Musim
Baliho dan Kebangkrutan Etika Politik Siti Nurul Hidayah ; Peneliti pada Center for the Study of
Society and Transformation, Lulusan Departemen Filsafat UIN Sunan Kalijaga |
DETIKNEWS, 20
Agustus 2021
Fenomena iklan
politik melalui baliho yang tersebar di seantero negeri membuat publik
jengah. Kejengahan itu tentu wajar belaka. Publik kiranya sudah terlalu
apatis dengan strategi pemasaran politik para elite yang lebih menonjolkan
pencitraan ketimbang gagasan. Apalagi, ajang pamer pencitraan itu justru
terjadi berbarengan dengan situasi keprihatinan bangsa akibat amukan virus
Korona. Iklan politik
dalam baliho itu memang tidak secara eksplisit menyebutkan frasa Pemilihan
Presiden (Pilpres) 2024. Namun, terlalu naif untuk menyangkal bahwa
baliho-baliho itu memang semacam "pemanasan" jelang 2024. Pilpres
2024 memang masih lama. Namun, aura persaingan para kandidat calon presiden
sudah terasa. Pemilihan
Presiden (2024) boleh jadi merupakan etape penting dalam perjalanan demokrasi
kita. Pilres 2024 merupakan ajang "perang bintang" para elite
politik yang berhasrat menduduki kursi presiden maupun wakil presiden. Pilpres 2024
praktis tidak akan diikuti oleh calon petahana (incumbent) lantaran secara
konstitusi Jokowi Widodo tidak boleh lagi maju. Inilah momentum bagi para
politisi muda yang selama ini berada di bawah bayang-bayang para politisi
senior. Sekaligus, Pilpres 2024 boleh jadi merupakan kesempatan terakhir bagi
para politisi berusia 60 tahun ke atas. Maka dari itu,
boleh dikata Pilpres 2024 merupakan momen hajatan politik yang strategis,
tidak hanya dari sisi elite politik, namun juga bagi pemilih. Dari sisi
elite politik, inilah momentum untuk bertarung secara fair dan terbuka
lantaran tidak adanya figur dominan. Dari semua nama yang masuk bursa capres
dan cawapres sejumlah survei, nyaris tidak ada elite politik yang memiliki
elektabilitas dominan. Ini artinya, semua masih memiliki kesempatan yang
sama. Sedangkan dari sisi pemilih, Pilpres 2024 kiranya bisa menghadirkan
kandidat-kandidat baru yang lebih segar. Sangat Disayangkan Namun, sangat
disayangkan manakala fase awal kandidasi capres dan cawapres itu dilakukan
dengan memunggungi etika politik. Iklan politik sebagai bagian dari pemasaran
politik merupakan keniscayaan dalam sistem demokrasi langsung seperti
diterapkan di Indonesia saat ini. Meski demikian, keniscayaan itu tidak
lantas menganulir prinsip etika politik sebagai pilar penting demokrasi. Dalam buku
Etika Politik, Franz Magnis Suseno menjelaskan bahwa etika politik merupakan
prinsip moral tentang baik dan buruk dalam tindakan atau perilaku berpolitik.
Etika politik ialah prinsip dasar yang harus dipegang baik oleh elite maupun
awam agar politik terjaga martabatnya. Pemasangan
baliho politik di tengah situasi keprihatinan bangsa akibat pandemi tidak
diragukan merupakan bentuk kebangkrutan etika politik di kalangan elite.
Mereka gagal menerjemahkan politik tingkat tinggi (high politics) sebagai
perjuangan kemanusiaan yang dimanifestasikan ke dalam sikap simpati dan
empati atas penderitaan rakyat. Sebaliknya, mereka terjebak dalam kubangan
politik rendahan (low politics). Politik yang semata berorientasi pada
kekuasaan. Surplus hasrat
kekuasaan itulah yang membuat etika politik mengalami defisit. Fatalnya,
sebagai publik kita kerap tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam
menghadapi perilaku para elite yang tuna-etika itu. Secara hukum, pemasangan
baliho para tokoh politik itu memang absah, dalam artian berizin dan
(tentunya) berbayar. Alhasil, kita dipaksa menerima jika ruang publik kita
diokupasi oleh wajah-wajah politisi yang selalu mengumbar senyum artifisial
itu. Tak Perlu Risau Meski
demikian, sebagai rakyat kita sebenarnya juga tidak perlu risau menghadapi
fenomena musim baliho politisi ini. Statistik politik nasional selama
beberapa tahun ini mencatat bahwa rumus 3D dalam pemasaran politik, yakni
"dikenal", "dinilai" dan "dipilih" tidak selalu
berjalan secara linier. Artinya, seorang tokoh politik yang dikenal publik
belum tentu akan dipilih dalam kontestasi politik. Di panggung
politik Indonesia yang dinamis dan nyaris tidak berpola ini, popularitas
tidak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas. Maka, biarkan saja para
elite politik itu mengumbar syahwatnya pada kontestasi Pilpres 2024. Ratusan
atau bahkan ribuan baliho yang mereka pajang di seluruh pelosok negeri ini
barangkali memang akan melejitkan popularitas mereka. Namun,
yakinlah bahwa popularitas politik yang dibangun dengan perilaku nir-etika
tidak akan pernah bisa dikonversikan ke dalam dukungan publik secara organik. Sejarah akan
mencatat wajah-wajah yang terpampang di baliho-baliho itu sebagai apa yang
disebut oleh Michael Serres sebagai the parasite of democracy. Aktor-aktor politik
yang menjadi parasit dalam sistem demokrasi. Mereka mendompleng demokrasi
demi melakukan mobilitas vertikal dan meraih kekuasaan. Namun, ketika bangsa
didera krisis berkepanjangan mereka absen alias mangkir dalam menyumbang
kontribusi. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5689273/musim-baliho-dan-kebangkrutan-etika-politik |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar