Senin, 30 Agustus 2021

 

Sosok-sosok Misterius Budi Darma

Putu Fajar Arcana ;  Penulis Kolom “Sosial Budaya” Kompas

KOMPAS, 25 Agustus 2021

 

 

                                                           

Dalam satu rapat dewan juri, cerpen Angela karya Budi Darma dan cerpen Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon karya Faisal Oddang saling berhadapan. Suara lima orang juri terbelah. Angela adalah kisah kelanjutan pengembaraan Budi Darma dalam meneropong kota Bloomington, Amerika, dengan sosok-sosok aneh, absurd, sekaligus misterius. Budi Darma selalu secara gemilang berhasil menjahit kolase-kolase peristiwa menjadi pengetahuan tentang keunikan sebuah karakter. Kencenderungan ini pula yang terdapat dalam cerpen Lelaki Pemanggul Goni, yang kemudian dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2012.

 

Seingat saya, entah dengan alasan apa waktu itu, wartawan senior Efik Mulyadi dan juga saya, mengajukan cerpen Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon untuk dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2014. Sebagai pengagum Budi Darma, Myrna Ratna dan Frans Sartono berkukuh tetap memilih Angela. Cerpen ini tidak hanya matang secara teknis, tetapi menyodorkan sisi misterius dan kejam dari kehidupan tokoh perempuan asal Columbia bernama Angela Vicario. Secara cermat, Budi Darma menjahit masa lalu para tokohnya dengan masa kini untuk menyingkap sebuah kehidupan yang penuh drama.

 

Masih ada juri lain, Hariadi Saptono, yang belum menentukan arah pilihannya. Saya mengusulkan, ketimbang berlarut-larut dalam posisi yang saling bertahan, semua juri wajib membaca ulang kedua cerpen itu. Selama sejam berikutnya, kami suntuk memeriksa cerpen Faisal Oddang dan Budi Darma. Dalam benak saya bermunculan pikiran tentang posisi Faisal Oddang sebagai pendatang baru yang waktu itu baru berusia 20 tahun dan Budi Darma yang karya-karyanya telah merengkuh berbagai penghargaan bergengsi.

 

Dengan kata lain, Faisal Oddang dan Budi Darma adalah ”pertarungan” dua generasi berbeda zaman dan gaya. Budi Darma membawa realisme menemukan jalan buntu ketika berhadapan dengan kemisteriusan hidup manusia. Masa lalu selalu menjadi sumber yang membentuk keanehan watak seseorang. Tokoh seperti Olenka, Angela, dan Karmain (dalam Lelaki Pemanggul Goni) adalah tokoh-tokoh yang terbelit masa lalu kelam. Ketika mereka hadir sebagai pribadi, yang berhadapan dengan tokoh-tokoh lain, terutama ”saya”, ia tampak menjadi aneh dan penuh kejutan.

 

Di sisi lain, Faisal Oddang tentu belum teraba benar kecenderungan kisah-kisahnya. Ia baru pertama kali mengirim cerpen ke Kompas dan kini karyanya harus berhadapan dengan nilai-nilai ”kemapanan” yang dibawa oleh Budi Darma. Saya melihat cerpen Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon tidak hanya istimewa ketika ia mempersoalkan kecenderungan komodifikasi terhadap kebudayaan dan tradisi lokal, tetapi juga membawa angin segar dalam gaya, bahasa, dan bidikan peristiwa. Sudah lama Kompas menunggu kisah-kisah yang mengangkat kembali potensi-potensi lokal, tanpa harus jatuh menjadi eksotisme, apalagi romantisme.

 

Secara surealistik, Oddang memberi porsi bercerita kepada dua bayi yang telah dikuburkan dalam batang pohon tarra sebagaimana tradisi di Toraja. Percakapan dua roh bayi itu menjulur jauh sampai kepada perubahan yang kini harus dihadapi oleh satu entitas kultural akibat gelegak dunia pariwisata. Celakanya, segala perubahan ke arah komersialisasi tradisi itu justru dilakukan oleh orang-orang yang menggeluti tradisinya sendiri. Cerpen ini lahir tepat ketika tumbuhnya pemikiran tentang post-moderisme, yang ditandai dengan penghargaan terhadap tradisi sebagai bagian penting dalam pergerakan kebudayaan. Modernisme, yang notebene dibawa oleh pemikiran dan gaya hidup Barat, terbukti telah membuat kebudayaan lokal terpinggirkan, bahkan dicap sebagai udik dan primitif.

 

Tanpa diduga, saudara Hariadi Saptono berpihak kepada cerpen karya Oddang. Seperti kemudian telah dicatat, cerpen Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2014. Nama Faisal Oddang tiba-tiba menjadi buah bibir dalam percaturan dunia kesusastraan Indonesia. Sejak Kompas menggelar pemilihan cerpen terbaik tahun 1992, belum pernah terjadi cerpen karya seorang anak muda berusia 20 tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa dinobatkan sebagai karya terbaik.

 

Meski harus diputuskan melalui voting, dengan suara 3 : 2 untuk cerpen Di Tubuh dalam Rahim Pohon, tak lantas membuat mutu cerpen karya Budi Darma lebih rendah. Cerpen ini tetap membuat kami para dewan juri penasaran untuk menyelami lebih jauh tentang pengarangnya. Budi Darma, yang sehari-hari dikenal sangat rapi, santun, murah senyum, tutur katanya lembut, dan siap diajak ngobrol kapan saja, ternyata menuliskan kisah-kisahnya secara tangkas dengan bahasa yang lugas. Jika menggunakan diksi-diksi yang berkesan keras seperti ”sundal” atau ”polisi berwatak anjing”, misalnya, tidak terkesan bahwa ia sedang mengumpat atau merendahkan akhlak seseorang. Dengan teknik penarasian yang kaya, kita menerimanya tidak sebagai kekasaran, tetapi sebagai perilaku misterius dari seorang tokoh yang sedang ia ceritakan.

 

Angela dan Olenka adalah representasi karakter perempuan yang hidup di wilayah sub-urban, seperti Bloomington. Masa lalu di negara asal terbawa menyusup ke dalam kebebasan gaya Amerika. Di wilayah sub-urban, para tokoh ini bisa bertemu dengan orang-orang dari berbagai bangsa. Angela Vicario bertemu dengan Burhanto dari Indonesia dan Tony Mbanta dari Etiopia. Olenka bertemu Fanton Drummond, orang Amerika yang terobsesi kepadanya. Dalam pertemuan-pertemuan itu, Budi Darma selalu menggambarkan relasi-relasi yang rumit, yang pada titik tertentu kita mengerti bahwa tokoh-tokoh itu telah begitu banyak menjalani peristiwa traumatik.

 

Angela trauma terhadap laki-laki karena setiap lelaki yang ingin memperkosa atau menidurinya selalu menyerah karena loyo. Bahkan, ketika ia memutuskan menikah dengan Tony Mbanta, yang tubuhnya perkasa, kekecewaan itu mendera dirinya. Penyebab semua itu tak pernah diungkap, Budi Darma hanya menyebut bahwa tubuh Angela terlalu dingin untuk semua lelaki. Mungkin oleh sebab itu, setiap orang dengan niat baik dan jahat sekali pun, termasuk ”saya”, tak akan berhasil merenggut keperawanannya.

 

Sebaliknya, Olenka melarikan diri dari suaminya, Wayne Danton, dan pacar gelapnya, Fanton Drummond, karena rasa bersalah. Walau secara terus terang mengakui dirinya adalah lesbian, ia sebenarnya mencintai Fanton. Sesungguhnya Olenka adalah pribadi yang tertutup, misterius, dan tidak banyak orang mengenalnya. Suatu hari Fanton mendengar bahwa Olenka terlibat pemalsuan lukisan para pelukis ternama dan di kamarnya ditemukan begitu banyak lukisan.

 

Keanehan tokoh-tokoh dalam karya Budi Darma sudah terlihat ketika ia menerbitkan buku kumpulan cerpen pertamanya Orang-orang Bloomington (1980). Ia banyak mengulas tentang para janda penghuni apartemen di mana para imigran sementara seperti dirinya memilih tempat tinggal. Keanehan biasanya diperlihatkan oleh fakta-fakta yang tampak di permukaan, seperti selalu melambai kepada semua orang yang lewat di jalanan serta memaki-maki tukang pos. Suatu kali lain, terlihat juga seorang lelaki tua, yang turut menghuni apartemen, yang selalu mengacung-acungkan pistol walau tak sekali pun ia meledakkannya.

 

Keanehan bagi Budi Darma bukan sekadar daya tarik cerita, melainkan satu upaya perekaman lanskap psikologi sosial yang ia alami dan rasakan selama bermukim di Bloomington pada 1974-1980. Kehidupan apartemen tentu saja menarik baginya karena ia menemukan pola hidup berbeda dengan kota seperti Surabaya di mana ia bermukim, termasuk ibu kota seperti Jakarta. Di Jakarta pada awal tahun 1980-an belum dikenal permukiman seperti apartemen. Orang-orang masih hidup di rumah-rumah biasa sebagaimana pula terjadi di kampung-kampung.

 

Soal itu, dalam satu percakapan dengan saya, Budi Darma mengatakan, baginya hidup di apartemen sedikit menyiksa walau ia belajar mengenai banyak hal di dalamnya. Kehidupan sub-urban seperti di Bloomington memungkinkannya bertemu dengan orang-orang dari seluruh penjuru dunia dengan latar kulturalnya yang berbeda-beda. ”Sebagai pencerita, saya merasa disuguhi materi yang begitu kaya,” kata Budi Darma dalam satu kesempatan bertemu di Surabaya beberapa tahun silam.

 

Realitas sosial yang ditangkapnya, kata Budi Darma, hampir selalu berawal dari pengalaman dan kehadirannya dalam mempersepsi peristiwa dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bahkan, jauh setelah menulis Orang-orang Bloomington dan Olenka, karakter-karakter orang-orang yang ditemuinya selalu menarik dijadikan model untuk menulis sebuah cerita. Salah satu contohnya, kata Budi Darma, terdapat dalam cerpen Angela yang dimuat Kompas Minggu, 14 April 2014.

 

Pada kesan keseriusan dan kesantunan yang melekat dalam diri Budi Darma, siapa menduga ia punya selera humor yang memadai. Sore di hari Senin (12/7/2021) tiba-tiba ia mengirim pesan Whatsapp kepada saya tentang kejadian yang baru saja ia alami. ”Saya itu diberi dua pilihan, silakan menguji mengenakan toga atau jas dan dasi. Saya pilih pakai jas. Belakangan saya sadar sudah lama tidak punya jas. Lalu, saya pinjam sama Hananto, anak saya. Eh, jasnya kedombrangan, dia kan lebih besar dari saya…,” tulis Budi Darma.

 

Pesan darinya belum selesai. Budi Darma melanjutkan, dalam menguji calon doktor dari Unesa Surabaya itu, tidak ada yang tahu kalau dirinya mengenakan sarung. ”Kan yang kelihatan cuma jasnya yang kedombrangan itu, sarung bawahnya tak ada yang tahu,” katanya. Di kemudian hari, saya diberi tahu Hananto bahwa jas miliknya yang dipakai ayahnya tak lain adalah ”jatah” dirinya ketika menjadi pengawas pemilu tahun 2019. ”Itu jatah saya sebagai pengawas pemilu,” kata Hananto.

 

Beberapa hari sesudah itu, saya mendengar Budi Darma sakit. Secara spontan saya menghubunginya lewat pesan Whatsapp seperti komunikasi kami selama ini. Budi Darma bilang, ia memang sedang demam dan hanya butuh istirahat di rumah. Namun, penulis Vika Wisnu, yang mukim di Surabaya, kemudian memberi kabar penulis novel Rafillus itu dilarikan ke rumah sakit bersama istri dan anaknya pada 28 Juli 2021. Sesekali, penulis Wina Bojonegoro berkabar dari Surabaya bahwa ventilator yang dikenakan Budi Darma sudah dilepas beberapa hari ini. Saya agak lega walau tetap waswas karena pada 23-29 Mei 2021 sebelumnya, Budi Darma pernah dirawat di rumah sakit karena pneumonia.

 

Hananto Widodo, anak bungsu Budi Darma, kemudian bercerita bahwa ayah dan ibunya dirawat di rumah sakit berbeda dengan dirinya. ”Ketika saya sudah sembuh dan diizinkan pulang, demikian juga ibu, bapak masih dirawat di Rumah Sakit Islam Ahmad Yani,” tutur Hananto. Sampai kemudian ayahnya dikabarkan wafat, Sabtu (21/8/2021)  pukul 06.00, tak sekali pun ia bisa berkomunikasi dengan ayahnya. Bahkan sekadar untuk mengantarkannya ke peristirahatan terakhir, ia juga tidak diperkenankan. ”Saya sudah negatif Covid, tetapi masih isolasi mandiri,” katanya terbata-bata.

 

Kapan dan dengan cara apa kita akan pergi selalu menjadi misteri. Budi Darma seperti tokoh-tokoh dalam cerpen terakhirnya yang dimuat di Kompas Minggu, 14 Juli 2021 berjudul ”Kematian Seorang Pelukis”. Wiwin dan Sawitri, dua perempuan pelukis yang bersahabat, sama-sama pergi dengan cara misterius. Sawitri meninggal terlebih dahulu kemudian disusul Wiwin yang meninggal ketika sedang berada di atas pesawat. Secuplik kisah penyakit Wiwin, hanya disebut ia memiliki kelainan jantung. Oleh sebab itu, ia berobat kepada Dokter Munandar.

 

Sosok-sosok tokoh pada sebagian besar kisah Budi Darma sesungguhnya juga tokoh-tokoh yang aneh dan misterius. Saya yakin itulah cara peraih Satya  Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI tahun 2003 ini untuk memecahkan persoalan aburditas yang kerap melanda manusia. Dalam terminologi Jawa sering kali terdengar ungkapan, sangkan paraning dumadi: darimana manusia berasal ke sana pulalah ia akan pergi. Semoga dalam segala keterbatasan pemahaman manusia tentang diri dan Tuhannya, melalui pencarian lewat kisah-kisahnya, Budi Darma menemukan jalan terang benderang dan menyatu dengan sumber segala sumber cahaya. Dari mana ia berasal, ke sanalah ia berjalan menuju perhentian terakhir setelah mengembara ke kota-kota yang membara dalam kisah-kisahnya. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/25/sosok-sosok-misterius-budi-darma/

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar