Jangan
Cemas untuk Indonesia Emas Suharso Monoarfa ; Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan |
KOMPAS, 25 Agustus 2021
Setiap
kita memperingati hari kemerdekaan, senantiasa berkumandang lagu-lagu
nasional hampir di seluruh pelosok Nusantara. Terdengarlah beragam bentuk
musik, dari bernada mars yang bersemangat hingga jenis himne atau gita puja.
Salah satu himne yang tak pernah absen diputarulangkan adalah: ”Dari yakinku teguh / hati ikhlasku
penuh / akan karunia-Mu Tanah Air pusaka / Indonesia Merdeka syukur aku sembahkan / ke hadirat-Mu
Tuhan” Adalah
Sayyid Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Mutahar,
yang populer dikenal dengan nama Mutahar, yang menciptakan lagu dan syair
tembang berjudul ”Syukur” tersebut. Ketika
beliau mangkat, majalah Tempo edisi 14-20 Juni 2004 menulis obituari tentang
pendiri Paskibraka itu. Judulnya, ”Mutahar Sudah Merdeka”. Dengan tepat,
Mutahar disebut sebagai representasi generasi pra-kemerdekaan. Generasi ini
berciri cerdas, menguasai matematika, sejarah, bahasa, musik, dan sastra.
Dan, yang terpenting, mereka punya standar moral. Kemudian keintelektualan
dan standar moral itu disublimasikan ke dalam nilai-nilai kejuangan patriotik
hingga akhir hayat mereka. Obituari
Mutahar itu menginspirasi Willem Berybe, seorang guru di SMA Katholik
Giovanni, Kupang, untuk mengupas Mutahar dan tembang ”Syukur”-nya. Lagu yang
dikenalkan kepada publik pada Januari 1945—persis tujuh bulan sebelum
proklamasi—menurut Willem termasuk ”musik fungsional”. Lagu
ini berbicara tentang identitas bangsa dan kesatuan bangsa, merefleksi
kembali fase-fase berat masa lalu, bertutur tentang korban berjatuhan di
medan perang. Seorang Mutahar tahu betul dan yakin bahwa tanpa pengorbanan
putra-putri terbaik bangsa di medan perang, niscaya kemerdekaan itu tak
mungkin berhasil direngkuh dari tangan penjajah. Ada
yang menarik di sana. Tidak ada jarak keindonesiaan antara Willem dan
Mutahar. Dari sisi usia mereka sungguh berjarak. Dari sisi agama, mereka
berbeda. Tetapi, itu tak menghalangi Willem, seorang penganut Katolik yang
taat, untuk mengapresiasi Mutahar yang Sayyid itu. Komitmen untuk Indonesia Emas 2045 Komitmen
ber-Indonesia memang tidak ditandai dengan pemilikan kartu tanda penduduk
atau paspor. Tidak pula ditandai sekadar dengan sikap tegak sempurna
menghormat bendera Merah Putih. Komitmen ber-Indonesia ditandai dengan
kesediaan untuk hidup bersama dalam keragaman dalam sikap saling menghormati
dan saling memuliakan. Itulah,
antara lain, yang menandai karakter generasi pendahulu. Mereka secara
sekaligus memiliki kapasitas intelektual dan standar moral yang tinggi yang
mendasari sikap patriotik yang teguh. Mereka bersetia pada Tanah Air-nya
dengan memuliakan dan merayakan perbedaan sekaligus merawat persatuan. Bangsa
besar ini dibangun oleh generasi pendahulu yang tangguh seperti Mutahar itu.
Adalah kewajiban generasi yang hidup di masa sekarang— termasuk dan terutama
generasi milenial, generasi Z, generasi Alpha, dan generasi-generasi
berikutnya—untuk melanjutkan dan menuntaskan pengabdian sejarah mereka. Masa
depan Indonesia yang gemilang dijemput oleh berbagai generasi yang mampu
membangun kapasitas dan kepribadiannya secara optimal sambil belajar dari
generasi-generasi pendahulu mereka. Kita
mesti optimistis menyongsong 2045, generasi milenial, generasi Z, generasi
Alpha, dan generasi sesudahnya akan menuliskan sejarah perayaan ulang tahun
emas kemerdekaan kita kelak dengan tinta emas yang berkilau. Untuk itu,
cerdas saja tak cukup. Kecerdasan harus senantiasa diinternalisasikan ke
dalam praktik prinsip-prinsip moral. Sekali lagi dengan kedua modal itu,
keintelektualan dan standar moral, akan terjamin bersemainya sikap-sikap
patriotik yang didemonstrasikan sepanjang hayat. Tahun
2045 sejatinya sudah di depan mata. Jarak kita darinya hanya 2,4 dekade.
Orang bijak mengatakan, ”Masa depan adalah hari ini”. Kita hanya bisa
menjemput masa depan dengan memperjuangkan di hari ini. Menyongsong
2045, masing-masing dari kita sebagai anak bangsa semestinya terpanggil untuk
memikul tugas-tugas sejarah yang sangat penting. Itu
berarti turut menjadi bagian dari kompleksitas yang konvergen menuju
Indonesia Emas. Tentu dengan mempresentasikan yang terbaik dari diri kita
masing-masing. Maka,
harus diakhiri krisis yang mengganggu dan mencederai kita, antara lain,
krisis ketiadaan penghormatan terhadap perbedaan. Mesti dipahami bahwa
berbeda tidak berarti bermusuhan. Bahwa kemajemukan dan perbedaan bukanlah
zona tanpa toleransi. Sering
kali demokrasi diartikan jalan untuk uniformitas, padahal demokrasi adalah
jalan untuk mencapai kesepakatan dari kemajemukan dan perbedaan. Demokrasi
adalah instrumen atau tata cara untuk berlomba-lomba mewujudkan kebaikan dan
kebajikan. Demokrasi
bukanlah alat untuk memecah belah. Demokrasi bukan alat untuk saling mencaci,
apalagi membenci. Demokrasi wajib dijadikan instrumen untuk saling mendukung,
memuliakan, dan saling membesarkan dengan berlomba-lomba menebar manfaat dan
maslahat bagi sesama dan semesta. Demokrasi, Islam, dan kesejahteraan Dalam
kerangka itu, tak ada pertentangan antara demokrasi dan Islam. Demokrasi
bukanlah ideologi. Demokrasi adalah tata cara atau tata laksana. Sementara
Islam adalah sebuah sistem nilai yang utuh dan menyeluruh untuk mengatur
hidup manusia. Islam adalah sebuah jendela besar untuk melihat dunia yang
membahagiakan lahir batin seutuhnya. Kebajikan
demokrasi yang terpokok adalah mengorientasikan langkah dan kebijakan kepada
rakyat dan bangsa. Berdemokrasi bukanlah melayani segelintir elite yang
berkuasa dan atau berpunya. Berdemokrasi adalah proses pembuktian bahwa tak
ada satu pun orang atau pihak yang tertinggal atau ditinggal. No one left
behind. Islam
rahmatan lil alamin mengajarkan bahwa fungsi terpokok demokrasi adalah
menyejahterakan umat, memuliakan rakyat, dan membangun bangsa. Demokrasi
wajib menghasilkan kesejahteraan. Demokrasi tanpa kesejahteraan adalah
demokrasi yang gagal. Ibarat pohon, demokrasi adalah pohon dengan buah yang manis,
bukan pohon yang berbuah pahit. Menuju
Indonesia Emas 2045, sebagai penduduk mayoritas, umat Islam harus berkomitmen
untuk menjadi bagian penting dari ikhtiar besar dan mulia secara bersama
untuk mencapai tiga impian dan cita-cita kebangsaan. Pertama,
menyandingkan Islam dan demokrasi. Selama ini, Islam dipandang tidak sejalan
alias incompatible dengan demokrasi. Sebagai negara berpopulasi Muslim
terbesar di dunia, Indonesia harus bisa menjadi sebuah model yang penting dan
sukses mempraktikkan demokrasi. Bahkan, mampu membuktikan bahwa dalam praktik
bernegara dengan ideologi Pancasila, prinsip-prinsip Islam rahmatan lil
alamin turut menyemaikan ideologi negara ke dalam kehidupan. Hasil akhirnya
adalah Indonesia sejahtera dengan umat dan rakyatnya yang sejahtera, tanpa
terkecuali—Indonesia adil makmur. Kedua,
menyandingkan demokrasi dan kesejahteraan. Selama ini, ada pandangan
akademis, intelektual, dan politik bahwa hanya negara yang memiliki
pendapatan per kapita tinggi saja yang bisa berdemokrasi. Indonesia patut
jadi model untuk membalikkan anggapan ini dengan membuktikan bahwa untuk
mencapai pendapatan per kapita yang tinggi itu, demokrasi adalah pilihan
jalan yang paling tepat. Ketiga,
menyandingkan kebebasan dan stabilitas. Selama ini ada anggapan bahwa memilih
kebebasan bermakna mengorbankan stabilitas. Sebaliknya, atas nama stabilitas
maka kebebasan harus disingkirkan. Indonesia layak menjadi satu proyek
percontohan bahwa kebebasan dan stabilitas dapat saling bersisian selayaknya
dua sisi dari satu mata uang demokrasi. Merawat persatuan Bagi
bangsa besar dan majemuk seperti Indonesia, ”persatuan” dan ”pembangunan”
adalah tema yang terus relevan. Persatuan dan pembangunan tak bisa hanya
diupayakan sekali untuk selamanya (once for all), tetapi harus terus-menerus
tak henti-hentinya diikhtiarkan. Saat
ini bangsa kita, sebagaimana juga hampir semua bangsa di dunia, sedang diuji
oleh pandemi. Pandemi tidak lagi sekadar peristiwa krisis kesehatan, tetapi
dampaknya sangat luas dan mendatangkan kesulitan-kesulitan serius dalam
bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Di dalamnya, persatuan dan
pembangunan berhadapan dengan tantangan dan ancaman yang sangat serius. Merawat
persatuan menjadi salah satu pekerjaan rumah besar dan mulia kita sebagai
bangsa. Dan, merawat persatuan hanya bisa dilakukan dengan terus melanjutkan
dan meningkatkan pembangunan. Membangun
akan membuat kita bisa mencapai masyarakat adil, makmur, setara, berkeadilan.
Hak-hak segenap rakyat kita penuhi sebagai hasil dari pembangunan. Maka,
pembangunan adalah fondasi kokoh untuk persatuan. Kita
harus sadar sepenuhnya bahwa menjemput 2045 adalah momentum yang tepat untuk
mengingatkan semua pihak agar bahu-membahu bekerja sama dan sama-sama bekerja
memulihkan keadaan dengan membangun. Lalu dengan modal sukses pembangunan
kita saling merapat dan bukan saling menjauh. Kita bersatu dan bukan terpecah
belah. Kita harus senantiasa berada dalam lintasan perjalanan berbangsa
dengan merawat kerukunan lintas agama, budaya, suku, dan golongan. Profesor
Noam Chomsky dari MIT (Massachusetts Institute of Technology) pernah menulis
dengan tandas: Jika sebuah masyarakat tak yakin dirinya bisa berubah, niscaya
masyarakat itu tak akan berubah. Boleh jadi beliau diilhami Al Quran (Ar Raad
Ayat 11) yang mengajarkan bahwa Allah tak akan mengubah keadaan suatu kaum
kecuali kaum itu melakukan perubahan dirinya. Ada
yang mencemaskan absennya peluang perubahan menuju Indonesia Emas. Kecemasan
itu, antara lain, bersumber dari kekhawatiran atas kapasitas mengelola demokrasi
untuk menghasilkan kesejahteraan dan ketidakmampuan mengelola politik
identitas yang mempertentangkan Islam dengan negara-kebangsaan. Kecemasan
itu harus dijawab dengan menunaikan tugas sejarah dengan benar dan imperatif,
sebagaimana generasi pra-kemerdekaan yang telah menunaikan bagiannya dengan
gemilang. Maka, mencemaskan Indonesia 2045 tidak pada tempatnya. Dan, saat
yang sama bersinarlah ”Indonesia Emas”. ”Dari yakinku teguh / Hati ikhlasku
penuh / Akan karunia-Mu / Tanah Air Pusaka / Indonesia Merdeka / syukur aku
sembahkan / ke hadirat-Mu, Tuhan. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/25/jangan-cemas-untuk-indonesia-emas/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar