Laut
Jaya Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY, 25
Agustus 2021
DUA
hari penuh saya mencari info: di mana masih ada pabrik kontainer di
Indonesia. Siapa tahu mereka bisa ikut mengatasi krisis kontainer sekarang
ini. Agar para eksporter kita tetap semangat memperkuat ekonomi. Saya
juga memelototi komentar pembaca Disway lebih jeli. Siapa tahu ada info
tentang itu –seperti info tentang Agustinus Wibowo dulu. Kok tidak ada. Jangan-jangan
pembaca Disway juga sudah berusaha mencari tahu, tapi tidak menemukannya. Saya
pernah punya teman yang memiliki pabrik kontainer. Besar sekali. Yang
terbesar di Indonesia. Ia meninggal dunia bulan lalu. Tidak punya anak
kandung. Ia punya anak angkat –perempuan. Saya pun menghubungi suami Si Anak
Angkat. "Pabrik
kontainer beliau sudah tutup. Sudah lama sekali," ujarnya. Sudah
tutup? Sudah lama sekali? Teman saya itu tidak pernah bercerita. Pabrik
kontainer memang hanya satu satu dari banyak bisnisnya yang lain. Krisis
kontainer sekarang ini mau tidak mau mengingatkan kita bahwa
de-industrialisasi benar-benar terjadi di Indonesia. Kita pernah punya banyak
sekali industri kontainer. Pabrik itu tutup satu per satu. "Kami
sudah mencoba bertahan. Akhirnya tutup juga. Kami tutup yang terakhir,"
ujar sang suami. Dari
keterangan itu jelaslah kita tidak punya lagi pabrik kontainer. Tapi siapa
tahu keterangan itu salah. Siapa tahu masih ada yang tersisa. Atau
jangan-jangan justru sudah ada pabrik baru. Maka
saya pun meneruskan membaca komentar Disway yang hampir 300 itu. Sekalian
mencari calon ''pemenang tanpa tanda jasa'' komentar Disway. Kian
membaca ke bawah kian lupa tujuan utama saya: mencari info kontainer. Saya
terlena oleh komentar-komentar yang bikin saya tersenyum-senyum sendiri. Bahkan ada satu
dua yang bikin tawa saya meledak. Begitulah
tiap hari. Saya sangat terhibur oleh komentar di Disway. Terutama karena
perang cebong-kampretnya sudah kian reda. Saya
bangga di tengah perang medsos itu kita tidak kehilangan rasa humor. Itu
penting. Jangan lupa bahagia. Apalagi sudah terlihat ada humor yang nadanya
mengejek diri sendiri. Itu kemajuan besar. "Kemampuan menertawakan diri
sendiri adalah puncak peradaban manusia" –jangan juga terlalu percaya kata-kata
saya itu. Saya
pun minta maaf ketika tiba-tiba ada komentar yang menemukan kesalahan saya:
wanita kan harus ditulis ''dia'', kok ditulis ''ia'' –kata ganti yang
mestinya untuk laki-laki. Saya
juga minta maaf kadang memilih terlalu banyak ''komentar terbaik''. Mengapa
tidak satu saja. Itu sebenarnya rahasia. Tapi ya sudahlah, saya ungkapkan
saja di sini: itu cara saya untuk memaksakan diri agar membaca semua komentar
tanpa harus berpikir keras! Bayangkan kalau saya harus hanya memilih 1
komentar. Pusing. Kalau saya dipaksa seperti itu lebih baik diserahkan saja
ke dewan komentar –suatu saat nanti. Toh
sebanyak apa pun yang terpilih tidak harus memberi hadiah –entah sampai
kapan. Misalnya
di edisi kemarin (yang dimuat hari ini). Bagaimana bisa tidak memilih banyak.
Baru mulai membaca komentar pertama sudah langsung ketemu yang bagus. Tapi,
please, info pabrik kontainer itu penting sekali. Itu akan menyadarkan pada
kita soal tahapan industrialisasi di negara kita. Kita,
dulu, pernah hampir menjadi negara industri. Tahapan itu mandek ketika
terjadi reformasi. Negara melemah. Rakyat menguat. Demo tak terkendali. Mogok
buruh pun menakutkan –karena disertai sweeping dan perusakan. Pohon-pohon
ikut ditebang. Perkebunan dijarah. Dan seterusnya. Sejak
itu terjadilah de-industrialisasi. Banyak pabrik ditutup. Impor barang jadi
lebih mudah: tidak repot mengurus pabrik dan tenaga kerja. Apakah
de-industrialisasi itu sudah berhenti? Bahkan sudah mulai kembali proses
industrialisasi? Di
bidang kontainer belum. Memang masih banyak ditemukan pabrik kontainer. Tapi
hanya reparasi. Atau mengubah kontainer menjadi fungsi lain: kantor,
basecamp, tempat tinggal sementara, dan menjadi gudang. Krisis
kontainer ini juga membuat kita menengok ke kemampuan angkutan laut
internasional kita. "Saya berharap Indonesia punya pelayaran samudera.
Agar ekspor kita lebih lancar," ujar Jeffry Jocom yang punya pabrik
kelapa 1 juta butir sehari itu (Disway 23 Agustus 2021: Krisis Tertinggi). Di
laut kita bisa jaya –suatu saat kelak.(Dahlan Iskan) ● |
Sumber : https://www.disway.id/r/1691/laut-jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar