Wanita
Niqab Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY, 26
Agustus 2021
ADA
tiga pakaian wanita di Afghanistan: burqa, niqab, dan hijab (Lihat foto). "Ibu
Anda pakai yang mana?" tanya saya kepada Abdul Wali. "Pakai
yang hijab," jawabnya. Berarti
wajah ibunda Wali masih terlihat (seperti gambar No.3). "Dua adik
perempuan saya juga pakai hijab," tambahnya. Wali
adalah mahasiswa S-2 di Institut Pesantren Kiai Haji Abdul Chalim (IKHAC)
asal Afghanistan. IKHAC adalah perguruan tinggi baru yang didirikan Prof Dr
KH Asep Abdul Khalim, di Pacet, di kaki gunung Penanggungan, pelosok Selatan
Mojokerto, Jatim. Prof Asep adalah putra salah seorang pendiri NU KH Abdul
Khalim asal Jawa Barat. Institut
ini berada di sebelah pondok pesantren Amanatul Ummah. Yang besar secara
cepat sekali. Sudah lebih 50 hektare lahan kampus dan madrasah itu. (Disway,
4 Maret 2020: Kiai
Haji Abdul Chalim). Kini
ada dua mahasiswa asal Afghanistan yang masih bertahan di situ. Beberapa
mahasiswa lainnya sudah selesai S-1. Sudah kembali ke Afghanistan. IKHAC
memang memberi beasiswa kepada mahasiswa asing dari sembilan negara. Terutama
dari Asia Tenggara: Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Tidak
hanya ibu dan adik-adik Wali yang pakai hijab. "Hampir seluruh wanita di
daerah kami memakai hijab. Jarang yang pakai burqah atau niqab," ujar
Wali. Ia
berasal dari daerah Baghlan, sekitar 200 km di utara Kabul. Yakni di
pegunungan utara. Dari Baghlan ke Kabul ada jalan raya yang memiliki beberapa
terowongan pendek dan satu terowongan panjang –mobil perlu 15 menit berada di
terowongan itu. Ayah
Wali seorang petani, menanam gandum. Ia memiliki sedan Toyota Corolla dan
handphone merek Samsung. Dulu
ketika masih di Afghanistan, HP Wali juga merek Samsung. Itulah merek paling
banyak dipakai di sana. "Sekarang saya ikut orang di sini. Pakai
Vivo," katanya. Lewat
HP itulah Wali tahu perkembangan terbaru di Afghanistan. Tapi Wali pasrah
saja. Sambil terus berdoa agar Afghanistan baik-baik saja. "Keluarga
kami tidak ada yang berpolitik," katanya. Keluarga
Wali adalah suku Pastun warga NU. NU-nya Afghanistan. Disebut NU-A. Alirannya
juga ahlussunnah wal jamaah. Juga mirip NU di sini: memegang ijma' dan qiyas,
di samping Quran dan Hadis. Lambangnya pun mirip-mirip NU kita. Tentu
tidak ada tahlil di Nahdlatul Ulama Afghanistan. Tidak ada walisongo di sana. NU
Afghanistan berdiri tahun 2010. Pendirinya Dr Fazal Ghani Kakar, ulama yang
dekat dengan tokoh-tokoh NU Indonesia. "NU-A sudah punya cabang di
beberapa kota," ujar Wali. Wali
sendiri mendapat tawaran beasiswa di IKHAC dari jalur NU-A. Waktu itu ia
sudah kuliah di University of Kabul. Ia ambil jurusan teknik sipil. Sudah
semester 4. Ia ambil jurusan teknik karena Afghanistan kekurangan insinyur
dan dokter. "Saya
minta saran dari para dosen dan keluarga. Mereka mendorong saya untuk
menerima tawaran beasiswa itu," ujar Wali. Ia
tidak tahu apa-apa tentang Indonesia kecuali dua hal: ibu kotanya Jakarta dan
merupakan negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Kini,
setelah lima tahun di Pacet, Wali sudah mahir berbahasa Indonesia. Juga
bahasa Jawa. "Saya kalau telepon ke keluarga sering terlupa pakai bahasa
Indonesia," katanya lantas tertawa. Saya
menemui Wali kemarin pagi di Pacet. Di asramanya. Lalu kami ngobrol di masjid
kampus. Kami bersila di dekat bedug, Selama lebih 1 jam. Wali
berkulit putih, bermata tajam, berkumis, berjambang, dan berjenggot.
Penampilannya rapi sekali. Bajunya hem lengan pendek yang disetrika licin.
Kumis, jambang, dan jenggotnya pun dicukur rapi. Badannya terjaga langsing.
Kopiahnya putih. Dan ini dia: pakai sarung. "Waktu
datang di Indonesia, tahun 2016, saya membawa 6 pakaian Afghanistan. Sekarang
tinggal satu," katanya. Selebihnya
sudah habis diminta teman-teman baiknya. "Yang sisa satu itu tidak boleh
lagi diminta," katanya. Sekarang hampir sepanjang hari ia memakai
sarung. Sejak
tahun 2016 itu Wali belum pernah pulang kampung. "Tahun lalu ingin
pulang tiba-tiba ada Covid," katanya. Maka
setelah lulus S-1 jurusan ekonomi syariah Wali meneruskan ke S-2 jurusan
manajemen. Kelihatannya Wali memang kerasan di Indonesia. Makanan Indonesia
yang mana pun ia suka. Terutama sekali rawon. Dan nasi goreng. Sesekali
kalau kangen masakan Afghanistan ia masak sendiri. Ada kompor di kamarnya. Ia
suka masak hagei dan mahi. Hagei adalah sebangsa roti lebar itu. Mahi adalah
telur dadar yang diberi macam-macam itu. Di
Indonesia Wali sudah sering diminta khotbah. Pakai bahasa Arab dan Indonesia.
Khotbah di Indonesia beda dengan di Afghanistan yang aliran Hanafi. Di
Afghanistan khotbah murni bahasa Arab. Hanya saja sebelum khotbah selalu ada
ceramah dalam bahasa Parsi atau Pastun. Ceramah sebelum khotbah itu disebut
nasihat. "Jumat di sana ada khotbah dan ada nasihat," ujarnya. Itu
sama dengan Jumatan di Tiongkok. Yang sering saya ikuti. Di provinsi mana
pun. Khotbahnya murni bahasa Arab. Sebelum itu ada nasihat dalam bahasa
Mandarin. Mana
yang terbanyak dipakai wanita di seluruh Afghanistan? Burkah? Niqab? Hijab? Dulu,
20 tahun lalu: Burqah
60 persen. Niqab
30 persen Hijab
20 persen. Sekarang: Burqah
30 persen Niqab
30 persen Hijab
40 persen. Hijab
di Afghanistan berbeda dengan di Indonesia. Di sana tidak ada hijab yang
dipadu dengan celana atau baju ketat. "Hijabnya wajah memang kelihatan
tapi selebihnya pakai abaya –long dress," kata Wali. Wali
belum tahu akan di mana masa depannya. Kawin dengan wanita Indonesia pun
kalau sudah takdir nggak masalah. (Dahlan Iskan) ● |
Sumber : https://www.disway.id/r/1713/wanita-niqab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar