Di
Balik Runtuhnya Afghanistan Hasibullah Satrawi ; Pengamat Terorisme, Politik Timur Tengah dan
Dunia Islam |
SINDONEWS, 25
Agustus 2021
DUNIA
dikejutkan dengan apa yang terjadi di Afghanistan dalam beberapa hari
terakhir, khususnya di Ibu Kota Kabul. Bagaimana tidak, hanya dalam beberapa
hari, Taliban yang menjadi gerakan pemberontak semenjak dilengserkan paksa
oleh serangan Amerika Serikat (AS) pada tahun 2001 silam, dalam hitungan hari
berhasil menguasai Istana Negara Afghanistan(15/08). Tanpa perlawanan bahkan
nyaris tanpa pertempuran. Hal ini
terjadi setelah Presiden Afghanistan secara de jure, Ashraf Ghani,
meninggalkan Istana Kepresidenan pada saat Taliban mulai memasuki Kota Kabul.
Presiden yang menggantikan Hamid Karzai ini membela diri dengan mengatakan
bahwa kepergiannya ke luar negeri untuk menghindari pertumpahan darah.
Akibatnya terjadi kekacauan luar biasa di Kabul. Terlebih lagi pada waktu
yang hampir bersamaan AS melakukan upaya evakuasi terhadap diplomat dan
warganya yang membuat pesawat evakuasi AS diserbu oleh ribuan masyarakat
Afghanistan yang hendak meninggalkan negaranya. Mirisnya, pesawat evakuasi
itu tetap terbang walaupun banyak orang bergelantungan dan sebagian terjatuh. Ada beberapa
hal di balik runtuhnya Afghanistan sebelum akhirnya menjadi jembatan emas
bagi kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan di Afghanistan. Pertama dan
terutama adalah faktor AS. Pada tahap
tertentu dapat dikatakan, AS adalah “faktor di atas faktor” terkait dengan
hal-hal yang terjadi di Afghanistan, termasuk dalam beberapa hari terakhir.
Dengan alasan memerangi para teroris (Osama bin Laden dan Al-Qaeda) AS datang
dan menyerang Afghanistan pada 2001 yang saat itu dikuasai oleh Taliban.
Setelah terhempas dari kekuasaan, Taliban terus melakukan perlawanan dan
serangan, baik terhadap pemerintahan terbentuk setelah kehadiran AS di
Afghanistan ataupun terhadap pasukan AS dan sekutunya yang berada di
Afghanistan. Di luar
perlawanan secara bersenjata, Taliban juga berupaya melakukan negoisasi dan
lobi-lobi dengan para pihak. Bahkan Taliban berhasil membuat kantor
perwakilan resmi di Qatar pada 2013 lalu (18/06), salah satu negara Arab
Teluk berpengaruh yang kerap menjadi tempat berlangsungnya pertemuan antara
Taliban dengan para pihak, termasuk dengan perwakilan AS. Dari lobi-lobi
perlahan meningkat menjadi perundingan, baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Bahkan Taliban melakukan perundingan dengan perwakilan AS dan
pemerintahan Afghanistan di bawah kepemimpinan Ashraf Ghani. Pada 29
Februari 2020 bertempat di Qatar, Taliban dan perwakilan AS menandatangani
kesepakatan yang berisi empat hal utama. Dua poin utama dalam kesepakatan itu
menyatakan bahwa Afghanistan tak boleh dijadikan sebagai tempat ataupun
landasan tempur bagi jaringan teroris untuk menyerang AS atau negara lain.
Bila poin pertama terwujud, maka AS akan menarik pasukannya dari Afghanistan
yang kemudian akan dilanjutkan dengan poin ketiga dan keempat, yaitu proses
transisi kekuasaan dan perdamaian abadi di Afghanistan (Aljazeera, net:
17/08). Pada waktu yang kurang lebih bersamaan, perundingan demi perundingan
juga dilaksanakan antara perwakilan Taliban dengan perwakilan pemerintah
Afghanistan. Kedua,
angkatan bersenjata Afghanistan yang tidak siap tempur. Inilah yang membuat
pergerakan Taliban leluasa menaklukkan kota demi kota di Afghanistan sebelum
akhirnya menguasai kota Kabul. Menurut sebagian pengamat militer di Timur
Tengah, kelemahan angkatan bersenjata Afghanistan disebabkan oleh beberapa
faktor. Salah satunya adalah faktor nilai-nilai patriotisme kebangsaan yang
belum tertanam kuat di kalangan aparat bersenjata. Faktor lain adalah
sokongan serangan udara AS dan koalisinya yang selama ini membuat pasukan
Afghanistan “termanjakan”, termasuk dalam melawan kelompok-kelompok
perlawanan seperti Taliban. Akibatnya, tanpa dukungan serangan udara, pasukan
Afghanistan tidak bisa berbuat banyak seperti ketika berhadapan dengan
pasukan Taliban mutakhir yang sedang bergerak agresif menuju Kabul. Ketiga, sikap
atau “politik mutung” Ashraf Ghani dalam bentuk meninggalkan Afghanistan
tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak manapun. Hal ini dilakukan
oleh Ashraf Ghani pada saat semua proses sedang berlangsung, tidak hanya Taliban
yang menyatakan akan ke Kabul secara damai, tapi juga proses perundingan
antara perwakilan Taliban dengan perwakilan pemerintah di Qatar. Ibarat
permainan tarik-tambang, sikap Ashraf Ghani di atas tak ubahnya orang yang
menghentikan tarikannya secara mendadak di saat pihak lain menarik sekeras
mungkin untuk memenangkan pertandingan yang ada. Kondisi inilah yang membuat
Afghanistan kacau balau; di satu sisi Taliban dengan mudah menguasai Kabul,
di sisi lain masyarakat trauma dengan pemerintahan Taliban, di sisi yang
berbeda ada proses evakuasi warga AS. Hingga akhirnya sebagian masyarakat
Afghanistan merasa “evakuasi” dan keluar dari Afghanistan adalah solusi yang
tepat. Maka terjadilah pemandangan yang sangat memilukan di Bandara Kabul
sebagaimana dijelaskan di atas. Dalam hemat
penulis, sikap atau politik mutung Ashraf Ghani dan kondisi pasukan
Afghanistan tidak terbaca secara cermat oleh penasehat dan pejabat Gedung
Putih. Hal ini bisa dibuktikan dengan komentar pejabat-pejabat AS yang sempat
meramalkan keruntuhan pasukan Afghanistan setelah beberapa bulan ditinggalkan
oleh AS. Nyatanya pasukan Afghanistan runtuh di saat pasukan AS masih lengkap
di Afghanistan. Dan yang lebih mengejutkan adalah sikap atau “politik mutung”
Ashraf Ghani di atas. Pada awalnya,
Ashraf Ghani diberitakan pergi ke negara Tajikistan sebelum akhirnya
diberitakan berada di Oman. Tapi belakangan (18/09) Uni Emirat Arab (UEA)
mengumumkan menerima Asraf Ghani di negara Arab Teluk Kaya minyak yang dalam
beberapa tahun terakhir berseberangan dengan Qatar dan belakangan mulai juga
berbeda pandangan dengan Arab Saudi yang sudah bekerjasama kembali dengan
Qatar. Bila Ashraf Ghani terus berada di UEA, keputusannya meninggalkan Ibu
Kota Afghanistan mungkin tak hanya sikap spontan, melainkan merupakan
“politik mutung” yang direncanakan untuk tahapan perang atau pertarungan
politik selanjutnya. Mengingat UEA salah satu kunci politik regional dan
global belakangan, sebagaimana Qatar juga demikian. Kini, Taliban yang dalam
beberapa tahun terakhir berunding dengan para pihak di Qatar hampir bisa
dipastikan menjadi pemegang kuasa di Afghanistan ke depan. Tapi dalam politik
semua kemungkinan masih bisa terjadi di sisa waktu yang ada, apalagi Ashraf
Ghani saat ini berada di UEA. Dalam beberapa
jam terakhir, Wakil Presiden Afghanistan, Amrullah Saleh, mengumumkan diri
berada di dalam negeri. Bahkan Saleh mendeklarasikan sebagai presiden
sementara sembari mengajak rakyat Afghanistan untuk melawan Taliban. Semua
ini cukup menjadi gambaran bahwa masa depan Afghanistan masih butuh waktu
untuk disimpulkan dan diputuskan. Pada akhirnya
sebagaimana dilukiskan oleh Nabil Syarafudin (2002: 14), pakar Gerakan Islam
Politik yang pernah bertemu dan wawancara langsung dengan Osama bin Laden dan
tokoh-tokoh Taliban di Afghanistan, negara ini (Afghanistan) acap menjadi
panggung politik global, pertarungan antara banyak jaringan intelijen dan
perjumpaan antara banyak jaringan teror. Semuanya membawa kepentingan yang
berbeda-beda dengan lawan dan kawan yang silih berganti. ● Sumber : https://nasional.sindonews.com/read/520694/18/di-balik-runtuhnya-afghanistan-1629806918 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar