5
Strategi Pembangunan Infrastruktur di Batas Timur Indonesia Mayor Czi Yusfi Fitrawa ; Pemenang Lomba Karya Tulis PUPR Favorit 1
Kategori Umum |
DETIKNEWS, 19
Agustus 2021
Pendekatan Pembangunan Infrastruktur di Batas Timur NKRI: Sebuah Kajian Konsep Tanah Papua
tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi', adalah sepenggal lirik lagu
berjudul 'Aku Papua' ciptaan Almarhum musisi Franky Sahilatua yang mungkin
terdengar cukup akrab di telinga masyarakat Indonesia. Dilihat dari potensi
alam yang terkandung dan tersedia di tanah Papua, lirik lagu tersebut memang
bukanlah isapan jempol belaka. Bayangan
tentang surga kecil yang jatuh ke bumi juga bisa dibuktikan dengan
menjelajahi gunung, hutan, lembah, sungai dan pantai yang terhampar di pulau
berbentuk seperti burung ini. Akan tetapi, dinamika kehidupan sosial dan
politik yang akhir-akhir ini sering bergejolak terutama eskalasi tingkat
keamanan di beberapa wilayah di provinsi Papua seakan mengaburkan pandangan
kita tentang konsep 'surga', dan seringkali menimbulkan pertanyaan 'apakah
benar Papua adalah surga bagi para penduduknya?'. Tentunya konsep surga bagi
umat beragama adalah suatu tempat yang indah, aman dan nyaman untuk
ditinggali, bukan daerah yang membuat siapa pun was-was atau khawatir akan
adanya pihak yang sewaktu-waktu bisa mengklaim dirinya atau organisasinya
sebagai pemilik wilayah secara sepihak. Sila ke-5
Pancasila, yaitu 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia' secara
harfiah bisa diartikan bahwa rakyat Papua, yang juga rakyat Indonesia juga
memiliki hak untuk mendapatkan keadilan sosial dari negara. Dalam rangka
mewujudkan keadilan ini, beberapa tahun terakhir Pemerintah Republik
Indonesia sangat gencar sekali melaksanakan berbagai macam program
pembangunan di Provinsi Papua. Pada tahun
2021 ini, alokasi anggaran pembangunan infrastruktur PUPR untuk provinsi
Papua sejumlah Rp 6,19 triliun untuk bidang Sumber Daya Air, jalan, dan
jembatan, serta permukiman dan perumahan. Anggaran dengan jumlah yang sangat
besar tersebut merupakan komitmen pemerintah terhadap masyarakat Papua, yang
bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan, mengurangi indeks kemahalan dan
pemerataan pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Pada
kenyataannya tujuan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah masih belum
bisa tercapai secara maksimal. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Papua, pada Maret 2021 angka kemiskinan di provinsi Papua sebesar 26,86%
(terjadi kenaikan sebesar 0,06% dari bulan September 2021), dengan persentase
jumlah penduduk miskin di perkotaan sejumlah 4,91% dan di pedesaan sejumlah
35,71%. Tentunya
kenaikan angka kemiskinan ini tidak boleh dianggap sebagai hal yang biasa
karena merupakan hal yang sangat kontradiktif dengan tujuan berbagai macam
program pembangunan di Papua. Akan sangat merugikan bagi Pemerintah apabila
kenaikan angka kemiskinan ini dijadikan narasi oleh pihak pihak dan
organisasi tertentu untuk mempengaruhi masyarakat Papua agar memilih merdeka
atau berpisah dari NKRI karena Pemerintah Indonesia dianggap tidak mampu
untuk menyejahterakan masyarakat asli Papua. Di atas
kertas, pembangunan infrastruktur tentu akan meningkatkan perekonomian karena
dapat memudahkan mobilisasi orang dan distribusi barang dari suatu tempat ke
tempat yang lain. Selain ditinjau dari angka kemiskinan, potret kehidupan
masyarakat asli Papua di berbagai wilayah sampai dengan saat ini masih
mengalami ketimpangan atau kesenjangan ekonomi dengan masyarakat pendatang.
Pemerintah Indonesia perlu kiranya mengambil langkah yang tepat dalam
melaksanakan program pembangunan infrastruktur di wilayah Papua. Memperhatikan
beberapa kejadian penembakan, demonstrasi dan kerusuhan di tahun 2019 hingga
tahun 2021, ancaman disintegrasi bangsa bukanlah sebuah teori belaka, akan
tetapi merupakan gerakan nyata dari berbagai kelompok yang terus berusaha
untuk mencoba memisahkan Papua dari Indonesia. Dari gambaran dan penjelasan
di atas maka didapatkan sebuah rumusan masalah yang perlu mendapatkan solusi
penyelesaian, yaitu 'bagaimana pendekatan yang tepat agar pembangunan
infrastruktur di wilayah Papua dapat diterima dan bermanfaat bagi masyarakat
Papua serta mencegah disintegrasi bangsa?'. Memperhatikan
kondisi masyarakat Papua yang sangat lekat dengan kehidupan adat istiadat dan
budaya, maka pendekatan yang tepat dalam melaksanakan pembangunan
infrastruktur di wilayah Papua adalah pendekatan budaya atau kultural.
Beberapa langkah berikut dapat dijadikan sebagai alternatif atau pilihan dalam
membangun infrastruktur di provinsi paling timur Indonesia ini. Pertama, jenis
atau macam infrastruktur yang akan dibangun harus memperhatikan dua aspek,
yaitu aspek ekonomi dan aspek adat/budaya setempat. Terkadang, jika hanya
melihat dari satu sisi saja, misalnya dari aspek ekonomi maka aspek budaya
cenderung akan dikesampingkan. Padahal, adat/budaya adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat Papua (Asaribab, 2020). Salah satu
contohnya adalah pembangunan Jembatan Youtefa yang saat ini menjadi salah
satu landmark kota Jayapura yang sangat terkenal. Dari aspek
ekonomi, jembatan Youtefa sangat membantu akses mobilisasi dan distribusi
barang masyarakat karena dapat memangkas waktu yang diperlukan dari kota
Jayapura ke distrik Koya yang sebelumnya kurang lebih satu jam apabila
melewati daerah Hamadi Pantai, menjadi hanya sekitar dua puluh menit saja.
Akan tetapi, di balik kesuksesan ekonomi tersebut, terdapat adat/budaya dari
penduduk sekitar yang terancam keberlangsungannya. Adalah Hutan
Perempuan kampung Enggros, sebutan untuk hutan bakau di sekitar jembatan
Youtefa yang sebelumnya dijadikan tempat untuk para perempuan kampung Enggros
melakukan tradisi mencari kerang atau oleh penduduk lokal disebut tradisi
'tonotwiyat', yang selanjutnya akan dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Saat ini, kawasan hutan bakau itu sudah banyak tercemar oleh sampah atau
limbah akibat dari pembangunan infrastruktur di teluk Youtefa dan mengancam
masa depan Hutan Perempuan. Tercatat pada
tahun 1967 luas kawasan hutan bakau Teluk Youtefa seluas 514,24 Ha dan pada
tahun 2018 menyusut menjadi 233,12 Ha. Terancamnya kondisi hutan bakau ini
tentunya akan mengancam tradisi 'tonotwiyat', yang sudah turun-temurun
dilakukan sekaligus juga mengancam mata pencaharian penduduk sekitar. Hal
tersebut tentunya layak mendapatkan perhatian oleh pemerintah pusat maupun
daerah karena pembangunan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan taraf
hidup semua golongan masyarakat, bukan hanya golongan tertentu saja. Kedua, semua
program pembangunan infrastruktur yang telah ditetapkan atau diputuskan harus
disampaikan kepada masyarakat sekitar melalui sosialisasi secara
komprehensif, artinya harus menyampaikan dengan jelas apa saja proyek yang
akan dikerjakan, apa saja manfaatnya bagi masyarakat dan apa kerugian yang
mungkin akan timbul. Berdasarkan
data dari BPS Provinsi Papua (update tanggal 22 April 2021), Angka Buta Huruf
(ABH) penduduk umur 15-44 tahun adalah sebesar 20,38%. Dari angka tersebut,
dapat diartikan bahwa masih terdapat 2 dari 10 orang penduduk Papua yang
masih belum bisa membaca, sehingga tidak cukup hanya dengan mengumumkan
program pembangunan lewat media cetak atau poster-poster pengumuman di jalan,
tetapi juga harus dilakukan melalui komunikasi langsung ke masyarakat
mengenai program pembangunan infrastruktur tersebut. TNI Angkatan
Darat mempunyai suatu program di bidang Teritorial yang disebut dengan
Komunikasi Sosial (Komsos), yaitu cara yang diselenggarakan oleh satuan
jajaran TNI AD untuk meningkatkan keeratan hubungan dengan segenap komponen
bangsa melalui pendekatan atau cara-cara yang persuasif seperti tatap muka,
anjangsana, silaturahmi, sosialisasi, dan penyuluhan. Keberhasilan
program ini dapat diukur dari indeks kepercayaan masyarakat terhadap TNI yang
menempati posisi pertama sebesar 89%, sesuai dengan Survei Indikator Politik
Indonesia tanggal 13-17 April 2021. Berdasarkan hasil tersebut, maka
sosialisasi pembangunan infrastruktur oleh pemerintah seyogyanya dilakukan
melalui cara komunikasi sosial yang telah dipraktekkan oleh TNI AD untuk
mendapatkan kepercayaan dan simpati masyarakat. Akan lebih
baik lagi apabila sosialisasi tersebut dilakukan secara sinergis oleh
Kementerian PUPR dan TNI AD sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat,
mengingat personel TNI AD ditempatkan di seluruh wilayah Papua sampai dengan
daerah-daerah pedalaman. Beberapa
wilayah di Papua masih diberlakukan tradisi 'Bakar Batu', yaitu semacam
upacara adat yang harus dilakukan apabila akan dilaksanakan suatu kegiatan.
Praktek ini telah dilaksanakan oleh TNI Angkatan Darat setiap saat memulai
pembangunan instalasi atau kantor-kantor militer di daerah pegunungan. Dengan
selalu melaksanakan tradisi 'Bakar Batu', maka masyarakat akan dapat menerima
dengan baik program-program pembangunan infrastruktur yang akan dilaksanakan
oleh pemerintah. Ketiga, desain
atau rancangan dari konstruksi bangunan seharusnya disesuaikan dengan desain
yang berdasar pada budaya atau adat setempat. Asaribab, 2020 mengatakan bahwa
kegagalan pembangunan di Papua disebabkan karena tidak berbasis pada kearifan
lokal (local wisdom) dan pembangunan hanya diletakkan sebagai kepentingan
mengejar penyelesaian program semata. Contoh yang
pernah terjadi adalah pembangunan perumahan di daerah pegunungan Wamena yang
menggunakan atap berbahan seng. Ketika terjadi hujan deras maka bunyi air
hujan yang menimpa seng dapat membuat masyarakat takut dan segera
meninggalkan rumah tersebut. Hal tersebut bisa terjadi karena pemerintah
tidak memahami budaya masyarakat Papua secara benar sehingga pembangunan yang
bertujuan baik terkadang mendapatkan penolakan dari masyarakat. Salah satu
desain bangunan yang menggunakan tema budaya lokal adalah bangunan Pos Lintas
Batas Negara (PLBN) Sota di Merauke. Gerbang PLBN yang berbentuk tifa atau
alat musik perkusi asli Papua dengan hiasan lampu warna-warni yang indah
merupakan representasi adat/budaya lokal Papua. Contoh yang lain adalah
kompleks Stadion Papua Bangkit di Sentani, Jayapura yang bangunannya sarat
akan motif-motif dan bentuk-bentuk khas budaya Papua. Warna bangunan yang
dipilih pun selaras dengan warna-warna khas pakaian adat Papua yang
didominasi warna coklat dan merah. Selain bertujuan menumbuhkan rasa memiliki
penduduk setempat, desain bangunan yang bertemakan budaya atau adat Papua
tentunya akan dapat menarik minat pengunjung dan wisatawan sehingga dapat
menjadi tempat destinasi wisata yang akan membuka lapangan pekerjaan. Keempat,
tenaga kerja lokal harus diikutsertakan dalam pembangunan infrastruktur, terutama
Orang Asli Papua sehingga manfaat pembangunan ini dapat dirasakan oleh warga
sekitar dari segi penciptaan lapangan kerja. Sebagaimana kita ketahui,
pengangguran merupakan momok atau masalah pokok yang terjadi hampir di
seluruh wilayah Papua. Berdasarkan data BPS provinsi Papua, jumlah angka
pengangguran pada bulan Agustus 2020 mencapai 75.658 orang, naik 0,77% jika
dibandingkan pada bulan Agustus 2019 yang berjumlah sekitar 65.143 orang. Hal
ini membuktikan bahwa proyek pembangunan di wilayah Papua yang begitu masif
belum tentu dapat menyerap tenaga kerja Orang Asli Papua dengan maksimal. Saat ini,
pekerja-pekerja proyek terutama tukang masih didominasi oleh pekerja yang
berasal dari Jawa atau Sulawesi. Terlepas dari kualitas Sumber Daya Manusia
penduduk setempat di bidang konstruksi yang mungkin masih kurang karena
kualitas pendidikan juga masih rendah di provinsi Papua, seharusnya
program-program pembangunan infrastruktur ini dapat dijadikan sebagai momen
untuk melakukan Transfer of Knowledge atau Transfer of Technology kepada
tenaga kerja lokal. Pada Peraturan
Presiden Nomor 17 tahun 2019, disebutkan bahwa pemerintah wajib mengutamakan
Pelaku Usaha Papua kategori Usaha Mikro dan Usaha Kecil pada pengadaan barang
dan jasa di provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan demikian kesempatan bagi
Orang Asli Papua untuk mendapatkan pekerjaan di proyek pembangunan
infrastruktur juga menjadi lebih besar daripada tenaga kerja dari luar
wilayah provinsi Papua dan Papua Barat. Keikutsertaan
tenaga kerja lokal pada setiap proyek pembangunan infrastruktur di Papua
tentunya akan dapat menangkal segala macam agenda sosial dan politik yang
seringkali menyuarakan ketimpangan atau kesenjangan ekonomi antara penduduk
asli dengan pendatang, untuk kepentingan segelintir pihak yang dapat
menimbulkan instabilitas di segala lini kehidupan masyarakat Papua. Kelima,
bangunan infrastruktur yang telah selesai dikerjakan harus dilaksanakan
prosesi peresmian dengan melibatkan ketua-ketua suku atau tetua adat di
wilayah setempat, bukan hanya diresmikan oleh pejabat pemerintah pusat atau
daerah yang datang hanya pada saat bangunan telah rampung dibuat. Pelibatan
ketua suku dan tetua adat ini dimaksudkan untuk meningkatkan dan menguatkan
rasa memiliki terhadap infrastruktur tersebut. Selain itu,
nama bangunan yang dibuat juga sebaiknya menggunakan nama dari bahasa
setempat sebagai bentuk penghargaan dari Pemerintah kepada budaya lokal yang
ada. Seperti halnya nama-nama bandara di Papua yang mayoritas menggunakan
nama pahlawan nasional atau tokoh masyarakat Papua, bangunan infrastruktur
yang lain pun juga harus diberi nama yang merepresentasikan penduduk atau
budaya Papua. Walaupun terkesan sepele, akan tetapi penggunaan bahasa lokal
dalam penamaan bangunan akan sangat berarti bagi masyarakat Papua serta
menguatkan pesan bahwa Papua adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Berdasarkan
dari pembahasan mengenai pendekatan pembangunan yang tepat di wilayah Papua,
maka didapatkan kesan bahwa adat istiadat atau budaya merupakan pusat
kehidupan masyarakat Papua. Diperlukan pemahaman, pengertian, rasa
menghormati dan menghargai terhadap budaya setempat sebelum program
pembangunan infrastruktur dijalankan. Pemerintah perlu mengingat kembali
bahwa objek pembangunan infrastruktur adalah masyarakat Papua itu sendiri dan
tujuan dari pembangunan infrastruktur tersebut adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat Papua serta mewujudkan mimpi 'surga' bagi
Orang Asli Papua. Dengan beragam
permasalahan yang ada di masyarakat Papua, pembangunan infrastruktur di Papua
tidak bisa dibebankan kepada salah satu pihak tertentu. Seluruh pihak baik
dari pemerintah pusat maupun daerah serta seluruh lapisan masyarakat
mempunyai tanggung jawab terhadap terselenggaranya pembangunan infrastruktur
di wilayah Papua. Keberhasilan pembangunan infrastruktur di wilayah Papua
akan menjadi modal utama dalam upaya mempertahankan keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5688014/5-strategi-pembangunan-infrastruktur-di-batas-timur-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar