Kolase
Budi Darma Ranang Aji SP ; Penulis Fiksi dan Nonfiksi |
KOMPAS, 24 Agustus 2021
Profesor
Budi Darma merupakan salah satu sastrawan besar Indonesia. Sastrawan ini
tentu saja bukan tokoh biasa yang sekadar pergi dan lantas mudah dilupakan. Budi
Darma pergi dengan meninggalkan kenangan, tidak saja bagi keluarga dan teman
pribadi, tetapi juga meninggalkan warisan kolektif bagi bangsa dan negara,
yaitu karya-karya sastra dan akademiknya yang turut membentuk peradaban
Indonesia. Salah satu karyanya yang sesungguhnya jarang dibahas dan akan
menjadi warisan adalah sebuah metode dalam penulisan fiksi yang ia gunakan,
yaitu ’teknik kolase’ dalam karya sastranya, baik yang diterapkan dalam fiksi
cerpen maupun novelnya. Penggunaan
teknik atau metode dalam penulisan fiksinya ini belakangan bahkan membuat
sebagian pembacanya merasa kebingungan memahami, terutama mereka yang biasa
menikmati fiksi lurus dan tradisional. Cerpen terakhir berjudul Kematian
Seorang Pelukis (Kompas, 4 Juli 2021), misalnya, menghasilkan komentar yang
bernada bingung, sama persis bingungnya ketika membaca cerpennya yang
berjudul Sebuah Kisah di Candipuro (Jawa Pos, 26 Maret 2020). Budi
Darma, seperti dalam setiap atribusinya menyebutkan bahwa dirinya adalah
sastrawan Indonesia pertama yang menggunakan teknik kolase dalam penulisan
fiksi sastra. Pernyataannya ini pada dasarnya adalah sebuah konfirmasi bahwa,
pertama, metode penulisan fiksinya memang menggunakan teknik kolase. Teknik
ini menggunakan prinsip-prinsip potong dan tempel, atau mengorganisir bentuk
struktur melalui peletakkan bahan-bahan yang berbeda, seperti persitiwa,
karakter, dan unsur lain secara beragam dengan penjajaran, sambungan tematik,
dan multimodal, seperti halnya dalam seni rupa yang mencampurkan pelbagai
bahan dalam satu kanvas secara aprosiatif. Pablo
Picasso, misalnya, adalah nama seniman yang disebut secara ragu-ragu sebagai
yang pertama menciptakan jenis teknik ini dalam seni rupa melaui karyanya
Still Life with a Mesh Chair (1912). Teknik ini kemudian menjadi metode,
tidak saja pada seni rupa, tetapi juga sastra, musik, dan film. Pada
pengertian kedua, pengakuan Budi Darma adalah memperlihatkan bahwa teknik ini
pada dasarnya bukan hal baru dalam laskap sastra dunia sejak Picasso
memperkenalkan dalam seni rupa. Oleh sebab itu, Budi Darma hanya menyebutkan
sebagai sastrawan pertama yang menggunakan teknik kolase dalam sastra
Indonesa. Secara
epistemik, Budi Darma berada pada struktur kesadaran pengetahuan dan sejarah
sastra dunia yang sudah bergerak serta menyediakan teknik kolase ini pada
sastrawan lain, seperti penulis Amerika David Markson (1927-2010). Pada
kesadaran ini, pilihan teknis Budi Darma tidak saja mengejar efek dramatik
semata dalam karya sastranya, tetapi secara filosofis menjadikannya sebagai
simbol dan metafora sebagai bentuk perlawanan terhadap sisi gelap dunia
modern pun postmodern (pasca-modern), di mana Budi Darma hidup di dalamnya. David
Banash, seorang Profesor Sastra Inggris di Illinois, Amerika, misalnya juga
menyebut teknik kolase adalah dasar dari ekspresi kritik atau protes melalui
rajutan nostalgia masa lalu dengan cara memotong dan menempelkan (Collage
Culture: 31-32). Ini terutama pada konteks dunia postmodern di abad ke-21
ini. Dalam
kumpulan cerita pendek Orang-orang Bloomington (1980), misalnya, dalam cerpen
berjudul Laki-laki Tua Tanpa Nama, teknik kolase terlihat dalam
pengorganisasian beberapa peristiwa dan beberapa karakter yang dimunculkan
secara fragmentif dalam satu latar tempat bernama Fes di wilayah Bloomington.
Setiap karakter, selain narator, memiliki kisah sendiri yang dipandu oleh
beat of desire narator yang menginginkan semacam hubungan sosial, tetapi
upaya itu selalu buntu oleh sikap masa bodoh orang di sekitar dan takdir
lain. Narator merasakan dunia menjadi begitu asing dan sunyi, serta dipenuhi
egoisme di negara maju seperti Amerika. Dalam
cerpen Kematian Seorang Pelukis kita juga mendapatkan lanskap peristiwa dari
banyak karakter yang memiliki kisahnya sendiri secara kilas, tetapi tetap
terhubung secara multimodal dan aprosiasi dalam kerumitan labirin peristiwa
yang dimulai pada keluarga Munandar, seorang dokter jantung. Setiap karakter
meninggalkan jejak peristiwa kecil untuk terhubung pada karakter yang lebih
dominan, yaitu kisah Wiwin, seorang pelukis yang menjadi pasien Munandar.
Sementara dokter Meti, istri Munandar, menjadi pembuka semua peristiwa masa
lalu Wiwin hingga kematian Wiwin di pesawat. Adapun
pada karya cerpen berjudul Sebuah Kisah di Candipuro”, Budi Darma, meskipun
masih menyatakan menggunakan teknik kolase, pada faktanya mengorganisir
kisahnya mirip sebagai teknik yang dikenal sebagai dekolase. Sebuah teknik
yang dilahirkan oleh seniman Jerman Wolf Vostell di tahun 1954. Sebuah teknik
yang secara prinsip melepas bahan dasar menjadi bentuk yang lebih lepas dan
baru. Hal
itu bisa terbaca pada paragraf pembuka cerpen yang sama sekali tak memiliki
hubungan cerita dengan paragraf-paragraf berikutnya hingga akhir. Namun, bisa
saja itu adalah bagian metafora, seperti keterangan David Banash, bahwa teks
semacam itu bukanlah praktik sastra standar dalam fiksi kontemporer, kolase
jauh lebih populer sebagai ”metafora untuk pengalaman modernitas” daripada
sebagai ”prinsip formal” (Banash, Collage as Practice, 264). Demikianlah
fiksi sastra Budi Darma dibentuk. Pada
sisi lain, teknik kolase Budi Darma ini, sejak pertama ia menyatakan kredo
teknisnya di tahun 1970-an, hingga kini masih menjadi ciri khas Budi Darma.
Belum ada pengarang lain yang secara khusus terlihat menggunakan metode ini
di Indonesia meskipun teknis penulisan fiksi kontemporer (baca: postmodern)
seperti pastiche yang juga meramu beberapa bahan dalam satu cerita sudah
banyak digunakan pengarang muda Indoensia saat ini. Hanya saja pastiche lebih
pada merayakan secara parodi karya-karya orang lain dalam satu kisah. Dengan
demikian, pastiche tidak bisa disebut kolase. Secara filosofis, teknik kolase
ini adalah metode teknis yang murni dan membawa bobot kritik ideologis dan mampu
menjadi representasi zaman. Maka, di Indonesia, sudah sepantasnya Budi Darma
harus dikenang sebagai Bapak Kolase Sastra Indonesia. Mungkin demikian. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/24/kolase-budi-darma/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar