Otsus
Jilid II Papua dan Dominasi Pemerintah Pusat Meika Arista ; Advokat Lokataru Law and Human Rights Office |
DETIKNEWS, 19
Agustus 2021
Menilik pada
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
yang baru diundangkan pada 19 Juli 2021 lalu, peran dan 'sentralisasi
pengaturan' pemerintahan daerah khusus Provinsi Papua oleh pemerintah pusat
begitu kental terasa. Bagaimana
tidak, setelah adanya perubahan 18 pasal dalam UU Otsus 2001 dan adanya dua
penambahan pasal baru, pemerintah pusat memiliki beberapa kebijakan yang
tidak dapat diganggu gugat oleh masyarakat Papua. Lantas pertanyaannya,
seberapa dominan pemerintah pusat dalam UU Otsus 2021 ini? Jika mencermati
seluruh perubahan dan penambahan yang ada, setidaknya terdapat dua peran
pemerintah pusat yang begitu dominan dan mengesampingkan peran pemerintah
daerah yang seharusnya menjadi pihak utama dalam pelaksanaan pemerintahan di
daerah otonomi khusus Provinsi Papua. Pertama,
terkait dengan pembentukan badan khusus yang diketuai oleh Wakil Presiden
Republik Indonesia. Pada Pasal 68A UU Otsus 2021, dalam rangka sinkronisasi,
harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan Otonomi Khusus dan
pembangunan di wilayah Papua, dibentuk suatu badan khusus yang kemudian
bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Badan khusus
ini diketuai oleh Wakil Presiden dan beranggotakan Menteri Dalam Negeri,
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Menteri Keuangan, serta satu
orang perwakilan dari setiap provinsi di Provinsi Papua sebagai anggotanya. Hal inilah
yang kemudian menampakkan bahwa pemerintah pusat melakukan over-control
penyelenggaraan pemerintahan di daerah Otonomi Khusus Provinsi Papua. Badan Khusus
ini akan mengungkung kebebasan dan keleluasaan pemerintah daerah dalam
menentukan dan membuat kebijakan di daerah otonomi khususnya. Sangat
potensial, akan ada kewenangan yang saling tumpang tindih antara kewenangan
yang dimiliki oleh badan khusus dan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah
daerah, bahkan lebih jauh lagi akan mengurangi dan memangkas kewenangan
pemerintah daerah Provinsi Papua. Sesuai dengan
statement dari Ketua Panitia Khusus RUU Otsus Papua Komarudin Watubun pada
Juli lalu, pembentukan badan khusus ini merupakan simbol kehadiran Istana di
Papua, namun di sisi lain juga merupakan simbol arogansi dan sikap otoriter
pemerintah pusat atas pelaksanaan pemerintahan di daerah otonomi khusus
Provinsi Papua. Kedua, terkait
dengan usulan pemekaran daerah. Pada Pasal 76 UU Otsus 2021, pada ayat (2)
pemerintah pusat kembali menampakkan arogansinya atas usulan pemekaran daerah
di daerah otonomi khusus Provinsi Papua. Pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan
kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan
pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat,
serta mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua dengan memperhatikan
aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber
daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa
yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua. Munculnya
subjek yang dapat mengusulkan adanya rencana pemekaran daerah pada ayat (2)
ini merupakan bentuk lain atas arogansi pemerintah pusat dalam upaya
pemekaran di daerah otonomi khusus Provinsi Papua dalam UU Otsus 2021. Ayat (2)
tersebut kemudian dipertegas kembali dengan pengaturan di ayat (3) Pasal 76
yang mengatur bahwa jika Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
usulan atas pemekaran daerah di Papua, maka pemekaran tersebut dilaksanakan
dengan tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan. Sesuai dengan
Penjelasan Pasal 76 ayat (3) yang dimaksud dengan "tanpa dilakukan
melalui tahapan daerah persiapan" termasuk tanpa harus memenuhi
persyaratan dasar dan persyaratan administratif. Jika
dibandingkan dengan pengaturan pemekaran daerah dalam Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, pemekaran daerah secara detail dan rigid harus
dilaksanakan dengan pemenuhan syarat-syarat dasar dan administratif
sebagaimana diatur mulai dari Pasal 33 hingga Pasal 48 baik berupa pemecahan
daerah maupun penggabungan daerah. Syarat dasar dan syarat administratif
tersebut dimaksudkan untuk memberikan parameter yang jelas kemampuan suatu
daerah sebelum dilakukan pemekaran, sekaligus dengan kemampuan dan kesiapan
masyarakat pada daerah tersebut. Apabila syarat
dan tahapan pemekaran ditiadakan hanya karena subjek yang mengusulkan
pemekaran adalah pemerintah pusat, hal ini tentu akan berimbas pada tataran
pelaksanaan pemekaran dan berdampak langsung kepada masyarakat asli papua
yang merasakan langsung efek dan dampak dari pelaksanaan pemekaran daerah. Apakah
pemerintah pusat tidak memikirkan nasib masyarakat Papua? Akankah persiapan
pemekaran daerah yang seharusnya dijalankan oleh masyarakat Papua dapat
dikesampingkan oleh pemerintah pusat? Jawabannya tentu tidak. Patut diduga
adanya pasal ini merupakan langkah konkret persiapan pembentukan daerah baru
Provinsi Papua Tengah oleh pemerintah pusat yang kemudian akan menjadi agenda
politik dalam rangka eksploitasi alam di Papua dengan dalih percepatan
pembangunan. Selain mengesampingkan kesiapan dan dampak pada masyarakat
Papua, perlu diingat kembali bahwa isu pemekaran daerah ini telah menuai
banyak protes dari berbagai kalangan.
● Sumber
: https://news.detik.com/kolom/d-5688345/otsus-jilid-ii-papua-dan-dominasi-pemerintah-pusat |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar