Senin, 30 Agustus 2021

 

Jebakan Rasa Iba

Iqbal Aji Daryono ;  Penulis, tinggal di Bantul

DETIKNEWS, 24 Agustus 2021

 

 

                                                           

Sore saat saya mulai menulis cerita ini, suasana hati saya sedang tidak nyaman. Orang suruhan yang dipanggil emak saya untuk memangkasi cabang-cabang pohon jati di halaman belakang rumah saya menjatuhkan sepotong kayu, dan kayu itu menimpa atap rumah kos-kosan milik tetangga. Pecahlah asbes di teras kosan itu.

 

Tentu saya segera mengontak empunya kos, dan bilang akan segera membetulkan atap asbesnya. Sekilas masalah tampak akan lekas beres. Namun, saya memikirkan sesuatu yang lain, yang lebih memperbesar rasa tidak tenang itu.

 

***

 

Alkisah, di halaman belakang saya ada beberapa batang pohon jati. Dua di antaranya agak mepet dengan batas pekarangan, dan daun keringnya kerap jatuh di halaman kos sebelah. Sebenarnya, para penghuni kos tidak keberatan dengan itu, karena pohon itu bikin halaman kos mereka agak teduh. Tapi, emak saya khawatir cabang-cabang besar itu patah saat kena hujan atau angin, dan mungkin akan fatal akibatnya. Maka, dia pun tiba-tiba memanggil seseorang untuk memangkasi cabang-cabang itu.

 

Yang jadi masalah adalah orang yang dipanggil itu. Namanya Nono, dan dia saudara jauh kami. Sehari-hari dia bekerja sebagai tukang las, tapi orderannya sedang sepi karena pandemi. Maka tempo hari dia sudah dimintai tolong untuk mengecat rumah Emak, dan belakangan Emak agak mengeluh karena hasil garapannya tidak bagus. Sekarang Nono dipanggil lagi, kali ini untuk melakukan jenis pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan las ataupun cat tembok.

 

Ketika saya bertanya kenapa Nono yang dipanggil, Emak menjawab, "Mesakke. Kasihan. Aku tuh cuma mau menolong."

 

Ya sudah, saya maklum saja. Di usianya yang mulai merambat senja, kebahagiaan hati emak saya cuma tiga: beribadah, main sama cucu, dan menolong siapa pun yang bisa dia tolong. Saya pun menunggu saja Nono membereskan tugasnya.

 

Tugas utama Nono memang akhirnya selesai, tapi menyisakan asbes pecah itu. Boro-boro masalah beres semua, ternyata muncul collateral damage yang konsekuensi pembiayaannya lebih besar dari tugas utama. Dari situ saja saya sudah langsung mengambil kesimpulan bahwa Nono tidak cukup terampil dalam bidang panjat-memanjat dan pangkas-memangkas pohon.

 

Dan, seketika saya terkejut sendiri ketika menyadari satu situasi, yaitu jatuhnya kayu di atap tetangga itu cuma peringatan kecil bahwa dalam situasi yang sedikit saja lebih buruk, yang jatuh bukan kayunya, melainkan Nono-nya! Ini membuat saya tiba-tiba bergidik ngeri.

 

Bagaimana tidak ngeri? Pohon jati itu lumayan tinggi, ada kalau cuma sepuluh meter. Nono memanjat sampai pucuk, tanpa alat pengaman apa pun, dan ternyata juga tanpa keterampilan apa pun. Semata-mata karena dia punya otot, pernah melihat orang memotong dahan pohon, dan dia menjalankannya atas suruhan emak saya. Sungguh jatuhnya tubuh Nono dari ketinggian sepuluh meter bukan sebuah risiko yang "jauh".

 

Begitu pikiran itu terlintas di kepala, buru-buru saya bicara dengan emak saya. Lain kali, kata saya, jangan lagi panggil Nono untuk urusan seperti itu. "Lha mesakke je. Kasihan, dia lagi nggak punya pemasukan," begitu lagi-lagi jawab emak saya. Namun kemudian saya sampaikan pelan-pelan bahwa kalau Emak melulu menuruti rasa kasihan, yang akan rugi bukan cuma kami sendiri karena hasil garapan yang buruk. Sebab bukan mustahil itu sikap yang njlomprongke, menjerumuskan, dengan risiko yang bisa-bisa sangat mengerikan.

 

Saya jadi ingat peristiwa bertahun-tahun silam, ketika kakak sepupu saya menjadi korban. Dia meminta orang suruhan untuk menyedot air di sumur rumahnya. Si tukang itu bukan orang yang cukup paham perkara sumur. Tapi dengan percaya diri dia membawa turun mesin kompresor, lalu mulai menyedot air kotor.

 

Tak disangka, itu tindakan bodoh. Asap solar kompresor itu langsung menyembur di sebelah operatornya, di dalam ruang sangat sempit di dasar sumur sana, sehingga dalam hitungan detik tukang itu pasti sadar bahwa semburan asap telah membekap paru-parunya. Dengan sisa napas dia pun berteriak-teriak minta tolong, sepupu saya melesat turun untuk menolong, tapi akhirnya riwayat kedua lelaki itu berakhir di situ gara-gara kebodohan yang terus kami sesali hingga hari ini.

 

Saya tidak hendak bicara tentang arti profesionalisme, karena toh di negeri ini tidak selalu ada sistem yang menjaga profesionalisme pada tempatnya. Tidak ada aturan ketat keselamatan kerja untuk pekerjaan-pekerjaan dalam wilayah informal, tidak ada standar prosedur dan standar keahlian untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tertentu, tidak ada juga mekanisme hukum yang menciptakan efek lanjut untuk membentuk kehati-hatian bersama (kecelakaan kerja dalam wilayah informal selalu selesai dengan uang duka, bukan?).

 

Maka setidaknya saya benar-benar menekankan kepada emak saya bahwa rasa iba, welas asih, compassion, tidak bisa diterapkan semena-mena. Apalagi pada masa kalabendu seperti tahun-tahun ini, ketika ada banyak sekali orang di sekitar kita yang layak diberi iba.

 

Alih-alih bersikap karena iba, saya sendiri lebih memilih menjalankan mekanisme "pasar bebas" untuk soal-soal begitu. Kepada pengamen, misalnya, kalau suaranya jelek tapi tetap memaksa bernyanyi, bahkan memberikan sekeping koin pun saya tak sudi. Tapi kalau ada pengamen yang suaranya enak dan saya terhibur karenanya, tak segan saya masukkan lembaran rupiah jauh di atas kewajaran. Demikian juga untuk polisi cepek di simpang-simpang jalan. Ketika dia memang sangat membantu perjalanan saya, tak pernah saya perlakukan dia sebagai preman jalanan, sebab kadangkala mereka memang lebih berguna daripada polisi sekalipun.

 

Lebih baik memberi lebih kepada orang yang memang keahliannya layak diberi penghargaan, daripada berbagi semata karena rasa kasihan. Dari situ orang-orang yang memang mendatangkan banyak manfaat akan semakin mendapat ruang, semakin berdaya karena peran-peran kebermanfaatan, lalu ruang-ruang profesionalisme akan membentuk dirinya sendiri, dan hasilnya roda ekonomi akan berputar cepat sekali.

 

Di sisi lain, meneteskan oli pada sela-sela roda ekonomi hanya karena rasa iba bisa-bisa malah membuat orang-orang yang tidak kompeten terus nyaman pada posisinya, berada di situ terus tanpa menyadari kekeliruannya, dan kita para pengobral iba sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas kondisi mereka yang tidak pernah beranjak ke mana-mana.

 

***

 

Sampai di situ, tiba-tiba saya kembali terkejut sendiri. Memangnya ada berapa juta manusia di negeri ini yang beruntung bisa bergerak dalam wilayah keahlian mereka? Semua yang saya bayangkan tadi rasa-rasanya hanya berlaku dalam sebuah lanskap situasi yang ideal, yang memberikan banyak pilihan, sehingga orang-orang bisa memilih apakah mereka mau bergerak dalam ruang kompetensi mereka ataukah tidak.

 

Celakanya, dunia yang kita hadapi hari-hari ini adalah dunia yang hanya memberikan sedikit pilihan. Masih mending kalau ada sedikit pilihan. Yang lebih sering terjadi adalah bahkan di depan mata tak lagi ada satu pun pilihan.

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5695104/jebakan-rasa-iba

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar