Eloknya
Hidup tanpa GBHN Saur M Hutabarat ; Dewan Redaksi Media Group |
MEDIA INDONESIA,
24 Agustus 2021
SEJAK kita
memilih presiden secara langsung, sejak itu pulalah 'terasa' bahwa kita ini
rakyat. Kita bukan 'penonton' atas pilihan MPR. Sejak itu
pulalah substantif kita hidup tanpa GBHN. Penggantinya ialah visi, misi,
program presiden terpilih, yang sebelumnya dipertarungkan antara lain melalui
debat capres yang diselenggarakan KPU. Kita mendengar
apa yang dijanjikan capres. Kita menimbangnya. Di bilik suara kita mengambil
keputusan memilih capres yang kita yakini lebih mampu membuat Indonesia lebih
baik jika dibandingkan dengan capres lainnya. Ketika pilpres
dan pileg diselenggarakan serentak, di bilik suara itu pula kita sekaligus
memilih calon anggota MPR (terdiri atas calon anggota DPR dan calon anggota
DPD). Inilah MPR yang kedudukannya sama tinggi dan sama rendah dengan
presiden. Dia bukan lagi lembaga tertinggi negara. Yang tertinggi ialah
rakyat, empunya kedaulatan, yang bebas menggunakannya di bilik suara. Posisi MPR
yang demikian itu membuat MPR bukan lagi lembaga negara yang jemawa. Kejemawaannya
copot karena bukan dia lagi yang memilih presiden. GBHN itu
instrumen MPR. Dia berisikan garis perintah kepada presiden--yang dipilih dan
diangkat MPR. Barang siapa tidak melaksanakan perintah (dari atasan yang
berwenang), dia patut diberi sanksi, bahkan dipecat. Sejarah mengatakan MPR
berkelakuan main pecat, tukang menjatuhkan presiden di tengah jalan. Kenyataan nan
elok nian ialah Indonesia tercinta ini tak oleng selama hidup bernegara tanpa
GBHN buatan MPR. Presiden pilihan rakyat punya haluan ke mana negara hendak
dibawa. Bahkan, kepercayaan bahwa ‘capres terpilih memiliki haluan ke mana
negara hendak dibawa itu', merupakan alasan paling pokok, kenapa dia yang
terpilih. Hingga saat
ini kita telah hidup selama hampir 17 tahun tanpa GBHN buatan MPR. Itu
dihitung sejak 20 Oktober 2004, sejak presiden hasil pilihan rakyat dilantik.
Sebuah perjalanan yang belum cukup panjang untuk berkesimpulan bahwa kini
saatnya kita kembali punya GBHN. Hemat saya, bahkan 19 tahun setelah
amendemen keempat konstitusi (10 Agustus 2002) pun belum waktu yang cukup
panjang untuk kita kembali melakukan amendemen. Baiklah kita
tidak meniru India. Sepanjang 71 tahun negara itu telah lebih 100 kali
mengamendemen konstitusi mereka. Jangan juga ikuti Prancis. Sejak 1958, negara
itu setiap dua tahun memutakhirkan konstitusi mereka. Kiranya bolehlah
dipertimbangkan untuk mengagumi rasa cinta Amerika Serikat kepada konstitusi
mereka. Sejak 1788, selama 233 tahun, hanya 27 kali mereka mengamendemen
konstitusi. Mengubah konstitusi
semata untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), pengganti
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), kiranya pikiran yang 'terlampau jauh
meleset dari sejarah' bila mengira Indonesia dikhawatirkan oleng akibat hidup
tanpa haluan buatan MPR. Negara oleng di ujung kekuasaan Pak Harto dan dia
ditumbangkan bukan karena selama dia berkuasa kita tak punya GBHN, melainkan
akibat krisis moneter dan dia terlalu lama berkuasa. Kendati negara tidak
dalam keadaan oleng dan punya GBHN, Gus Dur ditumbangkan dalam tempo singkat
karena persekongkolan elite di MPR. Kelak, bila GBHN atau apa pun nama
penggantinya itu termaktub di dalam konstitusi, dia dapat menjadi pintu masuk
untuk MPR menumbangkan presiden dengan alasan tidak melaksanakan haluan
negara. Kiranya jemawa
mengatakan bahwa amendemen dapat dilakukan terbatas hanya menambah satu pasal
dalam konstitusi mengenai PPHN. Adalah jemawa amat sangat menjamin bahwa
amendemen itu tak bakal membuka kotak pandora mengubah pasal lain. Satu orang
yang keliru dapat merusakkan banyak hal yang baik, kata orang suci. Kesabaran
mencegah kesalahan-kesalahan besar, tambahnya. Maka timbanglah mendalam 50
tahun setelah euforia reformasi, timbanglah menyeluruh dengan kesabaran
panjang di dalam hidup berbangsa dan bernegara, untuk berkesimpulan kita
perlu amendemen. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2233-eloknya-hidup-tanpa-gbhn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar