Senin, 23 Agustus 2021

 

Kabul, Taliban, dan Geopolitik Kawasan

Abhiram Singh Yadav ;  Pengamat Politik Hubungan Internasional

DETIKNEWS, 19 Agustus 2021

 

 

                                                           

Penarikan militer Amerika Serikat (AS) dari Afghanistan telah menuai diskursus dan perlombaan perang kepentingan global di negeri yang dikenal sebagai Graveyard of Empires (Kuburan para Kerajaan) itu. Bahkan kota Kabul dalam sekejap telah diambilalih tanpa perlawanan berarti. Dinamika kebangkitan Taliban menjadi perhatian dari berbagai pembuat kebijakan, akademisi, pengamat hingga media massa. Dalam hal ini, masa depan masyarakat Afghanistan menjadi taruhan atas kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Masa depan Afghanistan tampaknya perlu dilihat dari berbagai perspektif kepentingan. Pertama, kepentingan AS dan NATO pasca menarik diri dari proses usaha panjang mereka dalam membangun demokrasi di Afghanistan serta relasi dengan Taliban. Kedua, munculnya China dan Turki secara terbuka dalam adu pengaruh atas "kevakuman politik" di The Land of the Afghans (tanah para Afghan). Ketiga, ancaman stabilitas keamanan di kawasan Asia Selatan serta kekhawatiran India atas kebangkitan dominasi baru dari Pakistan. Dan yang keempat, politik kekuasaan Taliban dalam kontestasi mencari legitimasi.

 

Dalam wacana terkini, empat aspek ini tentu tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Lalu, ke mana arah power politics para pemangku kepentingan dalam menentukan masa depan rakyat Afghanistan?

 

Dinamika Terkini

 

Masa depan rakyat Afghanistan sedang ditentukan di masa kini. Ironisnya, hal ini bukan oleh rakyatnya sendiri, melainkan kepentingan kelompok tertentu hingga pengaruh kontestasi regional yang justru menghalangi penentuan nasib sebuah bangsa untuk hidup di alam kemerdekaan. Dan hal ini bukanlah hal baru untuk bangsa yang tampaknya historically cursed (dikutuk oleh sejarah) melalui perang sipil dan propaganda adu kekuatan global yang tiada akhirnya.

 

Terlepas dari suramnya sejarah panjang tanah Afghanistan, sesungguhnya di era globalisasi kini, negeri ini kita kenal sebagai Islamic Republic of Afghanistan dan memiliki konsep tata negara yang lazim dengan seorang Presiden Ashraf Ghani (dalam perkembangan terkini sedang mengasingkan diri ke negara lain), dua wakil presiden serta parlemen dan lembaga yudikatif yang berasaskan demokrasi yang memperjuangkan keadilan sosial.

 

Sayangnya, Trias Politica yang seharusnya menjadi tulang punggung masa depan bangsa justru menjadi tidak relevan dengan bangkitnya Taliban yang mengedepankan konsep kekuasaan Islamic Emirate of Afghanistan (IEA). Dilema satu bangsa dengan dua konsep negara menjadi beban pilihan tersendiri bagi para pejuang dan masyarakat Afghan kini. Bahkan, saat ini peta kekuasaan geografis di negri ini pun menjadi perdebatan atas penguasaan lahan maupun pengaruh.

 

Dalam hal ini, sebagaimana dipublikasi oleh whitehouse.com, pada 30 Juli 2021 Presiden Joe Biden menekankan agar seluruh aktor stakeholder di Afghan dapat segera menghentikan segala bentuk kekerasan dan kembali ke meja perundingan. AS juga menjamin akan tetap memberi asistensi keamanan serta bantuan kemanusiaan untuk mencapai cita-cita keadilan sosial bagi rakyat Afghanistan. Hal ini memberi pemahaman bahwa regional stability Asia Selatan masih menjadi relevan bagi politik luar negri AS, sekalipun telah terjadi relokasi kekuatan militer AS dari Afganistan setelah 20 tahun keberadaannya dan akan resmi berakhir pada 9 September mendatang.

 

Tetapi, pada 16 Agustus lalu, Presiden Joe Biden menegaskan kembali bahwa tujuan utama kehadiran pasukan AS di Afghanistan adalah untuk counterterrorism dan bukan untuk nation-building (pembangunan negara). Di sinilah AS menyayangkan telah terjadi aksi dari para politisi lokal Afghanistan yang menyerah kepada Taliban dan meninggalkan tanah Afghan di saat seharusnya berjuang dengan sepenuh jiwa dan raga demi masa depan keadilan bagi warganya. Maka sudah tidak relevan lagi bagi pasukan AS untuk berjuang terhadap mereka yang tidak memperjuangkan dirinya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami dalam wacana diskusi terkait kondisi terkini di Kabul.

 

Dari kronologi kejadian pemikiran di atas, dapat kita simpulkan bahwa kondisi terkini telah melahirkan political vacuum baik di level domestik maupun regional, sehingga membuka celah terjadinya failed state (negara yang gagal). Bahkan, negara-negara di dunia dihadapkan pada kondisi untuk menentukan pilihan politik atas pemerintahan yang seharusnya legitimate (sah) atau "calon pemerintahan baru" yaitu para warlord yang kita kenal sebagai Taliban.

 

Di sisi lain, cita-cita dan perjuangan 20 tahun liberal democracy ala AS juga ternyata tidak berhasil diterima sepenuhnya oleh kearifan lokal yang mengakar di sendi-sendi para pejuang Taliban, sekalipun infrastruktur ketatanegaraan telah terbangun dan diakui secara global.

 

Warna Baru Politik Regional

 

Situasi yang berkembang kini memberi China kesempatan untuk membawa warna baru dalam pendekatan terhadap tetangga yang berbatasan dengan Provinsi Xinjiang Uyghur. Dalam hal ini, Beijing memiliki kepentingan nasional yang sangat strategis dalam mengamankan proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang dilalui daratan Pakistan hingga Afghanistan serta di saat yang sama kekhawatiran pengaruh terhadap warga Uyghur yang menjadi isu keamanan nasional.

 

Ini menjadi sebuah langkah logis bagi China untuk merangkul Taliban dalam peran dan proses pembangun masa depan Afghanistan. Bahkan, pertemuan Menteri Luar Negeri China dengan Taliban baru-baru ini memberi legitimasi internasional tersendiri, suatu political act yang kebetulan memang dicari oleh Taliban dalam merebut kembali Kabul.

 

Sementara itu, Turki memilih untuk tetap konsisten berada dalam proses melindungi keutuhan kota Kabul. Peran strategis Ankara sangat penting sebagai saluran diplomasi dan dialog sebagaimana menjadi harapan proses The Doha Dialogue (Perundingan Doha). Sebagai 'big brother' negara-negara Islam, Turki dianggap dapat mengajak diskusi dan bernegosiasi dengan seluruh pemangku kepentingan di antaranya pemerintahan Kabul, Taliban, Islamabad, Beijing hingga negara-negara Barat.

 

Di sisi lain, situasi politik domestik Afghanistan dan dinamika regional yang berkembang ternyata tidak menguntungkan India bahkan menjadi ancaman keamanan nasional. Pemerintah India yang sudah telajur investasi miliaran dolar dalam proses pembangunan di Afghanistan terancam kehilangan akses serta dibayang-bayangi ancaman para militan dan terorisme terkait isu klasik perbatasan India-Pakistan.

 

Di saat yang sama, hal yang menjadi kekhawatiran New Delhi adalah potensi terjalinnya sebuah aliansi Taliban-Pakistan-China yang akan menjadi tantangan keamanan tersendiri dan cukup berat bagi India. Hal inilah yang membuat Perdana Menteri Narendra Modi sebagai pihak yang paling kecewa dengan penarikan pasukan AS dari Afghanistan.

 

Pilihan Legitimasi

 

Dengan demikian, dinilai dari sketsa konstalasi geopolitik dan geostrategis di atas, dapat terlihat bahwa masa depan 'trias politika' Kabul saat ini berada di tangan para pihak yang akan memberi legitimasi, baik di dalam maupun di luar negeri. Jika proses ini terus dibiarkan berlangsung, maka kemungkinan besar proses untuk mencapai stabilitas di dalam ketatanegaraan Kabul masih akan menemui perjalanan panjang, atau bahkan baru dimulai sebuah era power politics yang baru.

 

Sebagai catatan, keberadaan Taliban hari ini berbeda dengan Taliban 20 tahun yang lalu. Para elite Taliban kini memiliki legitimasi eksistensi secara global. Bahkan, mereka terlibat dalam berbagai forum diplomasi dalam penataan masa depan Afghanistan. Sehingga kemampuan kelompok ini bukan hanya dengan senjata di jalanan, melainkan kemampuan diplomasi yang cukup maju bahkan menjanjikan. Bahkan, Presiden Joe Biden mereferensi para pejuang sebagai 'militer' dan bukan lagi sebagai 'militan'.

 

Pada akhirnya, menyelesaikan persoalan Afghanistan hampir mustahil tercapai bila tidak dilakukan oleh masyarakatnya sendiri. Hal inilah yang menjadi cita-cita kemerdekaan semua bangsa, dan patut mendapat dukungan global agar hak asasi manusia dapat tercapai dan kelak kemakmuran dapat dirasakan.

 

Memang, komunikasi dengan pemerintahan Kabul dan Taliban itu penting dalam proses menuju perdamaian. Tetapi, mengenali wajah aspirasi popular rakyat Afganistan menjadi hal yang lebih penting bagi semua pihak sebelum memilih kepada siapa arah komunikasi perlu dikuatkan dan menjadi jalan perjuangan diplomatik. Inilah pilihan bagi para stakeholder kawasan dan global ke depan.

 

Termasuk bagi Indonesia, sudahkah mengenali wajah aspirasi sesungguhnya yang merepresentasikan seluruh rakyat Afghanistan? Dan ke mana arah legitimasi de facto maupun de jure dalam membangun komunikasi dan diplomasi akan berujung?

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5687880/kabul-taliban-dan-geopolitik-kawasan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar