Senin, 30 Agustus 2021

 

Bahaya Demokrasi Oligarki

Teddy Triyadi Nugroho ;  Sosiologi UNJ, Junior Researcher LP3ES

TEMPO.CO, 23 Agustus 2021

 

 

                                                           

PADA usia ke 76 Tahun kemerdekaan Indonesia, nampaknya kita semua masih mempunyai banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kondisi sosial dan politik bangsa. Iklim demokrasi yang mestinya subur dalam memberikan kebebasan rakyat/people freedom dan memberbaiki kesejahteraan rakyat, saat ini terancam oligarki politik. Para elite politik telah membajak demokrasi ke arah yang sangat membahayakan masa depan bangsa.

 

Situasi saat ini benar-benar karut-marut. Kondisi ini terjadi dalam hal penanganan korupsi, penanganan pandemi, politik dinasti, politik uang, kooptasi kebebasan akademik, menyempitnya ruang publik dan kebebasan berbicara, serta komunikasi krisis yang buruk di masa pandemi dan permasalahan lain yang nampaknya masih sangat banyak jika dijelaskan.

 

Wijayanto Direktur Center for Media and Democracy, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan (LP3ES) mengatakan dalam tulisannya salah satu penyebab utama kemunduran demokrasi di Indonesia adalah kekuatan oligarki yang cepat terkonsolidasi setelah Reformasi 1998 terutama sejak 2019 di satu sisi dan di sisi lain tergesa-gesanya masyarakat sipil untuk berkonsolidasi dan bersaing dengan mereka .

 

Wajah Oligarki

 

Konsep Oligarki dapat didefinisikan sebagai sistem hubungan kekuasaan yang memungkinkan akumulasi kekayaan dan otoritas hanya di tangan segelintir elit beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya. Sejumlah hal yang perlu diperhatikan untuk melihat aspek kemunduran demokrasi dan semakin berkurangnya kesejahteraan masyarakat adalah  bagaimana sebetulnya kondisi intitusi politik dan ekonomi di Indonesia, karena pada dasarnya kedua institusi tersebut saling berkaitan.

 

Acemoglu dan Robinson dalam bukunya Why Nation Fail membagi institusi politik dan institusi ekonomi ke dalam dua bentuk: (1) institusi politik dan ekonomi yang inklusif dan (2) institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif. Mereka berpendapat bahwa hanya dalam suatu sistem politik yang inklusif adalah mungkin bagi negara-negara untuk mencapai suatu kemakmuran. Negara dengan institusi-institusi politik dan ekonomi ekstraktif cenderung miskin, sedangkan negara-negara dengan institusi politik dan ekonomi yang inklusif cenderung kaya.

 

Institusi politik ekstraktif sendiri dapat diartikan bahwa kekayaan dalam hal ini sumber daya di Indonesia akan diakumulasikan hanya untuk elit-elit penguasa.  Institusi politik yang ekstraktif ditandai dengan terkonsentrasinya kekuasaan politik di tangan segelintir orang tanpa adanya checks and balances, serta lemahnya rule of law. Hal ini sebetulnya dapat kita lihat pada realitasnya di Indonesia yang semakin berkurangnya keseimbangan dari pemerintahan yang menyebabkan lemahnya pengawasan dan berpengaruh terhadap lemahnya ekonomi.

 

Demokrasi Tanpa (Kepentingan) Rakyat

 

Dalam peluncuran buku “Demokrasi Tanpa Demos” yang di inisiasi oleh LP3ES (19/08/2021), problem yang menggerogoti demokrasi di Indonesia saat ini tidak hanya terkait dengan institusi politik dan elite saja, tetapi juga isu lain termasuk lingkungan, budaya, media dan gender. Oleh karenanya penguatan demokrasi menjadi isu yang mendesak untuk mencegah “demokrasi tanpa demos” atau demokrasi yang meninggalkan kepentingan rakyatnya. Pada akhirnya demokrasi hanya digunakan sebagai alat bagi sekelompok oligarki untuk mendapatkan kekuasaan dan sumber daya. Demokrasi telah mengkhianati asal usul makna yang tertanam: demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan.

 

Jeffrey Winters ilmuwan politik Amerika Serikat di Universitas Northwestern menjelaskan bahwa penggunaan kekuatan kekayaan oleh oligarki saat ini hanya untuk mempertahankan kekuasaannya yang dipraktikkan bersamaan dengan politik transaksional, (19/08/2021) dalam Webinar LP3ES. Politik transaksional memang menjadi perbincangan yang tak kunjung usai dari waktu ke waktu, hal ini juga yang menjadi ancaman ke depan bangsa terhadap demokrasi.

 

Tak hanya itu, persoalan kepemilikan tanah juga menjadi hal yang patut menjadi pembahasan, karena semakin maraknya perampasan tanah khususnya di daerah pedesaan dan masyarakat adat. Ward Berenschot dalam webinar LP3ES (19/08/2021), juga menjelaskan bahwa terdapat persengkokolan yang buruk terhadap peraturan hukum dan praktik kolusi, serta lemahnya perlindungan hukum terhadap warga. Hal tersebut jelas menimbulkan perusahaan berhasil merampas tanah milik warga dan menjadi warga nyaris tanpa hak/rightless.

 

Membayangkan Demokrasi Tanpa Demos

 

Masalah utama demokrasi Indonesia yang utama adalah biaya politiknya yang sangat mahal. Menyebabkan banyak orang yang berkompeten tidak dapat mengikuti pemilu, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Hal ini tentu menjadi permasalahan bersama dari waktu ke waktu setiap kali pemilu dijalankan. Pada akhirnya rakyat hanya dijadikan alat untuk mengejar kepentingan oligarki semata dengan politik transaksional.

 

Demokrasi semestinya mampu menjadi sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam konteks ini, demokrasi tanpa demos tentu merupakan anomali, atau bahkan kontradiktif yang kita tahu bahwa seharusnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat bukan malah berbalik kepada para pejabat ataupun oligarki politik.

 

Rilis indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economic Intelligence Unit (EIU) tahun 2020 lalu, menyebut Indonesia mengalami kemerosotan indeks demokrasi dengan memperoleh nilai 6,3 dan menempati peringkat 64 di dunia sehingga dikategorikan sebagai demokrasi cacat (flawed democracy). Rilis indeks tersebut juga memaparkan nilai dari instrumen kebebasan sipil. Dalam instrumen tersebut, Indonesia memperoleh nilai 5,59. Untuk itu dapat dibayangkan bahwa demokrasi di Indonesia akan terus mengalami kemunduran jika tidak adanya peran  actor civil society sebagai penyeimbang negara dan pasar.

 

Selain itu penting untuk membangkitkan kembali Institusi politik yang inklusif sebagai sebuah institusi yang tidak untuk menguntungkan segelintir elit yang berkuasa namun sebuah institusi yang dimana masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam proses politik dalam menuju kesejahteraan ekonomi maupun sosial. Partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi merupakan hal utama untuk tetap mengahdirkan rakyat / demos. Pendidikan politik sangat diperlukan dalam meningkatkan sikap afeksi, kognitif dan partisipatoris masyarakat.

 

Oleh Karena itu, menurut Emil Salim dalam webinar LP3ES (19/07/2021), Pendidikan bukan hanya meningkatkan sumber daya manusia, melainkan juga meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia yang berpengaruh pada kualitas demokrasi. Indeks demokrasi Indonesia berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Karena itu, jika demokrasi mau dikembangkan, syarat mutlaknya adalah kembangkan pendidikan secara menyeluruh. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi kita bersama, untuk tetap mencerdaskan rakyat dalam mengawal proses demokratisasi di Indonesia.

 

Sumber :  https://kolom.tempo.co/read/1497397/bahaya-demokrasi-oligarki/

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar