusia di sembilan area terpisah meliputi
kewajiban pendaftaran pengeditan genom manusia; penelitian internasional dan
perjalanan medis; penelitian ilegal, tidak terdaftar, tidak etis atau tidak
aman; hak milik intelektual; dan pendidikan, keterlibatan, dan pemberdayaan. Sekalipun
tidak secara tegas melarang, rekomendasi tersebut berupaya mendorong tiap
negara membangun kapasitas guna memastikan bahwa pengeditan genom manusia
dilakukan dengan aman, efektif, dan etis. WHO dan Direktur Jenderalnya
diminta mengawasi secara ilmiah dan moral dalam setiap usulan riset terkait
pengeditan genom manusia. Kepala
Ilmuwan WHO, Soumya Swaminathan, saat peluncuran rekomendasi ini mengatakan,
“Saat penelitian global menggali lebih dalam genom manusia, kita harus
meminimalkan risiko dan memanfaatkan cara agar sains dapat mendorong
kesehatan yang lebih baik untuk semua orang, di mana pun.” Teknologi
penyuntingan genom memang telah terbukti menghasilkan beberapa perubahan yang
tidak diinginkan pada gen. Namun, hal ini juga dapat menghasilkan berbagai
hasil yang berbeda bahkan di antara sel-sel dalam embrio yang sama. Eksperimen
para peneliti dari Columbia University yang dipublikasikan di jurnal Cell
pada Oktober 2020 menunjukkan, percobaan laboratorium yang bertujuan untuk
memperbaiki DNA yang rusak pada embrio manusia yang membawa mutasi penyebab
kebutaan, ternyata bisa menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan, seperti
hilangnya sebagian besar kromosom. Dalam
artikel berjudul "Don’t Edit the Human Germline" yang diterbitkan
jurnal Nature (2015), Direktur Eksekutif Sangamo BioSciences di California,
Edward Lanphier dan rekan menyatakan,
pengeditan sel somatik gen adalah alat terapi yang menjanjikan, tetapi
pengeditan sel germinal menjadi berbahaya dan tidak dapat diterima secara
etis. Menurut mereka, risikonya termasuk mutasi acak yang terjadi pada genom
yang dimodifikasi, konsekuensi yang merusak bagi generasi mendatang,
ekstrapolasi prosedur untuk tujuan non-terapi, dan dampak negatif pada
persepsi sosial tentang pengeditan sel somatik. Bagaimanapun
teknologi rekayasa genetika telah berkembang dengan pesat dan berpeluang
memberi banyak manfaat. Namun sebagai
sains yang berpotensi guna ganda (dual use research), teknologi ini harus tetap
harus diawasi oleh rambu-rambu bioetik, terutama jika sudah menabrak batas
penyuntingan pada embrio manusia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar