Senin, 30 Agustus 2021

 

Kolase Budi Darma

Ranang Aji SP ;  Penulis Fiksi dan Nonfiksi

KOMPAS, 24 Agustus 2021

 

 

                                                           

Profesor Budi Darma merupakan salah satu sastrawan besar Indonesia. Sastrawan ini tentu saja bukan tokoh biasa yang sekadar pergi dan lantas mudah dilupakan.

 

Budi Darma pergi dengan meninggalkan kenangan, tidak saja bagi keluarga dan teman pribadi, tetapi juga meninggalkan warisan kolektif bagi bangsa dan negara, yaitu karya-karya sastra dan akademiknya yang turut membentuk peradaban Indonesia. Salah satu karyanya yang sesungguhnya jarang dibahas dan akan menjadi warisan adalah sebuah metode dalam penulisan fiksi yang ia gunakan, yaitu ’teknik kolase’ dalam karya sastranya, baik yang diterapkan dalam fiksi cerpen maupun novelnya.

 

Penggunaan teknik atau metode dalam penulisan fiksinya ini belakangan bahkan membuat sebagian pembacanya merasa kebingungan memahami, terutama mereka yang biasa menikmati fiksi lurus dan tradisional. Cerpen terakhir berjudul Kematian Seorang Pelukis (Kompas, 4 Juli 2021), misalnya, menghasilkan komentar yang bernada bingung, sama persis bingungnya ketika membaca cerpennya yang berjudul Sebuah Kisah di Candipuro (Jawa Pos, 26 Maret 2020).

 

Budi Darma, seperti dalam setiap atribusinya menyebutkan bahwa dirinya adalah sastrawan Indonesia pertama yang menggunakan teknik kolase dalam penulisan fiksi sastra. Pernyataannya ini pada dasarnya adalah sebuah konfirmasi bahwa, pertama, metode penulisan fiksinya memang menggunakan teknik kolase. Teknik ini menggunakan prinsip-prinsip potong dan tempel, atau mengorganisir bentuk struktur melalui peletakkan bahan-bahan yang berbeda, seperti persitiwa, karakter, dan unsur lain secara beragam dengan penjajaran, sambungan tematik, dan multimodal, seperti halnya dalam seni rupa yang mencampurkan pelbagai bahan dalam satu kanvas secara aprosiatif.

 

Pablo Picasso, misalnya, adalah nama seniman yang disebut secara ragu-ragu sebagai yang pertama menciptakan jenis teknik ini dalam seni rupa melaui karyanya Still Life with a Mesh Chair (1912). Teknik ini kemudian menjadi metode, tidak saja pada seni rupa, tetapi juga sastra, musik, dan film.

 

Pada pengertian kedua, pengakuan Budi Darma adalah memperlihatkan bahwa teknik ini pada dasarnya bukan hal baru dalam laskap sastra dunia sejak Picasso memperkenalkan dalam seni rupa. Oleh sebab itu, Budi Darma hanya menyebutkan sebagai sastrawan pertama yang menggunakan teknik kolase dalam sastra Indonesa.

 

Secara epistemik, Budi Darma berada pada struktur kesadaran pengetahuan dan sejarah sastra dunia yang sudah bergerak serta menyediakan teknik kolase ini pada sastrawan lain, seperti penulis Amerika David Markson (1927-2010). Pada kesadaran ini, pilihan teknis Budi Darma tidak saja mengejar efek dramatik semata dalam karya sastranya, tetapi secara filosofis menjadikannya sebagai simbol dan metafora sebagai bentuk perlawanan terhadap sisi gelap dunia modern pun postmodern (pasca-modern), di mana Budi Darma hidup di dalamnya.

 

David Banash, seorang Profesor Sastra Inggris di Illinois, Amerika, misalnya juga menyebut teknik kolase adalah dasar dari ekspresi kritik atau protes melalui rajutan nostalgia masa lalu dengan cara memotong dan menempelkan (Collage Culture: 31-32). Ini terutama pada konteks dunia postmodern di abad ke-21 ini.

 

Dalam kumpulan cerita pendek Orang-orang Bloomington (1980), misalnya, dalam cerpen berjudul Laki-laki Tua Tanpa Nama, teknik kolase terlihat dalam pengorganisasian beberapa peristiwa dan beberapa karakter yang dimunculkan secara fragmentif dalam satu latar tempat bernama Fes di wilayah Bloomington. Setiap karakter, selain narator, memiliki kisah sendiri yang dipandu oleh beat of desire narator yang menginginkan semacam hubungan sosial, tetapi upaya itu selalu buntu oleh sikap masa bodoh orang di sekitar dan takdir lain. Narator merasakan dunia menjadi begitu asing dan sunyi, serta dipenuhi egoisme di negara maju seperti Amerika.

 

Dalam cerpen Kematian Seorang Pelukis kita juga mendapatkan lanskap peristiwa dari banyak karakter yang memiliki kisahnya sendiri secara kilas, tetapi tetap terhubung secara multimodal dan aprosiasi dalam kerumitan labirin peristiwa yang dimulai pada keluarga Munandar, seorang dokter jantung. Setiap karakter meninggalkan jejak peristiwa kecil untuk terhubung pada karakter yang lebih dominan, yaitu kisah Wiwin, seorang pelukis yang menjadi pasien Munandar. Sementara dokter Meti, istri Munandar, menjadi pembuka semua peristiwa masa lalu Wiwin hingga kematian Wiwin di pesawat.

 

Adapun pada karya cerpen berjudul Sebuah Kisah di Candipuro”, Budi Darma, meskipun masih menyatakan menggunakan teknik kolase, pada faktanya mengorganisir kisahnya mirip sebagai teknik yang dikenal sebagai dekolase. Sebuah teknik yang dilahirkan oleh seniman Jerman Wolf Vostell di tahun 1954. Sebuah teknik yang secara prinsip melepas bahan dasar menjadi bentuk yang lebih lepas dan baru.

 

Hal itu bisa terbaca pada paragraf pembuka cerpen yang sama sekali tak memiliki hubungan cerita dengan paragraf-paragraf berikutnya hingga akhir. Namun, bisa saja itu adalah bagian metafora, seperti keterangan David Banash, bahwa teks semacam itu bukanlah praktik sastra standar dalam fiksi kontemporer, kolase jauh lebih populer sebagai ”metafora untuk pengalaman modernitas” daripada sebagai ”prinsip formal” (Banash, Collage as Practice, 264). Demikianlah fiksi sastra Budi Darma dibentuk.

 

Pada sisi lain, teknik kolase Budi Darma ini, sejak pertama ia menyatakan kredo teknisnya di tahun 1970-an, hingga kini masih menjadi ciri khas Budi Darma. Belum ada pengarang lain yang secara khusus terlihat menggunakan metode ini di Indonesia meskipun teknis penulisan fiksi kontemporer (baca: postmodern) seperti pastiche yang juga meramu beberapa bahan dalam satu cerita sudah banyak digunakan pengarang muda Indoensia saat ini. Hanya saja pastiche lebih pada merayakan secara parodi karya-karya orang lain dalam satu kisah.

 

Dengan demikian, pastiche tidak bisa disebut kolase. Secara filosofis, teknik kolase ini adalah metode teknis yang murni dan membawa bobot kritik ideologis dan mampu menjadi representasi zaman. Maka, di Indonesia, sudah sepantasnya Budi Darma harus dikenang sebagai Bapak Kolase Sastra Indonesia. Mungkin demikian. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/24/kolase-budi-darma/

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar