Risalah
Kemanusiaan Agamawan David Krisna Alka ; Kader Muhammadiyah dan Pencetus Jaringan
Intelektual Berkemajuan (JIB) |
MEDIA INDONESIA,
27 Agustus 2021
MENELUSURI
kerja-kerja kemanusiaan, yang dilakukan orang-orang biasa ialah sebuah
pengalaman berharga. Dapat membangkitkan kewarasan kemanusiaan dan
melunturkan kepongahan kita. Apalagi, dalam situasi krisis pandemi covid-19
ini, kiprah dan jasa orang-orang yang berjuang menerjang waktu, untuk
menumbuhkan harapan hidup umat manusia, lebih dari sekadar diberikan
penghargaan atau sorotan media. Sebelum
pandemi covid-19 menggulung waktu, menerpa umat manusia Indonesia, penulis
beberapa kali diamanatkan oleh Yayasan Ahmad Syafii Maarif--melalui
lembaganya Maarif Institute--mengikuti kerja-kerja kemanusiaan beberapa
agamawan, yang bukan saja berdakwah. Namun, turun bersama warga melakukan
kerja-kerja kemanusiaan. Di Media
Indonesia (6/6/2018), penulis pernah mengabarkan kisah kemanusiaan agamawan
Muhammadiyah, Abah Rasyid, yang merajut kerukunan umat di Maumere, Ibu Kota
Kabupaten Sikka, NTT. Karena kerja kemanusiaannya itu, Abah Rasyid
dianugerahi Maarif Award 2018. Sebelum Abah Rasyid, ada satu lagi sosok agamawan
meraih penghargaan yang sama pada 2010. Nama agamawan itu ialah Pastor
Vincentius Kirjito atau sering disapa Romo Kir. Romo Kir sudah lama menjadi
pastor Paroki di Desa Sumber, Magelang, Jawa Tengah. Bagaimana
cerita kerja-kerja kemanusiaan yang dilakukan Romo Kir itu? Inilah sebuah
risalah menjelang Romo Kir dianugerahi penghargaan kemanusiaan Maarif Award
pada 2010. Alkisah, saat
itu jalan menuju Paroki Santa Maria Lourdes, Sumber, di Kecamatan Dukun,
Magelang, banyak yang rusak. Tak jarang kendaraan terpaksa menepi untuk
menghindari truk pengangkut pasir yang lewat. Jalan mulai cukup bagus ketika
memasuki daerah lereng barat Gunung Merapi, tempat Romo Kir mendedikasikan
hidupnya bagi kaum petani. Romo Kir intens membimbing warga di perkampungan
petani itu. Pada 2000,
Romo Kir meminta ditugaskan di wilayah Sumber. Di desa ini ia mulai
menerapkan konsep pastoralnya yang berorientasi alam dan budaya keseharian.
Di Sumber, ada sebuah pertambangan yang telah dibuka semenjak 1998-1999,
dengan menggunakan alat-alat berat pengeruk pasir. Aktivitas itu berdampak
pada kerusakan ekologi di sekitar lereng Merapi. Masyarakat yang mulanya
merasa diuntungkan, lambat laun mulai mengeluh rusaknya hutan mereka yang
notabene merupakan cagar air bagi irigasi pertanian. Kenyamanan
mereka terganggu akibat kendaraan perusahaan yang hilir mudik hingga larut
malam. Jalan-jalan desa menjadi retak dan rusak. Apalagi, para petani mulai
terhalang untuk mencari rumput karena dilarang melewati tanda-tanda patok
yang ada. Ada kabar preman kerap mendatangi rumah warga yang memprotes
kegiatan pengerukan pasir penambangan itu. Debit ketinggian air anak sungai
pun makin turun. Kedatangan
Romo Kir membangkitkan semangat mereka untuk melakukan protes. Romo Kir
mengajak warga desa untuk bersama-sama menghentikan kegiatan pengerukan pasir
sungai itu. Romo Kir bersama-sama petani lalu mendatangi pihak-pihak
berwenang seperti bupati, DPRD, dan dinas pertambangan. Romo Kir juga
memediasi segala keluhan masyarakat dengan pihak pemerintah, legislatif,
pihak pengelola tambang, hingga badan vulkanologi. Ia bahkan tak jarang harus
menghadapi ancaman dan teror. Pada 2004
perjuangan Romo Kir bersama petani untuk menghentikan penambangan akhirnya
terwujud. Tambang-tambang di sekitar lereng Merapi mulai diatur. Satu demi
satu alat-alat penambang mulai berkurang walaupun di beberapa titik di
sekitar lereng Merapi masih terjadi kegiatan pengerukan pasir. Sedulur Merapi Perjuangan
menghentikan aktivitas penambangan di lereng Merapi memang berat. Namun,
pekerjaan yang lebih berat ialah menanamkan kesadaran berkelanjutan kepada
warga. Romo Kir mendorong komunitas-komunitas budaya di lereng Merapi untuk
mengadakan gelar budaya yang mengangkat kearifan lokal. Kegiatan itu
diberi nama kesenian Syuro, yang prinsipnya merupakan cara komunitas tani
lereng Merapi berterima kasih pada Tuhan atas hasil panen mereka. Dampaknya
cukup terasa, terutama media yang kala itu berbalik mendukung penyelamatan
lereng Merapi. Suatu realitas yang berbeda dengan pemberitaan media
sebelumnya yang menganggap aktivitas penambangan itu keliru dihentikan karena
merupakan mata pencarian masyarakat. Perjuangan
melalui seni budaya itu telah mendapat apresiasi yang tinggi dari kalangan
tokoh budaya dan seni Indonesia. Antara lain dari Sindhunata yang menulis,
Sedulur Merapi, Edukasi dan Kecintaan Romo Kirjito. Sindhunata
mengatakan walaupun sekilas atraksi seni terkesan sebuah hiburan, tetapi
terkandung protes sosial warga Merapi. Misalnya, lewat atraksi buto, yang
merupakan ungkapan batin untuk kembali pada kekuatan purba mereka, yakni
warga Merapi menemukan daya asalinya. Bagi Sindhunata, apa yang dilakukan
Romo Kir merupakan model penghayatan iman dan religiositas Katolik ke dalam
warisan dan keprihatinan kultural lokal. Membangun
fondasi bagi sebuah kehidupan yang guyub tanpa sekat-sekat iman merupakan
cita-cita terdalam Romo Kir, dalam upayanya membangun toleransi dan
persaudaraan antarwarga lereng Merapi. Sekat-sekat itu terutama disebabkan
karena adanya ‘penyakit minoritas’ atau istilah minder kolektif yang
dipengaruhi berbagai kepentingan di luar lingkungan keberimanan. Penyakit
minoritas dan minder kolektif itu dapat mencemarkan nilai kemanusiaan. Itulah
sebabnya, Romo Kir menganggap gerakannya bersama warga lereng Merapi itu
merupakan gerakan kemanusiaan, yang bertujuan menegakkan kemanusiaan sejati.
“Saya bukan faktor yang utama di sini. Keteguhan prinsip perlu dibangun.
Kebodohan kita tak bisa bergerak maju karena perkara kecil, dan persoalan
lokal yang dipunyai masyarakat lereng Merapi tidak melulu berharap kepada
seorang Romo, tapi pada masyarakat itu sendiri,” kata Romo Kir ketika itu.
Sungguh meneduhkan. Nah, belajar
kita dari kisah Romo Kir ini hendaknya kehidupan keberagamaan kita bergerak
dalam kekuatan kemanusiaan, bukan kekuatan suara kebencian. Cerita lengkap
nan panjang tentang perjuangan Romo Kir ini pernah pula penulis laporkan
dalam Jurnal Maarif Institute. Ya, cerita
mengenai kerja-kerja kemanusiaan agamawan ialah cahaya berkemajuan yang
menyinari hati kemanusiaan kita. Tentu, ada baiknya juga dilakukan agamawan
lainnya. Barangkali begitu. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/428404/risalah-kemanusiaan-agamawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar