Senin, 30 Agustus 2021

 

Pendengar

Samuel Mulia ;  Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu

KOMPAS, 29 Agustus 2021

 

 

                                                           

Kira-kira dua minggu belakangan ini, saya telah dijadikan sebagai pendengar yang ”baik” oleh beberapa orang. Awalnya, saya tak merasa demikian. Namun, setelah beberapa kali kejadian, termasuk saat saya sedang bercakap-cakap secara daring, pemikiran dipaksa menjadi pendengar itu muncul. Percakapan yang harusnya terjadi di antara dua manusia berakhir dengan saya lebih banyak mendengar daripada sama-sama aktif.

 

Tembok

 

Kejadiannya memuncak sampai pada suatu hari bersantap siang bersama seorang teman yang sudah cukup lama tak bertemu. Setelah acara makan siang yang membosankan itu selesai, saya benar-benar merasa kesal setengah mati mengapa saya seperti orang yang tak berdaya dijadikan pendengar.

 

Apalagi kalau kita sudah lama tak bertemu, bukankah sewajarnya ada keinginan kedua belah pihak mendengar cerita masing-masing dan bukan membuat yang satu menjadi pendengar bahwa usahanya sukses di tengah orang lain pada kesusahan? Mengapa saya kesal?

 

Pertama, saya memang orang yang dilahirkan bukan untuk menjadi pendengar. Apalagi menjadi pendengar yang baik. Saya ini sangat dominan, apa pun yang saya kerjakan. Meski belakangan sifat dominan itu sudah jauh berkurang. Meski demikian, saya tetap merasa menjadi pendengar bukan saya banget. Saya itu manusia yang senangnya menjadi pusat perhatian. Untuk menjadi pusat perhatian, saya merasa tak bisa hanya diam saja. Harus menyuarakan sesuatu.

 

Kedua, saya itu berpikir bahwa ketika saya atau Anda memutuskan untuk menghubungi seseorang dengan tujuan untuk bercakap-cakap, apa pun konten dari percakapan itu, maka percakapan atau obrolan atau diskusi harus dilaksanakan secara dua arah. Maksudnya, ada waktunya seseorang menjadi pendengar dan ada waktunya untuk berbicara.

 

Kalau tidak demikian, sebaiknya seseorang bercakap-cakap saja dengan tembok. Toh, pada akhirnya saya atau Anda tidak membutuhkan komentar atau masukan dari pihak yang diajak berbicara. Tembok itu sudah pasti dapat menjadi pendengar yang tidak hanya baik, tetapi sangat baik dan tak akan memberi reaksi apa pun terhadap apa yang dibicarakan.

 

Yang membuat saya naik pitam itu sejatinya bukan masalah saya dipaksa harus menjadi pendengar. Semua manusia yang menghubungi saya itu menunjukkan sebuah benang merah yang sama jelasnya. Mereka selalu membuka percakapan dengan menanyakan keadaan saya. ”Kamu sehat, kan, Mas?” atau ”Mas Sam, masih di Bali-kah?” dan sejuta sapaan pembuka percakapan yang klise.

 

Satu atau dua orang menanyakan sedikit lebih dalam dari pertanyaan standar itu. Namun, apa pun sapaan pembuka percakapan itu, saya bisa merasakan semuanya hanya sebuah sapaan palsu yang tidak diniati sungguh-sungguh untuk ditanyakan. Dari mana saya tahu kalau itu hanya basa dan sangat basi?

 

Setara

 

Mereka hanya menanyakan keadaan saya sangat singkat. Bahkan, supersingkat. Sayang saya tidak bisa mempraktikkan dengan suara. Kalau ditulis tak akan terasa palsunya. Tapi bagaimanapun akan saya tuliskan juga. Jadi, begini. ”Mas Sam, kamu sehat, kan?” Saya jawab dengan, ”Ya, aku baik dan sehat.” Kemudian percakapan selanjutnya tidak berhubungan dengan apa yang ia tanyakan. ”Eh…, by the way,  ya, Mas, kemarin itu aku ketemu bla-bla-bla….”

 

Kemudian sepanjang lima belas menit sampai setengah jam berlangsung, merekalah yang menguasai medan percakapan itu. Setelah percakapan itu usai, saya kemudian merasakan bahwa mereka hanya mau saya menjadi pendengar semata.

 

Mereka secara egois menelepon saya untuk memuntahkan segalanya dan menggunakan sapaan palsu sebagai pembuka percakapan. Inilah benang merah yang sangat kental dan jelas terasa yang dilakukan oleh beberapa orang yang berbeda itu.

 

Memaksa menjadi pendengar itu bukan hanya melalui telepon atau bertemu muka. Ada satu anak manusia yang melakukan dengan mengirim pesan. Awalnya, seperti yang lainnya, menggunakan pertanyaan apa kabarnya. Kemudian ia bertanya kepada saya, ”Mas, kenapa, ya, aku kok belakangan suka terbangun pukul dua pagi dan terus jadi susah tidur.”

 

Nah, menurut Anda, para pembaca yang budiman, kalau ia mengajukan pertanyaan yang demikian kepada saya, siapa yang menurut Anda sepantasnya untuk menjawab? Saya, bukan? Itu kalau kitanya waras. Anda tahu, ia mengajukan pertanyaan itu dan ia sendirilah yang menjawabnya.

 

Kemudian, ia bercerita soal hidup masa kecilnya. Bagaimana orangtuanya memperlakukan dia berbeda dengan saudara-saudara kandungnya yang lain. Singkat cerita, dia mengatakan begini. ”Jadi, aku tuh gak bisa tidur gini ini, seperti kebiasaan bapakku. Bapak juga dulu kayak aku ini.” Setelah percakapan itu selesai, saya mulai mikir. Kalau dia itu pada akhirnya tahu jawaban dari masalahnya, apalah gunanya menanyakan itu kepada saya?

 

Dari sanalah saya tahu bahwa ia hanya butuh seorang pendengar semata. Ia tak butuh jawaban sebab ia sudah tahu jawabannya. Jadi, pertanyaan itu hanya sebuah pertanyaan yang seperti pepesan kosong. Itu hanya sebagai alat melicinkan cerita panjangnya untuk didengar.

 

Buat saya, tak ada gunanya sama sekali dia mau susah tidur atau tidak tidur sama sekali. Memaksa orang jadi pendengar tanpa memberi tahu terlebih dahulu bahwa seseorang ingin curhat adalah perilaku yang superegois. Kalau orang mengatakan adalah baik untuk menjadi pendengar, karena itu menjadi sebuah cara untuk meringankan beban seseorang, saya tak terlalu setuju dengan hal itu.

 

Kebaikan itu bukan memaksakan saya jadi pendengar, melainkan memperlakukan orang setara. Karena, kalau tidak demikian, seperti yang saya tuliskan di atas, sebaiknya seseorang memuntahkan ceritanya kepada tembok. ●

 

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/29/pendengar/

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar