Senin, 30 Agustus 2021

 

Kali ini Hilirisasi

Abdul Kohar ;  Dewan Redaksi Media Group

MEDIA INDONESIA, 28 Agustus 2021

 

 

                                                           

DULU, saat generasi seusia saya masih sekolah dasar, kami kerap diingatkan tentang pentingnya reboisasi. Awalnya, reboisasi bermakna penanaman kembali hutan-hutan yang gundul. Lambat laun, karena kampanye reboisasi di era '90-an sebatas meriah di meja-meja kelas, diperdebatkan secara sengit di forum-forum seminar, dan jadi bahan pidato di mimbar-mimbar pejabat, makna reboisasi pun terpaksa meluas. Menjadi, 'penanaman kembali hutan-hutan yang digunduli'.

 

Kini, pemerintah gencar mengampanyekan hilirisasi. Apa itu? Saat saya mengetikkan kata 'hilirisasi' pada kamus bahasa Indonesia daring, saya dituntun membuka kata 'penghiliran'. Maka, ketika saya ketikkan kata 'penghiliran', makna yang muncul ialah, 'proses, cara, perbuatan untuk melakukan pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai'.

 

Sama dengan reboisasi, hilirisasi atau penghiliran ialah kata kerja. Karena itu, mestinya ya dikerjakan. Namun, saya tidak hendak mengajak Anda berdebat soal kata. Yang pasti, penghiliran atau hilirisasi sudah terjadi di lapangan. Sudah berjalan, bahkan melampaui kata-kata. Walk the talk, istilah yang kerap dipakai.

 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sampai bisa menunjukkan contoh nyata. Kata Jokowi, hilirisasi atau penghiliran bukan sekadar tekad dan kampanye. Hilirisasi sudah dimulai dengan menghentikan ekspor bahan mentah seperti bijih nikel mulai 1 Januari 2020. Hasilnya, ekspor bijih nikel berganti menjadi ekspor utuh besi baja (olahan dari bijih nikel mentah) senilai US$10,5 miliar.

 

Kepala Negara pun menginginkan hilirisasi diterapkan di komoditas lain, seperti bahan mentah emas dan tembaga. "Bahan-bahan mentah itu bisa menjadi barang minimal setengah jadi, syukur-syukur bisa menjadi barang jadi," ujar Jokowi dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia secara virtual, Kamis, 26 Agustus 2021.

 

Mengapa Jokowi ngotot agar bangsa ini bergegas melakukan penghiliran sumber daya alamnya? Padahal, ekspor bahan mentah selama ini menghasilkan devisa yang tidak main-main. Bijih nikel, misalnya, Indonesia menguasai 27% pasokan bijih nikel dunia. Itu menjadikan Indonesia sebagai eksportir nikel terbesar kedua untuk industri baja negara-negara Uni Eropa. Itu sebabnya, banyak industri logam di Eropa sangat bergantung pada bahan mentah dari Indonesia.

 

Nilai ekspor bijih nikel Indonesia ke Uni Eropa juga meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat, ekspor bijih nikel Indonesia naik signifikan sebesar 18% pada kuartal kedua 2019 jika dibandingkan dengan periode yang sama di 2017. Sepanjang 2019, nilai ekspor nikel Indonesia mencapai US$1,7 miliar.

 

Kendati demikian, Indonesia selama puluhan tahun hanya mengekspor nikel mentah. Uangnya pun langsung masuk dalam jangka pendek. Namun, untuk jangka panjang, bangsa ini jelas merugi. Tanpa hilirisasi, saat barang mentah itu sudah habis, kita akan bergeser menjadi konsumen yang harus membeli lagi bijih nikel yang sudah diolah negara tujuan ekspor itu dengan harga berlipat ganda. Dampaknya, cadangan devisa yang kita dapat dari hasil penjualan bijih nikel itu bakal habis untuk membeli lagi produk turunan nikel.

 

Apalagi, menurut para ahli, nikel merupakan mineral yang sangat berharga di masa depan karena pesatnya perkembangan kendaraan listrik. Nikel adalah salah satu logam terbesar dalam pembuatan baterai listrik. Ia bahan lithium-ion, yang bisa diibaratkan jantungnya revolusi mobil listrik. Kandungan baterai lithium-ion itu terdiri atas anoda, katoda, dan elektrolit. Nikel merupakan komponen logam yang dominan dalam komposisi baterai listrik, khususnya katoda.

 

Selama dua dekade terakhir, produsen telah berupaya meningkatkan kadar nikel dalam komponen bahan baku utama baterai mobil listrik, mengingat harga nikel relatif lebih murah. Bahkan, dengan teknologi baterai lithium-ion yang semakin berkembang seiring pesatnya pertumbuhan kendaraan listrik, kandungan nikel diprediksi akan semakin besar karena memiliki penyimpanan daya yang lebih baik.

 

Maka, jangka panjang, penghiliran bahan mentah kita ialah keniscayaan. Ia aset dan harapan cerah masa kini dan masa depan. Dengan mengolah bijih nikel menjadi feronikel, misalnya, harganya dapat meningkat dari US$55 per ton menjadi US$232 per ton, atau memberikan nilai tambah sekitar 400%. Itu baru nikel. Masih banyak riset perguruan tinggi atas sumber daya alam kita yang juga amat menjanjikan untuk segera dihilirkan.

 

Jadi, jangan pesimistis dengan hilirisasi karena ia dijalankan secara berbeda dengan saat awal-awal kampanye masif reboisasi. Hilirisasi sudah terjadi. Keputusan berani penghiliran nikel bukannya tanpa risiko. Gugatan keras Uni Eropa yang selama ini amat bergantung pada bijih nikel Indonesia ialah risiko yang tidak main-main atas keputusan berani tersebut. Tapi, mengapa harus takut risiko. Tidak ada jalan yang mudah dan mulus untuk meraih kejayaan bangsa.

 

Seperti kata sejarawan HG Wells. “Apa yang menentukan besar-kecilnya suatu bangsa?” Lantas ia simpulkan sendiri, bahwa, “Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa adalah kualitas dan kuantitas tekadnya.”

 

Bangsa ini sudah bulat bertekad mengolah hasil buminya sendiri, dan itu tidak akan ditarik kembali.

 

Sumber :  https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2237-kali-ini-hilirisasi

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar