Senin, 30 Agustus 2021

 

Risalah Kemanusiaan Agamawan

David Krisna Alka ;  Kader Muhammadiyah dan Pencetus Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB)

MEDIA INDONESIA, 27 Agustus 2021

 

 

                                                           

MENELUSURI kerja-kerja kemanusiaan, yang dilakukan orang-orang biasa ialah sebuah pengalaman berharga. Dapat membangkitkan kewarasan kemanusiaan dan melunturkan kepongahan kita. Apalagi, dalam situasi krisis pandemi covid-19 ini, kiprah dan jasa orang-orang yang berjuang menerjang waktu, untuk menumbuhkan harapan hidup umat manusia, lebih dari sekadar diberikan penghargaan atau sorotan media.

 

Sebelum pandemi covid-19 menggulung waktu, menerpa umat manusia Indonesia, penulis beberapa kali diamanatkan oleh Yayasan Ahmad Syafii Maarif--melalui lembaganya Maarif Institute--mengikuti kerja-kerja kemanusiaan beberapa agamawan, yang bukan saja berdakwah. Namun, turun bersama warga melakukan kerja-kerja kemanusiaan.

 

Di Media Indonesia (6/6/2018), penulis pernah mengabarkan kisah kemanusiaan agamawan Muhammadiyah, Abah Rasyid, yang merajut kerukunan umat di Maumere, Ibu Kota Kabupaten Sikka, NTT. Karena kerja kemanusiaannya itu, Abah Rasyid dianugerahi Maarif Award 2018. Sebelum Abah Rasyid, ada satu lagi sosok agamawan meraih penghargaan yang sama pada 2010. Nama agamawan itu ialah Pastor Vincentius Kirjito atau sering disapa Romo Kir. Romo Kir sudah lama menjadi pastor Paroki di Desa Sumber, Magelang, Jawa Tengah.

 

Bagaimana cerita kerja-kerja kemanusiaan yang dilakukan Romo Kir itu? Inilah sebuah risalah menjelang Romo Kir dianugerahi penghargaan kemanusiaan Maarif Award pada 2010.

 

Alkisah, saat itu jalan menuju Paroki Santa Maria Lourdes, Sumber, di Kecamatan Dukun, Magelang, banyak yang rusak. Tak jarang kendaraan terpaksa menepi untuk menghindari truk pengangkut pasir yang lewat. Jalan mulai cukup bagus ketika memasuki daerah lereng barat Gunung Merapi, tempat Romo Kir mendedikasikan hidupnya bagi kaum petani. Romo Kir intens membimbing warga di perkampungan petani itu.

 

Pada 2000, Romo Kir meminta ditugaskan di wilayah Sumber. Di desa ini ia mulai menerapkan konsep pastoralnya yang berorientasi alam dan budaya keseharian. Di Sumber, ada sebuah pertambangan yang telah dibuka semenjak 1998-1999, dengan menggunakan alat-alat berat pengeruk pasir. Aktivitas itu berdampak pada kerusakan ekologi di sekitar lereng Merapi. Masyarakat yang mulanya merasa diuntungkan, lambat laun mulai mengeluh rusaknya hutan mereka yang notabene merupakan cagar air bagi irigasi pertanian.

 

Kenyamanan mereka terganggu akibat kendaraan perusahaan yang hilir mudik hingga larut malam. Jalan-jalan desa menjadi retak dan rusak. Apalagi, para petani mulai terhalang untuk mencari rumput karena dilarang melewati tanda-tanda patok yang ada. Ada kabar preman kerap mendatangi rumah warga yang memprotes kegiatan pengerukan pasir penambangan itu. Debit ketinggian air anak sungai pun makin turun.

 

Kedatangan Romo Kir membangkitkan semangat mereka untuk melakukan protes. Romo Kir mengajak warga desa untuk bersama-sama menghentikan kegiatan pengerukan pasir sungai itu. Romo Kir bersama-sama petani lalu mendatangi pihak-pihak berwenang seperti bupati, DPRD, dan dinas pertambangan. Romo Kir juga memediasi segala keluhan masyarakat dengan pihak pemerintah, legislatif, pihak pengelola tambang, hingga badan vulkanologi. Ia bahkan tak jarang harus menghadapi ancaman dan teror.

 

Pada 2004 perjuangan Romo Kir bersama petani untuk menghentikan penambangan akhirnya terwujud. Tambang-tambang di sekitar lereng Merapi mulai diatur. Satu demi satu alat-alat penambang mulai berkurang walaupun di beberapa titik di sekitar lereng Merapi masih terjadi kegiatan pengerukan pasir.  

 

Sedulur Merapi

 

Perjuangan menghentikan aktivitas penambangan di lereng Merapi memang berat. Namun, pekerjaan yang lebih berat ialah menanamkan kesadaran berkelanjutan kepada warga. Romo Kir mendorong komunitas-komunitas budaya di lereng Merapi untuk mengadakan gelar budaya yang mengangkat kearifan lokal.

 

Kegiatan itu diberi nama kesenian Syuro, yang prinsipnya merupakan cara komunitas tani lereng Merapi berterima kasih pada Tuhan atas hasil panen mereka. Dampaknya cukup terasa, terutama media yang kala itu berbalik mendukung penyelamatan lereng Merapi. Suatu realitas yang berbeda dengan pemberitaan media sebelumnya yang menganggap aktivitas penambangan itu keliru dihentikan karena merupakan mata pencarian masyarakat.

 

Perjuangan melalui seni budaya itu telah mendapat apresiasi yang tinggi dari kalangan tokoh budaya dan seni Indonesia. Antara lain dari Sindhunata yang menulis, Sedulur Merapi, Edukasi dan Kecintaan Romo Kirjito.

 

Sindhunata mengatakan walaupun sekilas atraksi seni terkesan sebuah hiburan, tetapi terkandung protes sosial warga Merapi. Misalnya, lewat atraksi buto, yang merupakan ungkapan batin untuk kembali pada kekuatan purba mereka, yakni warga Merapi menemukan daya asalinya. Bagi Sindhunata, apa yang dilakukan Romo Kir merupakan model penghayatan iman dan religiositas Katolik ke dalam warisan dan keprihatinan kultural lokal.

 

Membangun fondasi bagi sebuah kehidupan yang guyub tanpa sekat-sekat iman merupakan cita-cita terdalam Romo Kir, dalam upayanya membangun toleransi dan persaudaraan antarwarga lereng Merapi. Sekat-sekat itu terutama disebabkan karena adanya ‘penyakit minoritas’ atau istilah minder kolektif yang dipengaruhi berbagai kepentingan di luar lingkungan keberimanan.

 

Penyakit minoritas dan minder kolektif itu dapat mencemarkan nilai kemanusiaan. Itulah sebabnya, Romo Kir menganggap gerakannya bersama warga lereng Merapi itu merupakan gerakan kemanusiaan, yang bertujuan menegakkan kemanusiaan sejati. “Saya bukan faktor yang utama di sini. Keteguhan prinsip perlu dibangun. Kebodohan kita tak bisa bergerak maju karena perkara kecil, dan persoalan lokal yang dipunyai masyarakat lereng Merapi tidak melulu berharap kepada seorang Romo, tapi pada masyarakat itu sendiri,” kata Romo Kir ketika itu. Sungguh meneduhkan.

 

Nah, belajar kita dari kisah Romo Kir ini hendaknya kehidupan keberagamaan kita bergerak dalam kekuatan kemanusiaan, bukan kekuatan suara kebencian. Cerita lengkap nan panjang tentang perjuangan Romo Kir ini pernah pula penulis laporkan dalam Jurnal Maarif Institute.

 

Ya, cerita mengenai kerja-kerja kemanusiaan agamawan ialah cahaya berkemajuan yang menyinari hati kemanusiaan kita. Tentu, ada baiknya juga dilakukan agamawan lainnya. Barangkali begitu.

 

Sumber :  https://mediaindonesia.com/opini/428404/risalah-kemanusiaan-agamawan

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar