Sosok-sosok
Misterius Budi Darma Putu Fajar Arcana ; Penulis Kolom “Sosial Budaya” Kompas |
KOMPAS, 25 Agustus 2021
Dalam
satu rapat dewan juri, cerpen Angela karya Budi Darma dan cerpen Di Tubuh
Tarra dalam Rahim Pohon karya Faisal Oddang saling berhadapan. Suara lima
orang juri terbelah. Angela adalah kisah kelanjutan pengembaraan Budi Darma
dalam meneropong kota Bloomington, Amerika, dengan sosok-sosok aneh, absurd,
sekaligus misterius. Budi Darma selalu secara gemilang berhasil menjahit
kolase-kolase peristiwa menjadi pengetahuan tentang keunikan sebuah karakter.
Kencenderungan ini pula yang terdapat dalam cerpen Lelaki Pemanggul Goni,
yang kemudian dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2012. Seingat
saya, entah dengan alasan apa waktu itu, wartawan senior Efik Mulyadi dan
juga saya, mengajukan cerpen Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon untuk
dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2014. Sebagai pengagum Budi Darma,
Myrna Ratna dan Frans Sartono berkukuh tetap memilih Angela. Cerpen ini tidak
hanya matang secara teknis, tetapi menyodorkan sisi misterius dan kejam dari
kehidupan tokoh perempuan asal Columbia bernama Angela Vicario. Secara
cermat, Budi Darma menjahit masa lalu para tokohnya dengan masa kini untuk
menyingkap sebuah kehidupan yang penuh drama. Masih
ada juri lain, Hariadi Saptono, yang belum menentukan arah pilihannya. Saya
mengusulkan, ketimbang berlarut-larut dalam posisi yang saling bertahan,
semua juri wajib membaca ulang kedua cerpen itu. Selama sejam berikutnya,
kami suntuk memeriksa cerpen Faisal Oddang dan Budi Darma. Dalam benak saya
bermunculan pikiran tentang posisi Faisal Oddang sebagai pendatang baru yang
waktu itu baru berusia 20 tahun dan Budi Darma yang karya-karyanya telah
merengkuh berbagai penghargaan bergengsi. Dengan
kata lain, Faisal Oddang dan Budi Darma adalah ”pertarungan” dua generasi
berbeda zaman dan gaya. Budi Darma membawa realisme menemukan jalan buntu
ketika berhadapan dengan kemisteriusan hidup manusia. Masa lalu selalu
menjadi sumber yang membentuk keanehan watak seseorang. Tokoh seperti Olenka,
Angela, dan Karmain (dalam Lelaki Pemanggul Goni) adalah tokoh-tokoh yang
terbelit masa lalu kelam. Ketika mereka hadir sebagai pribadi, yang
berhadapan dengan tokoh-tokoh lain, terutama ”saya”, ia tampak menjadi aneh
dan penuh kejutan. Di
sisi lain, Faisal Oddang tentu belum teraba benar kecenderungan
kisah-kisahnya. Ia baru pertama kali mengirim cerpen ke Kompas dan kini
karyanya harus berhadapan dengan nilai-nilai ”kemapanan” yang dibawa oleh
Budi Darma. Saya melihat cerpen Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon tidak hanya
istimewa ketika ia mempersoalkan kecenderungan komodifikasi terhadap
kebudayaan dan tradisi lokal, tetapi juga membawa angin segar dalam gaya,
bahasa, dan bidikan peristiwa. Sudah lama Kompas menunggu kisah-kisah yang
mengangkat kembali potensi-potensi lokal, tanpa harus jatuh menjadi
eksotisme, apalagi romantisme. Secara
surealistik, Oddang memberi porsi bercerita kepada dua bayi yang telah
dikuburkan dalam batang pohon tarra sebagaimana tradisi di Toraja. Percakapan
dua roh bayi itu menjulur jauh sampai kepada perubahan yang kini harus
dihadapi oleh satu entitas kultural akibat gelegak dunia pariwisata.
Celakanya, segala perubahan ke arah komersialisasi tradisi itu justru
dilakukan oleh orang-orang yang menggeluti tradisinya sendiri. Cerpen ini
lahir tepat ketika tumbuhnya pemikiran tentang post-moderisme, yang ditandai
dengan penghargaan terhadap tradisi sebagai bagian penting dalam pergerakan
kebudayaan. Modernisme, yang notebene dibawa oleh pemikiran dan gaya hidup
Barat, terbukti telah membuat kebudayaan lokal terpinggirkan, bahkan dicap
sebagai udik dan primitif. Tanpa
diduga, saudara Hariadi Saptono berpihak kepada cerpen karya Oddang. Seperti
kemudian telah dicatat, cerpen Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon dinobatkan
sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2014. Nama Faisal Oddang tiba-tiba menjadi buah
bibir dalam percaturan dunia kesusastraan Indonesia. Sejak Kompas menggelar
pemilihan cerpen terbaik tahun 1992, belum pernah terjadi cerpen karya
seorang anak muda berusia 20 tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa
dinobatkan sebagai karya terbaik. Meski
harus diputuskan melalui voting, dengan suara 3 : 2 untuk cerpen Di Tubuh
dalam Rahim Pohon, tak lantas membuat mutu cerpen karya Budi Darma lebih
rendah. Cerpen ini tetap membuat kami para dewan juri penasaran untuk
menyelami lebih jauh tentang pengarangnya. Budi Darma, yang sehari-hari
dikenal sangat rapi, santun, murah senyum, tutur katanya lembut, dan siap
diajak ngobrol kapan saja, ternyata menuliskan kisah-kisahnya secara tangkas
dengan bahasa yang lugas. Jika menggunakan diksi-diksi yang berkesan keras
seperti ”sundal” atau ”polisi berwatak anjing”, misalnya, tidak terkesan
bahwa ia sedang mengumpat atau merendahkan akhlak seseorang. Dengan teknik
penarasian yang kaya, kita menerimanya tidak sebagai kekasaran, tetapi
sebagai perilaku misterius dari seorang tokoh yang sedang ia ceritakan. Angela
dan Olenka adalah representasi karakter perempuan yang hidup di wilayah
sub-urban, seperti Bloomington. Masa lalu di negara asal terbawa menyusup ke
dalam kebebasan gaya Amerika. Di wilayah sub-urban, para tokoh ini bisa
bertemu dengan orang-orang dari berbagai bangsa. Angela Vicario bertemu
dengan Burhanto dari Indonesia dan Tony Mbanta dari Etiopia. Olenka bertemu
Fanton Drummond, orang Amerika yang terobsesi kepadanya. Dalam
pertemuan-pertemuan itu, Budi Darma selalu menggambarkan relasi-relasi yang
rumit, yang pada titik tertentu kita mengerti bahwa tokoh-tokoh itu telah
begitu banyak menjalani peristiwa traumatik. Angela
trauma terhadap laki-laki karena setiap lelaki yang ingin memperkosa atau
menidurinya selalu menyerah karena loyo. Bahkan, ketika ia memutuskan menikah
dengan Tony Mbanta, yang tubuhnya perkasa, kekecewaan itu mendera dirinya.
Penyebab semua itu tak pernah diungkap, Budi Darma hanya menyebut bahwa tubuh
Angela terlalu dingin untuk semua lelaki. Mungkin oleh sebab itu, setiap
orang dengan niat baik dan jahat sekali pun, termasuk ”saya”, tak akan
berhasil merenggut keperawanannya. Sebaliknya,
Olenka melarikan diri dari suaminya, Wayne Danton, dan pacar gelapnya, Fanton
Drummond, karena rasa bersalah. Walau secara terus terang mengakui dirinya
adalah lesbian, ia sebenarnya mencintai Fanton. Sesungguhnya Olenka adalah
pribadi yang tertutup, misterius, dan tidak banyak orang mengenalnya. Suatu
hari Fanton mendengar bahwa Olenka terlibat pemalsuan lukisan para pelukis
ternama dan di kamarnya ditemukan begitu banyak lukisan. Keanehan
tokoh-tokoh dalam karya Budi Darma sudah terlihat ketika ia menerbitkan buku
kumpulan cerpen pertamanya Orang-orang Bloomington (1980). Ia banyak mengulas
tentang para janda penghuni apartemen di mana para imigran sementara seperti
dirinya memilih tempat tinggal. Keanehan biasanya diperlihatkan oleh
fakta-fakta yang tampak di permukaan, seperti selalu melambai kepada semua
orang yang lewat di jalanan serta memaki-maki tukang pos. Suatu kali lain,
terlihat juga seorang lelaki tua, yang turut menghuni apartemen, yang selalu
mengacung-acungkan pistol walau tak sekali pun ia meledakkannya. Keanehan
bagi Budi Darma bukan sekadar daya tarik cerita, melainkan satu upaya
perekaman lanskap psikologi sosial yang ia alami dan rasakan selama bermukim
di Bloomington pada 1974-1980. Kehidupan apartemen tentu saja menarik baginya
karena ia menemukan pola hidup berbeda dengan kota seperti Surabaya di mana
ia bermukim, termasuk ibu kota seperti Jakarta. Di Jakarta pada awal tahun
1980-an belum dikenal permukiman seperti apartemen. Orang-orang masih hidup
di rumah-rumah biasa sebagaimana pula terjadi di kampung-kampung. Soal
itu, dalam satu percakapan dengan saya, Budi Darma mengatakan, baginya hidup
di apartemen sedikit menyiksa walau ia belajar mengenai banyak hal di
dalamnya. Kehidupan sub-urban seperti di Bloomington memungkinkannya bertemu
dengan orang-orang dari seluruh penjuru dunia dengan latar kulturalnya yang
berbeda-beda. ”Sebagai pencerita, saya merasa disuguhi materi yang begitu kaya,”
kata Budi Darma dalam satu kesempatan bertemu di Surabaya beberapa tahun
silam. Realitas
sosial yang ditangkapnya, kata Budi Darma, hampir selalu berawal dari
pengalaman dan kehadirannya dalam mempersepsi peristiwa dengan orang-orang
yang terlibat di dalamnya. Bahkan, jauh setelah menulis Orang-orang
Bloomington dan Olenka, karakter-karakter orang-orang yang ditemuinya selalu
menarik dijadikan model untuk menulis sebuah cerita. Salah satu contohnya,
kata Budi Darma, terdapat dalam cerpen Angela yang dimuat Kompas Minggu, 14
April 2014. Pada
kesan keseriusan dan kesantunan yang melekat dalam diri Budi Darma, siapa
menduga ia punya selera humor yang memadai. Sore di hari Senin (12/7/2021)
tiba-tiba ia mengirim pesan Whatsapp kepada saya tentang kejadian yang baru
saja ia alami. ”Saya itu diberi dua pilihan, silakan menguji mengenakan toga
atau jas dan dasi. Saya pilih pakai jas. Belakangan saya sadar sudah lama
tidak punya jas. Lalu, saya pinjam sama Hananto, anak saya. Eh, jasnya
kedombrangan, dia kan lebih besar dari saya…,” tulis Budi Darma. Pesan
darinya belum selesai. Budi Darma melanjutkan, dalam menguji calon doktor
dari Unesa Surabaya itu, tidak ada yang tahu kalau dirinya mengenakan sarung.
”Kan yang kelihatan cuma jasnya yang kedombrangan itu, sarung bawahnya tak
ada yang tahu,” katanya. Di kemudian hari, saya diberi tahu Hananto bahwa jas
miliknya yang dipakai ayahnya tak lain adalah ”jatah” dirinya ketika menjadi
pengawas pemilu tahun 2019. ”Itu jatah saya sebagai pengawas pemilu,” kata
Hananto. Beberapa
hari sesudah itu, saya mendengar Budi Darma sakit. Secara spontan saya
menghubunginya lewat pesan Whatsapp seperti komunikasi kami selama ini. Budi
Darma bilang, ia memang sedang demam dan hanya butuh istirahat di rumah.
Namun, penulis Vika Wisnu, yang mukim di Surabaya, kemudian memberi kabar
penulis novel Rafillus itu dilarikan ke rumah sakit bersama istri dan anaknya
pada 28 Juli 2021. Sesekali, penulis Wina Bojonegoro berkabar dari Surabaya
bahwa ventilator yang dikenakan Budi Darma sudah dilepas beberapa hari ini.
Saya agak lega walau tetap waswas karena pada 23-29 Mei 2021 sebelumnya, Budi
Darma pernah dirawat di rumah sakit karena pneumonia. Hananto
Widodo, anak bungsu Budi Darma, kemudian bercerita bahwa ayah dan ibunya
dirawat di rumah sakit berbeda dengan dirinya. ”Ketika saya sudah sembuh dan
diizinkan pulang, demikian juga ibu, bapak masih dirawat di Rumah Sakit Islam
Ahmad Yani,” tutur Hananto. Sampai kemudian ayahnya dikabarkan wafat, Sabtu
(21/8/2021) pukul 06.00, tak sekali
pun ia bisa berkomunikasi dengan ayahnya. Bahkan sekadar untuk
mengantarkannya ke peristirahatan terakhir, ia juga tidak diperkenankan.
”Saya sudah negatif Covid, tetapi masih isolasi mandiri,” katanya
terbata-bata. Kapan
dan dengan cara apa kita akan pergi selalu menjadi misteri. Budi Darma
seperti tokoh-tokoh dalam cerpen terakhirnya yang dimuat di Kompas Minggu, 14
Juli 2021 berjudul ”Kematian Seorang Pelukis”. Wiwin dan Sawitri, dua
perempuan pelukis yang bersahabat, sama-sama pergi dengan cara misterius.
Sawitri meninggal terlebih dahulu kemudian disusul Wiwin yang meninggal
ketika sedang berada di atas pesawat. Secuplik kisah penyakit Wiwin, hanya
disebut ia memiliki kelainan jantung. Oleh sebab itu, ia berobat kepada
Dokter Munandar. Sosok-sosok
tokoh pada sebagian besar kisah Budi Darma sesungguhnya juga tokoh-tokoh yang
aneh dan misterius. Saya yakin itulah cara peraih Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI tahun
2003 ini untuk memecahkan persoalan aburditas yang kerap melanda manusia.
Dalam terminologi Jawa sering kali terdengar ungkapan, sangkan paraning
dumadi: darimana manusia berasal ke sana pulalah ia akan pergi. Semoga dalam
segala keterbatasan pemahaman manusia tentang diri dan Tuhannya, melalui
pencarian lewat kisah-kisahnya, Budi Darma menemukan jalan terang benderang
dan menyatu dengan sumber segala sumber cahaya. Dari mana ia berasal, ke
sanalah ia berjalan menuju perhentian terakhir setelah mengembara ke
kota-kota yang membara dalam kisah-kisahnya. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/25/sosok-sosok-misterius-budi-darma/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar