Renungan
Peringatan Kemerdekaan Candra Fajri Ananda ; Staf Khusus Kementerian Keuangan RI |
SINDONEWS, 19
Agustus 2021
“BANGUNLAH jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya…” Setiap bait
demi bait sajak lagu Indonesia Raya memiliki makna mendalam yang membawa kita
pada semangat Cinta Tanah Air yang tinggi dan mulia. Lagu Indonesia Raya yang
dilantunkan pertama kali di Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928
menggambarkan tentang semangat dan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Lagu
Indonesia Raya ibarat lagu pujian, rasa syukur, serta doa yang dikumandangkan
segenap rakyat Indonesia kepada Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga akhirnya
tercapailah kemerdekaan yang didambakan. Kini, Indonesia
telah merdeka selama lebih dari 7 dekade. Negeri ini telah 76 tahun berusaha
mengisi kemerdekaannya. Salah satu cita-cita mulia yang hendak dicapai
melalui kemerdekaan bangsa ini adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun baik dari segi etnis, suku,
daerah, agama, jenis kelamin dan sebagainya. Sayangnya, harus diakui bahwa
cita-cita mulia tersebut belum sepenuhnya tercapai, terutama dalam bidang
pendidikan dan kesehatan yang keduanya menjadi ujung tombak pembangunan
bangsa. Potret Pendidikan dan Kesehatan Indonesia Pendidikan dan
kesehatan adalah tujuan pembangunan yang mendasar. Pendidikan dan kesehatan
masing-masing juga memiliki arti yang penting, di mana keduanya adalah hal
yang fundamental untuk meningkatkan kapabilitas manusia sebagai pelaku dan
penerima manfaat pembangunan yang sesungguhnya. Pendidikan mampu memberikan
penguatan pada jiwa dan karakter sumber daya manusia sehingga Sumber Daya
Manusia (SDM) yang berkualitas akan tercapai. Di sisi lain, kesehatan dapat
memengaruhi tingkat daya tahan fisik manusia yang diperlukan dalam
pertimbangan investasi dan pembangunan. Kualitas
pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan. Pada laporan Right Education
Index (RTEI) menyebutkan kualitas pendidikan Indonesia berada di bawah
Filipina dan Malaysia. Berada pada posisi ke enam dengan skor sebesar 38.61
menurut Global Talent Competitiveness Index 2019. Hal ini membuat pendidikan
jauh di bawah standar rata-rata. Selain itu, berdasarkan hasil evaluasi
Programme for International Student Asessment (PISA) juga menunjukkan bahwa
sejak empat tahun terakhir, posisi Indonesia terus mengalami penurunan di
semua bidang yang diujikan, yakni membaca, matematika, dan sains. Berdasarkan
laporan PISA (2018), skor membaca Indonesia berada di peringkat 72 dari 77
negara, lalu skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor
sains ada di peringkat 70 dari 78 negara. Ketiga skor
tersebut kompak menurun dibandingkan dengan hasil PISA 2015, di mana skor
membaca Indonesia ada di peringkat 65, skor sains peringkat 64, dan skor
matematika peringkat 66. Di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia
berada di urutan terbawah bersama Filipina. Masih
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia salah satunya karena kuantitas dan
kualitas guru yang masih rendah. Dilihat dari sisi kuantitasnya, berdasarkan
data statistik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2020), total guru di
Indonesia sebesar 45.534.371 orang. Artinya, jumlah guru di Indonesia sekitar
6% dari total siswa di tingkat D, SMP, SMA / SMK. Jumlah guru tersebut
terhitung dari seluruh status guru, baik itu guru tetap maupun guru tidak
tetap. Selain itu, dari sisi kualitasnya, data Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menunjukan di antaranya 1,6 juta peserta uji kompetensi guru lebih
dari 1,3 juta di antaranya memiliki nilai di bawah 60 dari rentang nilai
0-100. Dari ujian ini pula, hanya 192 guru yang mendapat nilai di atas 90.
Sementara hampir 130.000 di antaranya hanya mampu memperoleh nilai di bawah
30. Rendahnya kapasitas tenaga pengajar tersebut secara langsung berdampak
pada rendahnya kualitas pendidikan di setiap daerah. Berbagai
problematika dalam pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa sejatinya
kebijakan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN belum optimal dan
belum memenuhi kategori belanja yang berkualitas. Berdasarkan kajian,
Kementerian PPN/Bappenas menyebut bahwa belum maksimalnya alokasi anggaran
pada sektor pendidikan tersebut terlihat dari angka elastisitas antara
besaran belanja terhadap pertumbuhan ekonomi sektoral. Periode 2013-2017,
elastisitas belanja kementerian dan lembaga (K/L) di sektor pendidikan baru
0,39. Selama ini, mayoritas anggaran fungsi pendidikan dialokasikan untuk
membayar gaji guru dan tunjangan sertifikasi guru. Akan tetapi, proses
sertifikasi guru yang diharapkan bisa meningkatkan kualitas guru nyatanya
tidak juga mampu meningkatkan kualitas pendidikan dan prestasi belajar siswa. Pada sektor kesehatan pun
tak jauh berbeda kondisinya. Laporan The Legatum Prosperity Index 2017
menunjukkan bahwa indeks kesehatan global Indonesia berada di posis ke 101
dari 149 negara. Indeks ini didasarkan pada kesehatan fisik, mental,
infrastruktur kesehatan dan perawatan guna pencegahan berbagai wabah atau
penyakit. Dibandingkan Singapura, misalnya, posisi Indonesia sangatlah jauh.
Negara maju yang hanya seluas DKI Jakarta dengan penduduk sekitar 5 juta jiwa
ini menjadi negara dengan indeks kesehatan terbaik nomor dua di dunia.
Dibandingkan negara ASEAN lainnya pun posisi Indonesia masih tertinggal.
Thailand menempati posisi 35, sedangkan Malaysia menempel Thailand di posisi
38. Indonesia bahkan kalah dari Vietnam yang berada di posisi 69 ataupun Laos
yang berada di posisi 94. Lebih lanjut, dari sisi
pengobatan dan infrastruktur kesehatan, masih banyak wilayah terpencil di
yang masih sulit untuk mengakses layanan medis. Bahkan wilayah yang telah
memiliki layanan medis lengkap pun, belum tentu mendapatkan layanan kesehatan
karena biaya yang tak murah. Meski kini pemerintah telah menerapkan kartu
Indonesia Sehat, termasuk adanya BPJS, namun rupanya hal itu belum cukup
mengangkat indeks kesehatan Indonesia di tingkat global. Kini, pandemi COVID -19
turut menyadarkan kita bahwa sektor kesehatan di Indonesia masih lemah. Hal
itu terlihat dari beberapa indikator, di antaranya adalah masih lemahnya
sektor industri farmasi (obat-obatan), lemahnya sektor fasilitas kesehatan
(rumah sakit) yang kurang memadai serta SDM sektor kesehatan yang belum
maksimal. Data Kementerian Kesehatan mencatat bahwa sampai saat ini produk
dalam negeri alat kesehatan hanya 12%, sisanya adalah impor. Sedangkan pada
obat-obatan, dari 10 molekul obat yang tinggi penggunaannya di Indonesia,
hanya 2 yang bahan bakunya diproduksi dalam negeri. Selain itu, di sisi
fasilitas kesehatan, data menunjukkan bahwa jumlah rasio tempat tidur rumah
sakit di Indonesia adalah 1,17 per 1000 penduduk. Hal ini pada akhirnya akan
memunculkan permasalahan, terutama di masa pandemi ini. Reformasi
Pendidikan dan Kesehatan Indonesia Gambaran di atas
menunjukkan masih besar pekerjaan rumah kita di bidang Pendidikan dan
kesehatan. Sisi komitmen pemerintah, terlihat bahwa pemerintah terus berupaya
konsisten untuk terus mendorong anggaran pendidikan dan kesehatan. Hal yang
ditunggu, reformasi sektor pendidikan dan kesehatan ini ke mana? Melihat perkembangan
global saat ini, kita memerlukan SDM hasil pendidikan yang paham dinamika
global tetapi tetap berkarakter “Indonesia”. Guru, dosen, gedung sekolah,
kurikulum, konsistensi kebijakan dan struktur perekonomian, adalah
faktor-faktor yang harus diperhitungkan dalam pembangunan sektor pendidikan.
Selama ini, fokus pemerintah lebih pada insentif guru, infrastruktur
Pendidikan serta kurikulum. Melihat perkembangan yang pesat saat ini, tentu
orientasi ini akan berubah dan adaptif terhadap perubahan. Sementara untuk
kesehatan, memperbaiki aksesibilitas pada kesehatan yang perlu dibuka lebih
luas kepada masyarakat. Perkembangan teknologi saat ini, seharusnya
mempercepat perubahan yang diperlukan saat ini, untuk terus lebih baik. ● Sumber
: https://nasional.sindonews.com/read/515296/18/renungan-peringatan-kemerdekaan-1629346099 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar