Senin, 30 Agustus 2021

 

Pandemi dan Digitalisasi

Meuthia Ganie-Rochman ;  Sosiolog Organisasi, Universitas Indonesia

KOMPAS, 28 Agustus 2021

 

 

                                                           

Selama ini kita menggunakan istilah disrupsi untuk menjelaskan situasi perubahan besar dalam organisasi ekonomi akibat teknologi informasi.

 

Banyak orang menggunakan kata disrupsi secara permukaan saja, tanpa terlalu memahami artinya bagi pengorganisasian di masyarakat dan bagaimana itu menimbulkan tekanan institusional.

 

Disrupsi digital bukan hanya kemunculan pola ekonomi baru yang berada di luar pola yang selama ini ada. Disrupsi juga bisa berarti negatif, di mana terdapat situasi tekanan institusional yang hebat. Institusi yang ada kehilangan relevansi sekaligus kendali untuk melakukan pengaturan.

 

Sebelum pandemi, disrupsi digital sudah dianggap sesuatu yang datang dengan cepat: kemajuan teknologi informasi menciptakan lahirnya logika ”data imperatif”, di mana data menjadi mekanisme pengambilan keputusan dan menjalankan keputusan. Namun, perkembangan digital sudah berlangsung puluhan tahun, dan teknologi algoritma mengakselerasi data imperatif sejak belasan tahun belakangan ini.

 

Pandemi Covid-19 menciptakan banyak perubahan dalam institusi ekonomi dan institusi lain. Kebutuhan masyarakat, gaya hidup, alokasi ekonomi, dan struktur pertumbuhan berubah dengan cepat. Perubahan karena pandemi terjadi dalam hitungan bulan, semua bermula dari sesuatu yang sangat manusiawi, yakni kontak fisik. Dengan harus dihilangkan atau dikurangi kontak fisik, dengan cepat terbentuk persoalan paradoksikal kesehatan-ekonomi.

 

Pemerintah menghadapi tekanan luar biasa untuk penyelamatan negara sehingga cenderung cepat menggapai digitalisasi sebagai harapan jalan keluar. Namun, jalan digital tanpa kesiapan organisasi dan institusi ekonomi bisa menggerogoti daya tahan ekonomi.

 

Ekonomi digital

 

Penggunaan digital dalam transaksi perdagangan naik tajam di seluruh dunia sejak pandemi. Di Indonesia, tahun lalu transaksi keuangan digital perbankan meningkat 25-40 persen. (Kompas.com, 29/9/2020)

 

Selain peningkatan pembelian daring pada semua kategori barang, kurang dari setengah tahun, terdapat kenaikan signifikan penggunaan platform bayar-kemudian (paylater).

 

Ini menunjukkan bahwa perekonomian platform semakin menentukan dalam transaksi ekonomi. Kenyataan ini menyadarkan banyak pihak, termasuk pemerintah, tentang perlunya percepatan digitalisasi oleh pelaku ekonomi. Digitalisasi juga dianggap jalan utama penyelamatan UMKM. Digitalisasi adalah hal mutlak saat ini bagi pelaku ekonomi. Ini mirip telepon tahun 1970-an.

 

Ada beberapa elemen untuk kelancaran transaksi ekonomi (Khana dan Palepu, 2005), yaitu (a) analis informasi dan advisor tentang penjual dan pembeli; (b) promosi tentang keberadaan dan kualitas klien; (c) pemberi informasi tentang kredibilitas; (d) agregator dan distributor yang mempertemukan kepentingan sehingga terjadi skala ekonomi yang menguntungkan; (e) fasilitator transaksi; (f) penyelesaian sengketa dalam pertukaran ekonomi.

 

Penggunaan jasa, perdagangan barang, dan keuangan saat ini semakin banyak mengandalkan digital dalam memenuhi lima pertama dari kebutuhan tersebut. Digitalisasi memudahkan orang untuk menyelesaikan lima dari enam persoalan dalam pertukaran ekonomi ini.

 

Digitalisasi menghasilkan platform yang didirikan perusahaan yang menguasai teknologi informasi, untuk mengatur pertukaran. Namun, pada saat yang sama, platform ini jugalah yang justru bisa menimbulkan ketimpangan ekonomi jika negara tak dapat mengaturnya.

 

Pertama, meski teknologi informasi bisa diakses secara luas, tetap saja orang/ perusahaan dengan sumber daya yang besarlah yang mampu men-sistemisasi informasi tertentu.

 

Merekalah yang mampu membuat jaringan yang membuat big data bukan hanya semakin luas dengan menyatukan pusat-pusat data, misalnya data pola konsumsi, pekerjaan, dan struktur ekonomi wilayah. Mereka juga bisa memperdalam data, misalnya pendapatan, umur, dan pola konsumsi.

 

Setelah akses big data, teknologi algoritma digunakan untuk menyeleksi dan menampilkan informasi sebagai suatu keputusan. Data ini dapat digunakan untuk meramalkan investasi seperti apa yang menguntungkan di masa depan.

 

Baru-baru ini TV Deutche Welle membuat laporan soal kekuasaan Amazon dalam mengenali dan mengarahkan kebutuhan konsumen per individu. Amazon melakukannya dengan rekonstruksi kekayaan datanya atas semua orang yang hidup di masyarakat digital.

 

Perusahaan dengan platform pada awalnya seperti membuang uang dengan terus-menerus investasi sampai jumlah fantastis. Namun, selama beberapa tahun mereka tidak hanya mengumpulkan data, tetapi juga menciptakan ekosistem bisnis dalam dua cara.

 

Cara pertama adalah melebarkan kerja sama dengan berbagai penyedia jasa (restoran, tempat pijat, ekspedisi, kesehatan, kecantikan, dan lain-lain). Dengan jaringan semacam ini, konsumen tak perlu ke mana-mana karena semua kebutuhan ada di situ.

 

Sepintas, ini merupakan kemudahan, tapi jaringan semacam ini akan menghasilkan hanya satu-dua pemain. Pesaing baru akan susah masuk. The winner takes all.

 

Penguasaan yang kedua adalah bahwa perusahaan platform yang membesar akan membangun segala kebutuhan yang melancarkan bisnisnya. Ini adalah proses solidifikasi sistem, di mana perusahaan platform tidak banyak bergantung pada pihak lain dalam banyak hal, seperti barang modal, badan pemberi peringkat, organisasi/bisnis perantara, dan sistem pembayaran sendiri.

 

Bahkan organisasi seperti Alibaba memiliki ”akademi” sendiri untuk menopang tumbuhnya gagasan baru bagi bisnis platform mereka. Bisnis platform yang lahir lebih dulu dan bermodal kuat akan membeli perusahaan-perusahaan rintisan (start up) untuk melengkapi komponen bisnis menggurita mereka.

 

Ketiga, perusahaan platform raksasa sebenarnya menguasai lima mekanisme dalam pasar. Di ekonomi konvensional, kelima fungsi ini dijalankan oleh organisasi lain, termasuk negara. Mereka menciptakan ukuran sendiri tentang kinerja dengan penghargaannya, relatif independen dari ukuran kredibilitas, dan punya mekanisme sendiri untuk mengefisienkan diri.

 

Ekonomi digital dalam pembangunan ekonomi

 

Daron Acemoglu, seorang ahli ekonomi politik terkemuka, menulis di Project Syndicate (5/6/2020) tentang bentuk-bentuk pemerintahan pascapandemi Covid-19, dengan salah satunya adalah negara menyerahkan pengaturan publik kepada perusahaan teknologi.

 

Negara sendiri tidak mampu mengontrol perusahaan tersebut. Pemerintah tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memahami potensi ataupun kapasitas perusahaan demikian.

 

Digitalisasi tampak bisa menyelesaikan masalah paradoks kesehatan-ekonomi dengan meniadakan kontak fisik. Karena itu, tidak heran, sebagian orang bersemangat mengatakan bahwa digitalisasi UMKM akan menyelamatkan perekonomian Indonesia. Namun, penyediaan/pengembangan digitalisasi baru sebagian dari pemecahan masalah jika dilihat secara makroekonomi.

 

UMKM kita sebagian besar berada pada sektor perdagangan dan jasa/pengadaan makanan minuman, bidang yang tidak membutuhkan keahlian banyak. Mereka hadir bersifat individual, menunjukkan lemahnya jaringan dalam struktur industri.

 

Sektor ini mudah dimasuki sehingga menjadi sangat padat saat pandemi menghilangkan banyak pekerjaan. Kompetisi menjadi sangat tinggi.

 

Dengan strategi digitalisasi, tidak menyelesaikan masalah ketahanan ekonomi Indonesia. UMKM terlalu padat di sektor yang ”mudah masuk dan mudah mati”. Digitalisasi seperti pedang bermata dua: selain mempermudah presentasi ke pasar, sistem penilaian digital akan memungkinkan terjadinya ”penggumpalan/akselerasi” kredibilitas.

 

Segera terjadi penyingkiran terhadap yang lain, semata karena mekanisme pemberian nama baik dan nama buruk atas para pelaku UMKM. Dengan demikian, klaim perusahaan platform perdagangan daring harus dilihat secara hati-hati.

 

Meskipun partisipasi ”UMKM” yang ”pedagang” tampak jumlahnya fantastis, kenyataannya hanya sebagian yang dapat menambang manfaat dari presentasi di platform. Sebagian cukup besar lainnya kemungkinan sangat ringkih dan hanya hadir sementara.

 

UMKM dengan sektor pengolahan, yang persentasenya secara signifikan lebih kecil, menghadapi persoalan bahan baku. Selain itu, mereka membutuhkan bantuan teknologi sederhana yang akan memperbaiki produksi mereka selangkah demi selangkah.

 

Bantuan institusional dari negara seperti pemberian kesempatan terlibat dalam perekonomian modern dan formal (tanpa selalu harus menjadi badan formal) adalah sesuatu yang harus dilakukan secara sangat sistematis. Digitalisasi digunakan dalam kerangka meningkatkan pelibatan dalam jaringan, bahkan merekonstruksi jaringan ekonomi itu sendiri.

 

Namun, pandemi juga menghadirkan kesempatan perbaikan standar UMKM. Dengan munculnya berbagai kebutuhan baru karena pandemi—alat kesehatan, pasokan makanan, ekspedisi—pemerintah daerah berkesempatan melibatkan UMKM dalam jaringan. Bukan hanya untuk dapat menyerap produk dan jasa mereka, melainkan sekaligus juga memperbaiki standar produksi dan pelayanan, seperti standar nutrisi, jaringan bahan baku, dan tata kelola distribusi. ●

 

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/28/pandemi-dan-digitalisasi/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar