Senin, 30 Agustus 2021

 

Di Balik Runtuhnya Afghanistan

Hasibullah Satrawi ;  Pengamat Terorisme, Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

SINDONEWS, 25 Agustus 2021

 

 

                                                           

DUNIA dikejutkan dengan apa yang terjadi di Afghanistan dalam beberapa hari terakhir, khususnya di Ibu Kota Kabul. Bagaimana tidak, hanya dalam beberapa hari, Taliban yang menjadi gerakan pemberontak semenjak dilengserkan paksa oleh serangan Amerika Serikat (AS) pada tahun 2001 silam, dalam hitungan hari berhasil menguasai Istana Negara Afghanistan(15/08). Tanpa perlawanan bahkan nyaris tanpa pertempuran.

 

Hal ini terjadi setelah Presiden Afghanistan secara de jure, Ashraf Ghani, meninggalkan Istana Kepresidenan pada saat Taliban mulai memasuki Kota Kabul. Presiden yang menggantikan Hamid Karzai ini membela diri dengan mengatakan bahwa kepergiannya ke luar negeri untuk menghindari pertumpahan darah. Akibatnya terjadi kekacauan luar biasa di Kabul. Terlebih lagi pada waktu yang hampir bersamaan AS melakukan upaya evakuasi terhadap diplomat dan warganya yang membuat pesawat evakuasi AS diserbu oleh ribuan masyarakat Afghanistan yang hendak meninggalkan negaranya. Mirisnya, pesawat evakuasi itu tetap terbang walaupun banyak orang bergelantungan dan sebagian terjatuh.

 

Ada beberapa hal di balik runtuhnya Afghanistan sebelum akhirnya menjadi jembatan emas bagi kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan di Afghanistan. Pertama dan terutama adalah faktor AS.

 

Pada tahap tertentu dapat dikatakan, AS adalah “faktor di atas faktor” terkait dengan hal-hal yang terjadi di Afghanistan, termasuk dalam beberapa hari terakhir. Dengan alasan memerangi para teroris (Osama bin Laden dan Al-Qaeda) AS datang dan menyerang Afghanistan pada 2001 yang saat itu dikuasai oleh Taliban. Setelah terhempas dari kekuasaan, Taliban terus melakukan perlawanan dan serangan, baik terhadap pemerintahan terbentuk setelah kehadiran AS di Afghanistan ataupun terhadap pasukan AS dan sekutunya yang berada di Afghanistan.

 

Di luar perlawanan secara bersenjata, Taliban juga berupaya melakukan negoisasi dan lobi-lobi dengan para pihak. Bahkan Taliban berhasil membuat kantor perwakilan resmi di Qatar pada 2013 lalu (18/06), salah satu negara Arab Teluk berpengaruh yang kerap menjadi tempat berlangsungnya pertemuan antara Taliban dengan para pihak, termasuk dengan perwakilan AS. Dari lobi-lobi perlahan meningkat menjadi perundingan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Bahkan Taliban melakukan perundingan dengan perwakilan AS dan pemerintahan Afghanistan di bawah kepemimpinan Ashraf Ghani.

 

Pada 29 Februari 2020 bertempat di Qatar, Taliban dan perwakilan AS menandatangani kesepakatan yang berisi empat hal utama. Dua poin utama dalam kesepakatan itu menyatakan bahwa Afghanistan tak boleh dijadikan sebagai tempat ataupun landasan tempur bagi jaringan teroris untuk menyerang AS atau negara lain. Bila poin pertama terwujud, maka AS akan menarik pasukannya dari Afghanistan yang kemudian akan dilanjutkan dengan poin ketiga dan keempat, yaitu proses transisi kekuasaan dan perdamaian abadi di Afghanistan (Aljazeera, net: 17/08). Pada waktu yang kurang lebih bersamaan, perundingan demi perundingan juga dilaksanakan antara perwakilan Taliban dengan perwakilan pemerintah Afghanistan.

 

Kedua, angkatan bersenjata Afghanistan yang tidak siap tempur. Inilah yang membuat pergerakan Taliban leluasa menaklukkan kota demi kota di Afghanistan sebelum akhirnya menguasai kota Kabul. Menurut sebagian pengamat militer di Timur Tengah, kelemahan angkatan bersenjata Afghanistan disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor nilai-nilai patriotisme kebangsaan yang belum tertanam kuat di kalangan aparat bersenjata. Faktor lain adalah sokongan serangan udara AS dan koalisinya yang selama ini membuat pasukan Afghanistan “termanjakan”, termasuk dalam melawan kelompok-kelompok perlawanan seperti Taliban. Akibatnya, tanpa dukungan serangan udara, pasukan Afghanistan tidak bisa berbuat banyak seperti ketika berhadapan dengan pasukan Taliban mutakhir yang sedang bergerak agresif menuju Kabul.

 

Ketiga, sikap atau “politik mutung” Ashraf Ghani dalam bentuk meninggalkan Afghanistan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak manapun. Hal ini dilakukan oleh Ashraf Ghani pada saat semua proses sedang berlangsung, tidak hanya Taliban yang menyatakan akan ke Kabul secara damai, tapi juga proses perundingan antara perwakilan Taliban dengan perwakilan pemerintah di Qatar.

 

Ibarat permainan tarik-tambang, sikap Ashraf Ghani di atas tak ubahnya orang yang menghentikan tarikannya secara mendadak di saat pihak lain menarik sekeras mungkin untuk memenangkan pertandingan yang ada. Kondisi inilah yang membuat Afghanistan kacau balau; di satu sisi Taliban dengan mudah menguasai Kabul, di sisi lain masyarakat trauma dengan pemerintahan Taliban, di sisi yang berbeda ada proses evakuasi warga AS. Hingga akhirnya sebagian masyarakat Afghanistan merasa “evakuasi” dan keluar dari Afghanistan adalah solusi yang tepat. Maka terjadilah pemandangan yang sangat memilukan di Bandara Kabul sebagaimana dijelaskan di atas.

 

Dalam hemat penulis, sikap atau politik mutung Ashraf Ghani dan kondisi pasukan Afghanistan tidak terbaca secara cermat oleh penasehat dan pejabat Gedung Putih. Hal ini bisa dibuktikan dengan komentar pejabat-pejabat AS yang sempat meramalkan keruntuhan pasukan Afghanistan setelah beberapa bulan ditinggalkan oleh AS. Nyatanya pasukan Afghanistan runtuh di saat pasukan AS masih lengkap di Afghanistan. Dan yang lebih mengejutkan adalah sikap atau “politik mutung” Ashraf Ghani di atas.

 

Pada awalnya, Ashraf Ghani diberitakan pergi ke negara Tajikistan sebelum akhirnya diberitakan berada di Oman. Tapi belakangan (18/09) Uni Emirat Arab (UEA) mengumumkan menerima Asraf Ghani di negara Arab Teluk Kaya minyak yang dalam beberapa tahun terakhir berseberangan dengan Qatar dan belakangan mulai juga berbeda pandangan dengan Arab Saudi yang sudah bekerjasama kembali dengan Qatar. Bila Ashraf Ghani terus berada di UEA, keputusannya meninggalkan Ibu Kota Afghanistan mungkin tak hanya sikap spontan, melainkan merupakan “politik mutung” yang direncanakan untuk tahapan perang atau pertarungan politik selanjutnya. Mengingat UEA salah satu kunci politik regional dan global belakangan, sebagaimana Qatar juga demikian. Kini, Taliban yang dalam beberapa tahun terakhir berunding dengan para pihak di Qatar hampir bisa dipastikan menjadi pemegang kuasa di Afghanistan ke depan. Tapi dalam politik semua kemungkinan masih bisa terjadi di sisa waktu yang ada, apalagi Ashraf Ghani saat ini berada di UEA.

 

Dalam beberapa jam terakhir, Wakil Presiden Afghanistan, Amrullah Saleh, mengumumkan diri berada di dalam negeri. Bahkan Saleh mendeklarasikan sebagai presiden sementara sembari mengajak rakyat Afghanistan untuk melawan Taliban. Semua ini cukup menjadi gambaran bahwa masa depan Afghanistan masih butuh waktu untuk disimpulkan dan diputuskan.

 

Pada akhirnya sebagaimana dilukiskan oleh Nabil Syarafudin (2002: 14), pakar Gerakan Islam Politik yang pernah bertemu dan wawancara langsung dengan Osama bin Laden dan tokoh-tokoh Taliban di Afghanistan, negara ini (Afghanistan) acap menjadi panggung politik global, pertarungan antara banyak jaringan intelijen dan perjumpaan antara banyak jaringan teror. Semuanya membawa kepentingan yang berbeda-beda dengan lawan dan kawan yang silih berganti.

 

 

Sumber :  https://nasional.sindonews.com/read/520694/18/di-balik-runtuhnya-afghanistan-1629806918

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar