Senin, 30 Agustus 2021

 

Ratapan untuk Afghanistan

Smith Alhadar ;  Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

KOMPAS, 26 Agustus 2021

 

 

                                                           

Perang fisik di Afghanistan telah usai. Pada 15 Agustus 2021 Presiden Afghanistan Mohammad Ashraf Ghani telah kabur ke Tajikistan dan milisi bersenjata Taliban telah menduduki ibu kota Kabul.

 

Dalam perjanjian dengan AS, Februari 2020, Taliban setuju perang Afghanistan akan diselesaikan secara damai di meja perundingan, di mana pemerintah baru Afghanistan yang akan dibentuk kelak merupakan hasil negosiasi antara Taliban dan pemerintahan Ghani dukungan Barat.

 

Sejak itu, perundingan langsung antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan digelar di Doha, Qatar. Namun, tak ada kemajuan berarti. Sebaliknya, sejak AS dan sekutu NATO mulai menarik pasukan, Mei, Taliban justru meningkatkan serangan ke kota-kota penting, yang sebelumnya dikatakan tak akan diduduki secara militer.

 

Hanya dalam waktu 10 hari sejak 6 Agustus, Taliban berhasil menaklukkan 26 dari 34 provinsi tanpa perlawanan berarti dari pasukan Afghanistan yang dibentuk dan dilatih AS dan NATO selama 20 tahun dengan dana miliaran dollar AS.

 

Melihat jumlah personel militer Pemerintah Afghanistan yang demikian besar—sekitar tujuh kali jumlah pasukan Taliban yang hanya sekitar 50.000 orang—dengan peralatan tempur yang canggih, kemenangan Taliban sungguh menakjubkan.

 

Ini menunjukkan kegagalan total AS dan NATO dalam melatih, mempersenjatai, dan menerapkan strategi militer pasukan Afghanistan menghadapi Taliban yang memiliki senjata terbatas tanpa dukungan pasukan udara. Ini mengingatkan kita pada kemenangan kilat Taliban pada 1996 atas kelompok-kelompok mujahidin yang berhasil mengusir tentara Soviet setelah perang 10 tahun (1979-1989).

 

Taliban dibentuk 1994 atas sponsor Pakistan dari mahasiswa tamatan madrasah-madrasah, yang diperuntukkan bagi pengungsi Afghanistan di Peshawar, Pakistan. Hanya dalam waktu dua tahun Taliban berhasil menduduki Kabul.

 

Ketika AS/NATO menginvasi Afghanistan pada 2001—menyusul serangan teror Al Qaeda yang dilindungi rezim Taliban terhadap AS—Taliban sudah menguasai hampir seluruh Afghanistan. Namun, keperkasaan Taliban tidak dibarengi gagasan besar membangun Afghanistan.

 

Perang saudara

 

Mengurus Afghanistan tidaklah mudah. Negara ini terpecah menurut garis etnik, mazhab keagamaan, dan ideologi. Taliban, menganut Islam ultrakonservatif, berasal dari kelompok etnis Pashtun yang merupakan mayoritas meski tak semua orang Pashtun mendukungnya. Kelompok etnis besar lain adalah Hazara yang umumnya menganut Syiah, Uzbek yang merupakan kelompok nasionalis, dan Tajik yang mendukung Islam moderat.

 

Sisanya terbagi ke dalam banyak etnik kecil. Afghanistan juga salah satu negara termiskin di dunia. Sebelum pandemi, sekitar 52 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Setelah Covid-19 merebak, kemiskinan meningkat hingga 77 persen.

 

Selain sebagian besar wilayah berupa pegunungan dan gurun serta minim sumber daya alam, keterbelakangan Afghanistan juga akibat perang saudara sejak 1979.

 

Perang dimulai ketika tentara Soviet menginvasi negeri itu untuk mendukung rezim komunis di sana. Barat dan Dunia Islam pimpinan AS segera bahu-membahu membantu kelompok mujahidin berbasis etnik dan agama untuk mengusir tentara merah. Sepuluh tahun kemudian (1989), Soviet menarik pasukannya.

 

Dua tahun berikutnya rezim komunis Afghanistan runtuh. Bukannya mengakhiri perang dan mendirikan negara baru yang demokratis untuk membangun Afghanistan yang porak poranda, kelompok-kelompok mujahidin justru berperang satu sama lain berebut kekuasaan.

 

Naiknya Taliban tak mengakhiri perang dan penderitaan rakyat. Perang terus dilanjutkan untuk menaklukkan wilayah Tajik dan Uzbek (Aliansi Utara). Taliban tak tertarik menyelesaikan perang secara damai lewat meja perundingan. Penaklukan militer terus diusahakan sambil menampung Al Qaeda sampai terjadi teror di AS.

 

Selama berkuasa, rezim Taliban tidak mendapat pengakuan internasional, dan karena itu tak mendapat bantuan ekonomi internasional. Aturan Islam yang keras, yang mereka tafsir sendiri, membuat komunitas internasional miris melihatnya. Kaum perempuan ditindas habis-habisan, tak boleh bersekolah dan bekerja di luar. Keluar rumah harus memakai cadar dan didampingi pria anggota keluarga.

 

Masa depan Afghanistan

 

Kendati dalam kesepakatan dengan AS Taliban berjanji tak akan menerapkan aturan-aturan Islam yang keras seperti di masa lalu, tak ada jaminan mereka menaatinya. Laporan PBB setelah Taliban menguasai kota-kota memperlihatkan mereka tak menghargai hak perempuan dan HAM.

 

Aturan lama mulai diberlakukan kembali. Janji bahwa para pegawai, polisi, dan tentara pemerintahan Afghanistan tak akan diganggu bertentangan dengan kenyataan di lapangan.

 

Setelah menduduki kota-kota, Taliban menggerebek rumah-rumah yang dicurigai pendukung pemerintah. Yang tertangkap langsung dieksekusi mati. Tak heran, ratusan ribu warga Afghan berbondong-bondong mengungsi ke luar negeri, bergabung dengan 2,5 juta pengungsi di Iran, Pakistan, dan Eropa, yang mengungsi sejak 1979.

 

Janji Taliban tak lebih dari upaya menarik dukungan internasional. Taliban menyadari pemerintahannya akan mendapat kesulitan besar tanpa pengakuan internasional.

 

Memang China dan Rusia, dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB, menjalin hubungan baik dengan Taliban. Namun, itu lebih disebabkan keinginan mereka meredam ekspansi pengaruh Taliban ke Asia Tengah (wilayah pengaruh Rusia) dan China.

 

Afghanistan berbatasan dengan Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan di utara dan Provinsi Xinjiang (wilayah barat China) di timur laut Afghanistan yang dihuni kaum separatis Muslim Uighur. Kepentingan lain Rusia di Afghanistan adalah memproyeksikan kekuatan militernya di sana vis a vis AS.

 

Adapun kepentingan lain China di Afghanistan, selain telah mendapatkan konsesi minyak dan tambang litium di sana, juga untuk merealisasikan proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan.

 

Proyek inilah yang diharapkan Taliban untuk membangun Afghanistan. Namun, lagi-lagi tak ada jaminan Taliban akan mengekang pergerakan kombatan Muslim asing di sana, terutama dari Tajikistan, Uzbekistan, dan Xinjiang yang telah ikut membantu perjuangan Taliban. Juga, meski telah berjanji kepada AS untuk tak menampung kelompok teroris Al Qaeda di Afghanistan, belum tentu Taliban bisa mengekang elemen Al Qaeda di tubuhnya yang ikut berjuang bersamanya.

 

Dengan kemungkinan-kemungkinan ini, rezim Taliban sekali lagi berpotensi besar menjadi negara pariah. Kalaupun nanti Taliban mampu memenuhi sebagian harapan Barat dan komunitas internasional, ideologi Islam ultrakonservatif Taliban untuk menerapkan Islam secara ”murni”, ideologi itu tidak lagi sesuai untuk menjawab kepentingan-kepentingan mendesak bangsa Afghanistan di segala bidang. Afghanistan yang terbelakang telah kehilangan kesempatan selama dua generasi untuk membangun dirinya dari luka-luka perang.

 

Yang dibutuhkan Afghanistan sekarang adalah persatuan nasional di bawah ideologi modern yang menjamin hak kelompok minoritas yang lama ditindas kelompok Pashtun dan Taliban. Hal itu hanya mungkin kalau rakyat mendapat kebebasan dan hak asasinya, terutama pemberdayaan perempuan secara maksimal melalui pendidikan dan kebebasan bekerja, dan dukungan internasional.

 

Di bawah Ashraf Ghani, kendati penuh dengan korupsi dan salah urus, sebagian hak perempuan telah dipenuhi. Maka kita menyaksikan bagaimana para perempuan Afghanistan berpartisipasi di segala bidang untuk memajukan negaranya.

 

Sayang kalau Taliban harus menghentikan langkah mereka dan mengurung mereka kembali di rumah. Kalau ini yang akan dilakukan Taliban, kita sekali lagi akan menyaksikan tenggelamnya sebuah bangsa yang diakibatkan oleh kebodohan anak-anaknya sendiri. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/26/ratapan-untuk-afghanistan/

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar