Kabul,
Taliban, dan Geopolitik Kawasan Abhiram Singh Yadav ; Pengamat Politik Hubungan Internasional |
DETIKNEWS, 19
Agustus 2021
Penarikan
militer Amerika Serikat (AS) dari Afghanistan telah menuai diskursus dan
perlombaan perang kepentingan global di negeri yang dikenal sebagai Graveyard
of Empires (Kuburan para Kerajaan) itu. Bahkan kota Kabul dalam sekejap telah
diambilalih tanpa perlawanan berarti. Dinamika kebangkitan Taliban menjadi
perhatian dari berbagai pembuat kebijakan, akademisi, pengamat hingga media
massa. Dalam hal ini, masa depan masyarakat Afghanistan menjadi taruhan atas
kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masa depan
Afghanistan tampaknya perlu dilihat dari berbagai perspektif kepentingan.
Pertama, kepentingan AS dan NATO pasca menarik diri dari proses usaha panjang
mereka dalam membangun demokrasi di Afghanistan serta relasi dengan Taliban.
Kedua, munculnya China dan Turki secara terbuka dalam adu pengaruh atas
"kevakuman politik" di The Land of the Afghans (tanah para Afghan).
Ketiga, ancaman stabilitas keamanan di kawasan Asia Selatan serta
kekhawatiran India atas kebangkitan dominasi baru dari Pakistan. Dan yang
keempat, politik kekuasaan Taliban dalam kontestasi mencari legitimasi. Dalam wacana
terkini, empat aspek ini tentu tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Lalu,
ke mana arah power politics para pemangku kepentingan dalam menentukan masa
depan rakyat Afghanistan? Dinamika Terkini Masa depan
rakyat Afghanistan sedang ditentukan di masa kini. Ironisnya, hal ini bukan
oleh rakyatnya sendiri, melainkan kepentingan kelompok tertentu hingga
pengaruh kontestasi regional yang justru menghalangi penentuan nasib sebuah
bangsa untuk hidup di alam kemerdekaan. Dan hal ini bukanlah hal baru untuk
bangsa yang tampaknya historically cursed (dikutuk oleh sejarah) melalui
perang sipil dan propaganda adu kekuatan global yang tiada akhirnya. Terlepas dari
suramnya sejarah panjang tanah Afghanistan, sesungguhnya di era globalisasi
kini, negeri ini kita kenal sebagai Islamic Republic of Afghanistan dan
memiliki konsep tata negara yang lazim dengan seorang Presiden Ashraf Ghani
(dalam perkembangan terkini sedang mengasingkan diri ke negara lain), dua
wakil presiden serta parlemen dan lembaga yudikatif yang berasaskan demokrasi
yang memperjuangkan keadilan sosial. Sayangnya,
Trias Politica yang seharusnya menjadi tulang punggung masa depan bangsa
justru menjadi tidak relevan dengan bangkitnya Taliban yang mengedepankan
konsep kekuasaan Islamic Emirate of Afghanistan (IEA). Dilema satu bangsa
dengan dua konsep negara menjadi beban pilihan tersendiri bagi para pejuang
dan masyarakat Afghan kini. Bahkan, saat ini peta kekuasaan geografis di
negri ini pun menjadi perdebatan atas penguasaan lahan maupun pengaruh. Dalam hal ini,
sebagaimana dipublikasi oleh whitehouse.com, pada 30 Juli 2021 Presiden Joe
Biden menekankan agar seluruh aktor stakeholder di Afghan dapat segera
menghentikan segala bentuk kekerasan dan kembali ke meja perundingan. AS juga
menjamin akan tetap memberi asistensi keamanan serta bantuan kemanusiaan
untuk mencapai cita-cita keadilan sosial bagi rakyat Afghanistan. Hal ini
memberi pemahaman bahwa regional stability Asia Selatan masih menjadi relevan
bagi politik luar negri AS, sekalipun telah terjadi relokasi kekuatan militer
AS dari Afganistan setelah 20 tahun keberadaannya dan akan resmi berakhir
pada 9 September mendatang. Tetapi, pada
16 Agustus lalu, Presiden Joe Biden menegaskan kembali bahwa tujuan utama
kehadiran pasukan AS di Afghanistan adalah untuk counterterrorism dan bukan
untuk nation-building (pembangunan negara). Di sinilah AS menyayangkan telah
terjadi aksi dari para politisi lokal Afghanistan yang menyerah kepada
Taliban dan meninggalkan tanah Afghan di saat seharusnya berjuang dengan
sepenuh jiwa dan raga demi masa depan keadilan bagi warganya. Maka sudah
tidak relevan lagi bagi pasukan AS untuk berjuang terhadap mereka yang tidak
memperjuangkan dirinya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami dalam
wacana diskusi terkait kondisi terkini di Kabul. Dari kronologi
kejadian pemikiran di atas, dapat kita simpulkan bahwa kondisi terkini telah
melahirkan political vacuum baik di level domestik maupun regional, sehingga
membuka celah terjadinya failed state (negara yang gagal). Bahkan,
negara-negara di dunia dihadapkan pada kondisi untuk menentukan pilihan
politik atas pemerintahan yang seharusnya legitimate (sah) atau "calon
pemerintahan baru" yaitu para warlord yang kita kenal sebagai Taliban. Di sisi lain,
cita-cita dan perjuangan 20 tahun liberal democracy ala AS juga ternyata
tidak berhasil diterima sepenuhnya oleh kearifan lokal yang mengakar di
sendi-sendi para pejuang Taliban, sekalipun infrastruktur ketatanegaraan
telah terbangun dan diakui secara global. Warna Baru Politik Regional Situasi yang
berkembang kini memberi China kesempatan untuk membawa warna baru dalam
pendekatan terhadap tetangga yang berbatasan dengan Provinsi Xinjiang Uyghur.
Dalam hal ini, Beijing memiliki kepentingan nasional yang sangat strategis
dalam mengamankan proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang dilalui daratan
Pakistan hingga Afghanistan serta di saat yang sama kekhawatiran pengaruh
terhadap warga Uyghur yang menjadi isu keamanan nasional. Ini menjadi
sebuah langkah logis bagi China untuk merangkul Taliban dalam peran dan
proses pembangun masa depan Afghanistan. Bahkan, pertemuan Menteri Luar
Negeri China dengan Taliban baru-baru ini memberi legitimasi internasional
tersendiri, suatu political act yang kebetulan memang dicari oleh Taliban
dalam merebut kembali Kabul. Sementara itu,
Turki memilih untuk tetap konsisten berada dalam proses melindungi keutuhan
kota Kabul. Peran strategis Ankara sangat penting sebagai saluran diplomasi
dan dialog sebagaimana menjadi harapan proses The Doha Dialogue (Perundingan
Doha). Sebagai 'big brother' negara-negara Islam, Turki dianggap dapat
mengajak diskusi dan bernegosiasi dengan seluruh pemangku kepentingan di
antaranya pemerintahan Kabul, Taliban, Islamabad, Beijing hingga
negara-negara Barat. Di sisi lain,
situasi politik domestik Afghanistan dan dinamika regional yang berkembang
ternyata tidak menguntungkan India bahkan menjadi ancaman keamanan nasional.
Pemerintah India yang sudah telajur investasi miliaran dolar dalam proses
pembangunan di Afghanistan terancam kehilangan akses serta dibayang-bayangi
ancaman para militan dan terorisme terkait isu klasik perbatasan
India-Pakistan. Di saat yang
sama, hal yang menjadi kekhawatiran New Delhi adalah potensi terjalinnya
sebuah aliansi Taliban-Pakistan-China yang akan menjadi tantangan keamanan
tersendiri dan cukup berat bagi India. Hal inilah yang membuat Perdana
Menteri Narendra Modi sebagai pihak yang paling kecewa dengan penarikan
pasukan AS dari Afghanistan. Pilihan Legitimasi Dengan
demikian, dinilai dari sketsa konstalasi geopolitik dan geostrategis di atas,
dapat terlihat bahwa masa depan 'trias politika' Kabul saat ini berada di
tangan para pihak yang akan memberi legitimasi, baik di dalam maupun di luar
negeri. Jika proses ini terus dibiarkan berlangsung, maka kemungkinan besar
proses untuk mencapai stabilitas di dalam ketatanegaraan Kabul masih akan
menemui perjalanan panjang, atau bahkan baru dimulai sebuah era power
politics yang baru. Sebagai
catatan, keberadaan Taliban hari ini berbeda dengan Taliban 20 tahun yang
lalu. Para elite Taliban kini memiliki legitimasi eksistensi secara global.
Bahkan, mereka terlibat dalam berbagai forum diplomasi dalam penataan masa
depan Afghanistan. Sehingga kemampuan kelompok ini bukan hanya dengan senjata
di jalanan, melainkan kemampuan diplomasi yang cukup maju bahkan menjanjikan.
Bahkan, Presiden Joe Biden mereferensi para pejuang sebagai 'militer' dan
bukan lagi sebagai 'militan'. Pada akhirnya,
menyelesaikan persoalan Afghanistan hampir mustahil tercapai bila tidak
dilakukan oleh masyarakatnya sendiri. Hal inilah yang menjadi cita-cita
kemerdekaan semua bangsa, dan patut mendapat dukungan global agar hak asasi
manusia dapat tercapai dan kelak kemakmuran dapat dirasakan. Memang,
komunikasi dengan pemerintahan Kabul dan Taliban itu penting dalam proses
menuju perdamaian. Tetapi, mengenali wajah aspirasi popular rakyat Afganistan
menjadi hal yang lebih penting bagi semua pihak sebelum memilih kepada siapa
arah komunikasi perlu dikuatkan dan menjadi jalan perjuangan diplomatik.
Inilah pilihan bagi para stakeholder kawasan dan global ke depan. Termasuk bagi
Indonesia, sudahkah mengenali wajah aspirasi sesungguhnya yang
merepresentasikan seluruh rakyat Afghanistan? Dan ke mana arah legitimasi de
facto maupun de jure dalam membangun komunikasi dan diplomasi akan berujung? ● Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5687880/kabul-taliban-dan-geopolitik-kawasan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar