Ratapan
untuk Afghanistan Smith Alhadar ; Penasihat The Indonesian Society for Middle
East Studies (ISMES) |
KOMPAS, 26 Agustus 2021
Perang
fisik di Afghanistan telah usai. Pada 15 Agustus 2021 Presiden Afghanistan
Mohammad Ashraf Ghani telah kabur ke Tajikistan dan milisi bersenjata Taliban
telah menduduki ibu kota Kabul. Dalam
perjanjian dengan AS, Februari 2020, Taliban setuju perang Afghanistan akan
diselesaikan secara damai di meja perundingan, di mana pemerintah baru
Afghanistan yang akan dibentuk kelak merupakan hasil negosiasi antara Taliban
dan pemerintahan Ghani dukungan Barat. Sejak
itu, perundingan langsung antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan digelar
di Doha, Qatar. Namun, tak ada kemajuan berarti. Sebaliknya, sejak AS dan
sekutu NATO mulai menarik pasukan, Mei, Taliban justru meningkatkan serangan
ke kota-kota penting, yang sebelumnya dikatakan tak akan diduduki secara
militer. Hanya
dalam waktu 10 hari sejak 6 Agustus, Taliban berhasil menaklukkan 26 dari 34
provinsi tanpa perlawanan berarti dari pasukan Afghanistan yang dibentuk dan
dilatih AS dan NATO selama 20 tahun dengan dana miliaran dollar AS. Melihat
jumlah personel militer Pemerintah Afghanistan yang demikian besar—sekitar
tujuh kali jumlah pasukan Taliban yang hanya sekitar 50.000 orang—dengan
peralatan tempur yang canggih, kemenangan Taliban sungguh menakjubkan. Ini
menunjukkan kegagalan total AS dan NATO dalam melatih, mempersenjatai, dan
menerapkan strategi militer pasukan Afghanistan menghadapi Taliban yang
memiliki senjata terbatas tanpa dukungan pasukan udara. Ini mengingatkan kita
pada kemenangan kilat Taliban pada 1996 atas kelompok-kelompok mujahidin yang
berhasil mengusir tentara Soviet setelah perang 10 tahun (1979-1989). Taliban
dibentuk 1994 atas sponsor Pakistan dari mahasiswa tamatan madrasah-madrasah,
yang diperuntukkan bagi pengungsi Afghanistan di Peshawar, Pakistan. Hanya
dalam waktu dua tahun Taliban berhasil menduduki Kabul. Ketika
AS/NATO menginvasi Afghanistan pada 2001—menyusul serangan teror Al Qaeda
yang dilindungi rezim Taliban terhadap AS—Taliban sudah menguasai hampir
seluruh Afghanistan. Namun, keperkasaan Taliban tidak dibarengi gagasan besar
membangun Afghanistan. Perang saudara Mengurus
Afghanistan tidaklah mudah. Negara ini terpecah menurut garis etnik, mazhab
keagamaan, dan ideologi. Taliban, menganut Islam ultrakonservatif, berasal
dari kelompok etnis Pashtun yang merupakan mayoritas meski tak semua orang
Pashtun mendukungnya. Kelompok etnis besar lain adalah Hazara yang umumnya
menganut Syiah, Uzbek yang merupakan kelompok nasionalis, dan Tajik yang
mendukung Islam moderat. Sisanya
terbagi ke dalam banyak etnik kecil. Afghanistan juga salah satu negara
termiskin di dunia. Sebelum pandemi, sekitar 52 persen penduduk hidup di
bawah garis kemiskinan. Setelah Covid-19 merebak, kemiskinan meningkat hingga
77 persen. Selain
sebagian besar wilayah berupa pegunungan dan gurun serta minim sumber daya
alam, keterbelakangan Afghanistan juga akibat perang saudara sejak 1979. Perang
dimulai ketika tentara Soviet menginvasi negeri itu untuk mendukung rezim
komunis di sana. Barat dan Dunia Islam pimpinan AS segera bahu-membahu
membantu kelompok mujahidin berbasis etnik dan agama untuk mengusir tentara
merah. Sepuluh tahun kemudian (1989), Soviet menarik pasukannya. Dua
tahun berikutnya rezim komunis Afghanistan runtuh. Bukannya mengakhiri perang
dan mendirikan negara baru yang demokratis untuk membangun Afghanistan yang
porak poranda, kelompok-kelompok mujahidin justru berperang satu sama lain
berebut kekuasaan. Naiknya
Taliban tak mengakhiri perang dan penderitaan rakyat. Perang terus
dilanjutkan untuk menaklukkan wilayah Tajik dan Uzbek (Aliansi Utara).
Taliban tak tertarik menyelesaikan perang secara damai lewat meja
perundingan. Penaklukan militer terus diusahakan sambil menampung Al Qaeda
sampai terjadi teror di AS. Selama
berkuasa, rezim Taliban tidak mendapat pengakuan internasional, dan karena
itu tak mendapat bantuan ekonomi internasional. Aturan Islam yang keras, yang
mereka tafsir sendiri, membuat komunitas internasional miris melihatnya. Kaum
perempuan ditindas habis-habisan, tak boleh bersekolah dan bekerja di luar.
Keluar rumah harus memakai cadar dan didampingi pria anggota keluarga. Masa depan Afghanistan Kendati
dalam kesepakatan dengan AS Taliban berjanji tak akan menerapkan
aturan-aturan Islam yang keras seperti di masa lalu, tak ada jaminan mereka
menaatinya. Laporan PBB setelah Taliban menguasai kota-kota memperlihatkan
mereka tak menghargai hak perempuan dan HAM. Aturan
lama mulai diberlakukan kembali. Janji bahwa para pegawai, polisi, dan
tentara pemerintahan Afghanistan tak akan diganggu bertentangan dengan
kenyataan di lapangan. Setelah
menduduki kota-kota, Taliban menggerebek rumah-rumah yang dicurigai pendukung
pemerintah. Yang tertangkap langsung dieksekusi mati. Tak heran, ratusan ribu
warga Afghan berbondong-bondong mengungsi ke luar negeri, bergabung dengan
2,5 juta pengungsi di Iran, Pakistan, dan Eropa, yang mengungsi sejak 1979. Janji
Taliban tak lebih dari upaya menarik dukungan internasional. Taliban
menyadari pemerintahannya akan mendapat kesulitan besar tanpa pengakuan
internasional. Memang
China dan Rusia, dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB, menjalin hubungan baik
dengan Taliban. Namun, itu lebih disebabkan keinginan mereka meredam ekspansi
pengaruh Taliban ke Asia Tengah (wilayah pengaruh Rusia) dan China. Afghanistan
berbatasan dengan Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan di utara dan
Provinsi Xinjiang (wilayah barat China) di timur laut Afghanistan yang dihuni
kaum separatis Muslim Uighur. Kepentingan lain Rusia di Afghanistan adalah
memproyeksikan kekuatan militernya di sana vis a vis AS. Adapun
kepentingan lain China di Afghanistan, selain telah mendapatkan konsesi
minyak dan tambang litium di sana, juga untuk merealisasikan proyek Inisiatif
Sabuk dan Jalan. Proyek
inilah yang diharapkan Taliban untuk membangun Afghanistan. Namun, lagi-lagi
tak ada jaminan Taliban akan mengekang pergerakan kombatan Muslim asing di
sana, terutama dari Tajikistan, Uzbekistan, dan Xinjiang yang telah ikut
membantu perjuangan Taliban. Juga, meski telah berjanji kepada AS untuk tak
menampung kelompok teroris Al Qaeda di Afghanistan, belum tentu Taliban bisa
mengekang elemen Al Qaeda di tubuhnya yang ikut berjuang bersamanya. Dengan
kemungkinan-kemungkinan ini, rezim Taliban sekali lagi berpotensi besar
menjadi negara pariah. Kalaupun nanti Taliban mampu memenuhi sebagian harapan
Barat dan komunitas internasional, ideologi Islam ultrakonservatif Taliban
untuk menerapkan Islam secara ”murni”, ideologi itu tidak lagi sesuai untuk
menjawab kepentingan-kepentingan mendesak bangsa Afghanistan di segala
bidang. Afghanistan yang terbelakang telah kehilangan kesempatan selama dua
generasi untuk membangun dirinya dari luka-luka perang. Yang
dibutuhkan Afghanistan sekarang adalah persatuan nasional di bawah ideologi
modern yang menjamin hak kelompok minoritas yang lama ditindas kelompok
Pashtun dan Taliban. Hal itu hanya mungkin kalau rakyat mendapat kebebasan
dan hak asasinya, terutama pemberdayaan perempuan secara maksimal melalui
pendidikan dan kebebasan bekerja, dan dukungan internasional. Di
bawah Ashraf Ghani, kendati penuh dengan korupsi dan salah urus, sebagian hak
perempuan telah dipenuhi. Maka kita menyaksikan bagaimana para perempuan
Afghanistan berpartisipasi di segala bidang untuk memajukan negaranya. Sayang
kalau Taliban harus menghentikan langkah mereka dan mengurung mereka kembali
di rumah. Kalau ini yang akan dilakukan Taliban, kita sekali lagi akan
menyaksikan tenggelamnya sebuah bangsa yang diakibatkan oleh kebodohan
anak-anaknya sendiri. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/26/ratapan-untuk-afghanistan/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar