Senin, 23 Agustus 2021

 

5 Strategi Pembangunan Infrastruktur di Batas Timur Indonesia

Mayor Czi Yusfi Fitrawa ;  Pemenang Lomba Karya Tulis PUPR Favorit 1 Kategori Umum

DETIKNEWS, 19 Agustus 2021

 

 

                                                           

Pendekatan Pembangunan Infrastruktur di Batas Timur NKRI: Sebuah Kajian Konsep

 

Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi', adalah sepenggal lirik lagu berjudul 'Aku Papua' ciptaan Almarhum musisi Franky Sahilatua yang mungkin terdengar cukup akrab di telinga masyarakat Indonesia. Dilihat dari potensi alam yang terkandung dan tersedia di tanah Papua, lirik lagu tersebut memang bukanlah isapan jempol belaka.

 

Bayangan tentang surga kecil yang jatuh ke bumi juga bisa dibuktikan dengan menjelajahi gunung, hutan, lembah, sungai dan pantai yang terhampar di pulau berbentuk seperti burung ini. Akan tetapi, dinamika kehidupan sosial dan politik yang akhir-akhir ini sering bergejolak terutama eskalasi tingkat keamanan di beberapa wilayah di provinsi Papua seakan mengaburkan pandangan kita tentang konsep 'surga', dan seringkali menimbulkan pertanyaan 'apakah benar Papua adalah surga bagi para penduduknya?'. Tentunya konsep surga bagi umat beragama adalah suatu tempat yang indah, aman dan nyaman untuk ditinggali, bukan daerah yang membuat siapa pun was-was atau khawatir akan adanya pihak yang sewaktu-waktu bisa mengklaim dirinya atau organisasinya sebagai pemilik wilayah secara sepihak.

 

Sila ke-5 Pancasila, yaitu 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia' secara harfiah bisa diartikan bahwa rakyat Papua, yang juga rakyat Indonesia juga memiliki hak untuk mendapatkan keadilan sosial dari negara. Dalam rangka mewujudkan keadilan ini, beberapa tahun terakhir Pemerintah Republik Indonesia sangat gencar sekali melaksanakan berbagai macam program pembangunan di Provinsi Papua.

 

Pada tahun 2021 ini, alokasi anggaran pembangunan infrastruktur PUPR untuk provinsi Papua sejumlah Rp 6,19 triliun untuk bidang Sumber Daya Air, jalan, dan jembatan, serta permukiman dan perumahan. Anggaran dengan jumlah yang sangat besar tersebut merupakan komitmen pemerintah terhadap masyarakat Papua, yang bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan, mengurangi indeks kemahalan dan pemerataan pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia.

 

Pada kenyataannya tujuan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah masih belum bisa tercapai secara maksimal. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua, pada Maret 2021 angka kemiskinan di provinsi Papua sebesar 26,86% (terjadi kenaikan sebesar 0,06% dari bulan September 2021), dengan persentase jumlah penduduk miskin di perkotaan sejumlah 4,91% dan di pedesaan sejumlah 35,71%.

 

Tentunya kenaikan angka kemiskinan ini tidak boleh dianggap sebagai hal yang biasa karena merupakan hal yang sangat kontradiktif dengan tujuan berbagai macam program pembangunan di Papua. Akan sangat merugikan bagi Pemerintah apabila kenaikan angka kemiskinan ini dijadikan narasi oleh pihak pihak dan organisasi tertentu untuk mempengaruhi masyarakat Papua agar memilih merdeka atau berpisah dari NKRI karena Pemerintah Indonesia dianggap tidak mampu untuk menyejahterakan masyarakat asli Papua.

 

Di atas kertas, pembangunan infrastruktur tentu akan meningkatkan perekonomian karena dapat memudahkan mobilisasi orang dan distribusi barang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Selain ditinjau dari angka kemiskinan, potret kehidupan masyarakat asli Papua di berbagai wilayah sampai dengan saat ini masih mengalami ketimpangan atau kesenjangan ekonomi dengan masyarakat pendatang. Pemerintah Indonesia perlu kiranya mengambil langkah yang tepat dalam melaksanakan program pembangunan infrastruktur di wilayah Papua.

 

Memperhatikan beberapa kejadian penembakan, demonstrasi dan kerusuhan di tahun 2019 hingga tahun 2021, ancaman disintegrasi bangsa bukanlah sebuah teori belaka, akan tetapi merupakan gerakan nyata dari berbagai kelompok yang terus berusaha untuk mencoba memisahkan Papua dari Indonesia. Dari gambaran dan penjelasan di atas maka didapatkan sebuah rumusan masalah yang perlu mendapatkan solusi penyelesaian, yaitu 'bagaimana pendekatan yang tepat agar pembangunan infrastruktur di wilayah Papua dapat diterima dan bermanfaat bagi masyarakat Papua serta mencegah disintegrasi bangsa?'.

 

Memperhatikan kondisi masyarakat Papua yang sangat lekat dengan kehidupan adat istiadat dan budaya, maka pendekatan yang tepat dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur di wilayah Papua adalah pendekatan budaya atau kultural. Beberapa langkah berikut dapat dijadikan sebagai alternatif atau pilihan dalam membangun infrastruktur di provinsi paling timur Indonesia ini.

 

Pertama, jenis atau macam infrastruktur yang akan dibangun harus memperhatikan dua aspek, yaitu aspek ekonomi dan aspek adat/budaya setempat. Terkadang, jika hanya melihat dari satu sisi saja, misalnya dari aspek ekonomi maka aspek budaya cenderung akan dikesampingkan. Padahal, adat/budaya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Papua (Asaribab, 2020). Salah satu contohnya adalah pembangunan Jembatan Youtefa yang saat ini menjadi salah satu landmark kota Jayapura yang sangat terkenal.

 

Dari aspek ekonomi, jembatan Youtefa sangat membantu akses mobilisasi dan distribusi barang masyarakat karena dapat memangkas waktu yang diperlukan dari kota Jayapura ke distrik Koya yang sebelumnya kurang lebih satu jam apabila melewati daerah Hamadi Pantai, menjadi hanya sekitar dua puluh menit saja. Akan tetapi, di balik kesuksesan ekonomi tersebut, terdapat adat/budaya dari penduduk sekitar yang terancam keberlangsungannya.

 

Adalah Hutan Perempuan kampung Enggros, sebutan untuk hutan bakau di sekitar jembatan Youtefa yang sebelumnya dijadikan tempat untuk para perempuan kampung Enggros melakukan tradisi mencari kerang atau oleh penduduk lokal disebut tradisi 'tonotwiyat', yang selanjutnya akan dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup. Saat ini, kawasan hutan bakau itu sudah banyak tercemar oleh sampah atau limbah akibat dari pembangunan infrastruktur di teluk Youtefa dan mengancam masa depan Hutan Perempuan.

 

Tercatat pada tahun 1967 luas kawasan hutan bakau Teluk Youtefa seluas 514,24 Ha dan pada tahun 2018 menyusut menjadi 233,12 Ha. Terancamnya kondisi hutan bakau ini tentunya akan mengancam tradisi 'tonotwiyat', yang sudah turun-temurun dilakukan sekaligus juga mengancam mata pencaharian penduduk sekitar. Hal tersebut tentunya layak mendapatkan perhatian oleh pemerintah pusat maupun daerah karena pembangunan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup semua golongan masyarakat, bukan hanya golongan tertentu saja.

 

Kedua, semua program pembangunan infrastruktur yang telah ditetapkan atau diputuskan harus disampaikan kepada masyarakat sekitar melalui sosialisasi secara komprehensif, artinya harus menyampaikan dengan jelas apa saja proyek yang akan dikerjakan, apa saja manfaatnya bagi masyarakat dan apa kerugian yang mungkin akan timbul.

 

Berdasarkan data dari BPS Provinsi Papua (update tanggal 22 April 2021), Angka Buta Huruf (ABH) penduduk umur 15-44 tahun adalah sebesar 20,38%. Dari angka tersebut, dapat diartikan bahwa masih terdapat 2 dari 10 orang penduduk Papua yang masih belum bisa membaca, sehingga tidak cukup hanya dengan mengumumkan program pembangunan lewat media cetak atau poster-poster pengumuman di jalan, tetapi juga harus dilakukan melalui komunikasi langsung ke masyarakat mengenai program pembangunan infrastruktur tersebut.

 

TNI Angkatan Darat mempunyai suatu program di bidang Teritorial yang disebut dengan Komunikasi Sosial (Komsos), yaitu cara yang diselenggarakan oleh satuan jajaran TNI AD untuk meningkatkan keeratan hubungan dengan segenap komponen bangsa melalui pendekatan atau cara-cara yang persuasif seperti tatap muka, anjangsana, silaturahmi, sosialisasi, dan penyuluhan.

 

Keberhasilan program ini dapat diukur dari indeks kepercayaan masyarakat terhadap TNI yang menempati posisi pertama sebesar 89%, sesuai dengan Survei Indikator Politik Indonesia tanggal 13-17 April 2021. Berdasarkan hasil tersebut, maka sosialisasi pembangunan infrastruktur oleh pemerintah seyogyanya dilakukan melalui cara komunikasi sosial yang telah dipraktekkan oleh TNI AD untuk mendapatkan kepercayaan dan simpati masyarakat.

 

Akan lebih baik lagi apabila sosialisasi tersebut dilakukan secara sinergis oleh Kementerian PUPR dan TNI AD sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, mengingat personel TNI AD ditempatkan di seluruh wilayah Papua sampai dengan daerah-daerah pedalaman.

 

Beberapa wilayah di Papua masih diberlakukan tradisi 'Bakar Batu', yaitu semacam upacara adat yang harus dilakukan apabila akan dilaksanakan suatu kegiatan. Praktek ini telah dilaksanakan oleh TNI Angkatan Darat setiap saat memulai pembangunan instalasi atau kantor-kantor militer di daerah pegunungan. Dengan selalu melaksanakan tradisi 'Bakar Batu', maka masyarakat akan dapat menerima dengan baik program-program pembangunan infrastruktur yang akan dilaksanakan oleh pemerintah.

 

Ketiga, desain atau rancangan dari konstruksi bangunan seharusnya disesuaikan dengan desain yang berdasar pada budaya atau adat setempat. Asaribab, 2020 mengatakan bahwa kegagalan pembangunan di Papua disebabkan karena tidak berbasis pada kearifan lokal (local wisdom) dan pembangunan hanya diletakkan sebagai kepentingan mengejar penyelesaian program semata.

 

Contoh yang pernah terjadi adalah pembangunan perumahan di daerah pegunungan Wamena yang menggunakan atap berbahan seng. Ketika terjadi hujan deras maka bunyi air hujan yang menimpa seng dapat membuat masyarakat takut dan segera meninggalkan rumah tersebut. Hal tersebut bisa terjadi karena pemerintah tidak memahami budaya masyarakat Papua secara benar sehingga pembangunan yang bertujuan baik terkadang mendapatkan penolakan dari masyarakat.

 

Salah satu desain bangunan yang menggunakan tema budaya lokal adalah bangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Sota di Merauke. Gerbang PLBN yang berbentuk tifa atau alat musik perkusi asli Papua dengan hiasan lampu warna-warni yang indah merupakan representasi adat/budaya lokal Papua. Contoh yang lain adalah kompleks Stadion Papua Bangkit di Sentani, Jayapura yang bangunannya sarat akan motif-motif dan bentuk-bentuk khas budaya Papua. Warna bangunan yang dipilih pun selaras dengan warna-warna khas pakaian adat Papua yang didominasi warna coklat dan merah. Selain bertujuan menumbuhkan rasa memiliki penduduk setempat, desain bangunan yang bertemakan budaya atau adat Papua tentunya akan dapat menarik minat pengunjung dan wisatawan sehingga dapat menjadi tempat destinasi wisata yang akan membuka lapangan pekerjaan.

 

Keempat, tenaga kerja lokal harus diikutsertakan dalam pembangunan infrastruktur, terutama Orang Asli Papua sehingga manfaat pembangunan ini dapat dirasakan oleh warga sekitar dari segi penciptaan lapangan kerja. Sebagaimana kita ketahui, pengangguran merupakan momok atau masalah pokok yang terjadi hampir di seluruh wilayah Papua. Berdasarkan data BPS provinsi Papua, jumlah angka pengangguran pada bulan Agustus 2020 mencapai 75.658 orang, naik 0,77% jika dibandingkan pada bulan Agustus 2019 yang berjumlah sekitar 65.143 orang. Hal ini membuktikan bahwa proyek pembangunan di wilayah Papua yang begitu masif belum tentu dapat menyerap tenaga kerja Orang Asli Papua dengan maksimal.

 

Saat ini, pekerja-pekerja proyek terutama tukang masih didominasi oleh pekerja yang berasal dari Jawa atau Sulawesi. Terlepas dari kualitas Sumber Daya Manusia penduduk setempat di bidang konstruksi yang mungkin masih kurang karena kualitas pendidikan juga masih rendah di provinsi Papua, seharusnya program-program pembangunan infrastruktur ini dapat dijadikan sebagai momen untuk melakukan Transfer of Knowledge atau Transfer of Technology kepada tenaga kerja lokal.

 

Pada Peraturan Presiden Nomor 17 tahun 2019, disebutkan bahwa pemerintah wajib mengutamakan Pelaku Usaha Papua kategori Usaha Mikro dan Usaha Kecil pada pengadaan barang dan jasa di provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan demikian kesempatan bagi Orang Asli Papua untuk mendapatkan pekerjaan di proyek pembangunan infrastruktur juga menjadi lebih besar daripada tenaga kerja dari luar wilayah provinsi Papua dan Papua Barat.

 

Keikutsertaan tenaga kerja lokal pada setiap proyek pembangunan infrastruktur di Papua tentunya akan dapat menangkal segala macam agenda sosial dan politik yang seringkali menyuarakan ketimpangan atau kesenjangan ekonomi antara penduduk asli dengan pendatang, untuk kepentingan segelintir pihak yang dapat menimbulkan instabilitas di segala lini kehidupan masyarakat Papua.

 

Kelima, bangunan infrastruktur yang telah selesai dikerjakan harus dilaksanakan prosesi peresmian dengan melibatkan ketua-ketua suku atau tetua adat di wilayah setempat, bukan hanya diresmikan oleh pejabat pemerintah pusat atau daerah yang datang hanya pada saat bangunan telah rampung dibuat. Pelibatan ketua suku dan tetua adat ini dimaksudkan untuk meningkatkan dan menguatkan rasa memiliki terhadap infrastruktur tersebut.

 

Selain itu, nama bangunan yang dibuat juga sebaiknya menggunakan nama dari bahasa setempat sebagai bentuk penghargaan dari Pemerintah kepada budaya lokal yang ada. Seperti halnya nama-nama bandara di Papua yang mayoritas menggunakan nama pahlawan nasional atau tokoh masyarakat Papua, bangunan infrastruktur yang lain pun juga harus diberi nama yang merepresentasikan penduduk atau budaya Papua. Walaupun terkesan sepele, akan tetapi penggunaan bahasa lokal dalam penamaan bangunan akan sangat berarti bagi masyarakat Papua serta menguatkan pesan bahwa Papua adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Berdasarkan dari pembahasan mengenai pendekatan pembangunan yang tepat di wilayah Papua, maka didapatkan kesan bahwa adat istiadat atau budaya merupakan pusat kehidupan masyarakat Papua. Diperlukan pemahaman, pengertian, rasa menghormati dan menghargai terhadap budaya setempat sebelum program pembangunan infrastruktur dijalankan. Pemerintah perlu mengingat kembali bahwa objek pembangunan infrastruktur adalah masyarakat Papua itu sendiri dan tujuan dari pembangunan infrastruktur tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat Papua serta mewujudkan mimpi 'surga' bagi Orang Asli Papua.

 

Dengan beragam permasalahan yang ada di masyarakat Papua, pembangunan infrastruktur di Papua tidak bisa dibebankan kepada salah satu pihak tertentu. Seluruh pihak baik dari pemerintah pusat maupun daerah serta seluruh lapisan masyarakat mempunyai tanggung jawab terhadap terselenggaranya pembangunan infrastruktur di wilayah Papua. Keberhasilan pembangunan infrastruktur di wilayah Papua akan menjadi modal utama dalam upaya mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5688014/5-strategi-pembangunan-infrastruktur-di-batas-timur-indonesia

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar