Senin, 23 Agustus 2021

 

Musim Baliho dan Kebangkrutan Etika Politik

Siti Nurul Hidayah ;  Peneliti pada Center for the Study of Society and Transformation, Lulusan Departemen Filsafat UIN Sunan Kalijaga

DETIKNEWS, 20 Agustus 2021

 

 

                                                           

Fenomena iklan politik melalui baliho yang tersebar di seantero negeri membuat publik jengah. Kejengahan itu tentu wajar belaka. Publik kiranya sudah terlalu apatis dengan strategi pemasaran politik para elite yang lebih menonjolkan pencitraan ketimbang gagasan. Apalagi, ajang pamer pencitraan itu justru terjadi berbarengan dengan situasi keprihatinan bangsa akibat amukan virus Korona.

 

Iklan politik dalam baliho itu memang tidak secara eksplisit menyebutkan frasa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Namun, terlalu naif untuk menyangkal bahwa baliho-baliho itu memang semacam "pemanasan" jelang 2024. Pilpres 2024 memang masih lama. Namun, aura persaingan para kandidat calon presiden sudah terasa.

 

Pemilihan Presiden (2024) boleh jadi merupakan etape penting dalam perjalanan demokrasi kita. Pilres 2024 merupakan ajang "perang bintang" para elite politik yang berhasrat menduduki kursi presiden maupun wakil presiden.

 

Pilpres 2024 praktis tidak akan diikuti oleh calon petahana (incumbent) lantaran secara konstitusi Jokowi Widodo tidak boleh lagi maju. Inilah momentum bagi para politisi muda yang selama ini berada di bawah bayang-bayang para politisi senior. Sekaligus, Pilpres 2024 boleh jadi merupakan kesempatan terakhir bagi para politisi berusia 60 tahun ke atas.

 

Maka dari itu, boleh dikata Pilpres 2024 merupakan momen hajatan politik yang strategis, tidak hanya dari sisi elite politik, namun juga bagi pemilih.

 

Dari sisi elite politik, inilah momentum untuk bertarung secara fair dan terbuka lantaran tidak adanya figur dominan. Dari semua nama yang masuk bursa capres dan cawapres sejumlah survei, nyaris tidak ada elite politik yang memiliki elektabilitas dominan. Ini artinya, semua masih memiliki kesempatan yang sama. Sedangkan dari sisi pemilih, Pilpres 2024 kiranya bisa menghadirkan kandidat-kandidat baru yang lebih segar.

 

Sangat Disayangkan

 

Namun, sangat disayangkan manakala fase awal kandidasi capres dan cawapres itu dilakukan dengan memunggungi etika politik. Iklan politik sebagai bagian dari pemasaran politik merupakan keniscayaan dalam sistem demokrasi langsung seperti diterapkan di Indonesia saat ini. Meski demikian, keniscayaan itu tidak lantas menganulir prinsip etika politik sebagai pilar penting demokrasi.

 

Dalam buku Etika Politik, Franz Magnis Suseno menjelaskan bahwa etika politik merupakan prinsip moral tentang baik dan buruk dalam tindakan atau perilaku berpolitik. Etika politik ialah prinsip dasar yang harus dipegang baik oleh elite maupun awam agar politik terjaga martabatnya.

 

Pemasangan baliho politik di tengah situasi keprihatinan bangsa akibat pandemi tidak diragukan merupakan bentuk kebangkrutan etika politik di kalangan elite. Mereka gagal menerjemahkan politik tingkat tinggi (high politics) sebagai perjuangan kemanusiaan yang dimanifestasikan ke dalam sikap simpati dan empati atas penderitaan rakyat. Sebaliknya, mereka terjebak dalam kubangan politik rendahan (low politics). Politik yang semata berorientasi pada kekuasaan.

 

Surplus hasrat kekuasaan itulah yang membuat etika politik mengalami defisit. Fatalnya, sebagai publik kita kerap tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam menghadapi perilaku para elite yang tuna-etika itu. Secara hukum, pemasangan baliho para tokoh politik itu memang absah, dalam artian berizin dan (tentunya) berbayar. Alhasil, kita dipaksa menerima jika ruang publik kita diokupasi oleh wajah-wajah politisi yang selalu mengumbar senyum artifisial itu.

 

Tak Perlu Risau

 

Meski demikian, sebagai rakyat kita sebenarnya juga tidak perlu risau menghadapi fenomena musim baliho politisi ini. Statistik politik nasional selama beberapa tahun ini mencatat bahwa rumus 3D dalam pemasaran politik, yakni "dikenal", "dinilai" dan "dipilih" tidak selalu berjalan secara linier. Artinya, seorang tokoh politik yang dikenal publik belum tentu akan dipilih dalam kontestasi politik.

 

Di panggung politik Indonesia yang dinamis dan nyaris tidak berpola ini, popularitas tidak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas. Maka, biarkan saja para elite politik itu mengumbar syahwatnya pada kontestasi Pilpres 2024. Ratusan atau bahkan ribuan baliho yang mereka pajang di seluruh pelosok negeri ini barangkali memang akan melejitkan popularitas mereka.

 

Namun, yakinlah bahwa popularitas politik yang dibangun dengan perilaku nir-etika tidak akan pernah bisa dikonversikan ke dalam dukungan publik secara organik.

 

Sejarah akan mencatat wajah-wajah yang terpampang di baliho-baliho itu sebagai apa yang disebut oleh Michael Serres sebagai the parasite of democracy. Aktor-aktor politik yang menjadi parasit dalam sistem demokrasi. Mereka mendompleng demokrasi demi melakukan mobilitas vertikal dan meraih kekuasaan. Namun, ketika bangsa didera krisis berkepanjangan mereka absen alias mangkir dalam menyumbang kontribusi.

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5689273/musim-baliho-dan-kebangkrutan-etika-politik

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar