Senin, 30 Agustus 2021

 

Dari Porang ke Daulat Pangan

Adig Suwandi ;  Praktisi Agribisnis; Analis Senior Nusantara Sugar Community

KOMPAS, 26 Agustus 2021

 

 

                                                           

Ekspor perdana hasil panen porang berbentuk butiran seperti beras asal Kabupaten Madiun menandai sukses awal pemanfaatan sumber daya lahan untuk keperluan diversifikasi bahan pangan. Kemampuan tersebut diharapkan dapat mereduksi impor bahan pangan utama dan ketergantungan karbohidrat secara berlebihan terhadap beras. Gerakan diversifikasi pun sudah terlalu lama diintroduksikan, tetapi dalam praktik tidak mudah dilakukan secara terintegrasi.

 

Selain kalah pamor dibanding beras, tanaman lain dalam daftar prioritas juga tidak mempertemukan kepentingan petani yang menginginkan harga kompetitif versus pasar. Tanpa kepastian harga jual layak, tanaman lain sulit diharapkan bisa berkembang baik meski diketahui nilai gizi dan kalorinya lebih dari beras.

 

Keberadaan padi sebagai tanaman penghasil beras telah lama dikenal, bahkan bermetamorfosis jadi bagian dari budaya hingga mengantarkannya pada komoditas bermuansa politis. Peningkatan produksi beras dilakukan melalui berbagai metode, tetapi tetap saja berkejaran dengan jumlah penduduk.

 

Negara mengatur harga dasar (floor price) pada level terjaga menguntungkan petani meski kadang tidak mudah diwujudkan, selain menambal stok dari jalur impor apabila kondisi mencemaskan bermuara tereskalasinya harga harus dibayar konsumen. Pemahaman kontekstual ekonomi beras begitu urgen guna mereformasi kebijakan teragendakan lebih kompatibel terhadap kondisi obyektif, kebutuhan, dan ekspektasi publik.

 

Diversifikasi pangan

 

Masih belum lenyap dari memori kita tentang proyek mandiri energi berbasis jarak pagar. Sosialisasi teknik budidaya dilakukan agar petani dapat memanfaatkan setiap jengkal lahan miliknya guna mendukung perluasan basis energi yang masih terlalu bias ke minyak bumi, tetapi alpa menentukan harga jual jarak pagar secara wajar bagi petani.

 

Proyek tersebut pun berakhir gagal dan tidak jelas kelanjutannya. Rendahnya harga jual hasil panen yang tidak sebanding biaya produksi sekaligus kalah kompetitif dibanding tanaman lain pada gilirannya membuat tidak layak secara ekonomi.

 

Dalam konteks porang yang berasal dari jenis umbi-umbian pun akan mengikuti alur pemasaran produk tidak jauh berbeda meski pasar makin terkoneksi ke episentrum jaringan global. Artinya, ekspor menjadi jauh lebih mudah, apalagi belum banyak kompetitor dari negara lain masuk ke arena persaingan.

 

Kolaborasi antara petani pengelola usaha tani dan pabrikan pengolah hasil panen hendaknya didesain sesuai format kemitraan baru berdasarkan kesetaraan peran dan benefit ekonomi diperoleh. Dukungan teknis dan fasilitasi bagi petani untuk bisa mengakses sumber-sumber pembiayaan menjadi urgen terkait modal kerja dan ekspansi usaha.

 

Meskipun perkiraan konsumsi beras per kapita kita telah turun ke arah 92 kilogram per tahun, jauh meninggalkan possi 135 kiogram dalam seperempat abad terakhir, angka tersebut masih terlalu besar. Karena itu, dengan makin terdesaknya lahan berpengairan teknis yang selama ini secara bergiliran dialokasikan untuk budidaya padi dan palawija tergeser untuk kepentingan industri, infrastruktur, dan pemukiman penduduk.

 

Tidak mudah mencari kompensasi melalui pencetakan sawah baru lengkap dengan infrastruktur fisik pendukungnya, seperti jalan, jembatan, bendungan, dan jaringan irigasi. Kondisi tadi belum termasuk tingkat kesuburan, kesesuaian lahan, dan daya dukung ekologi bagi produktivitasnya secara berkelanjutan. Lahan-lahan subur, khususnya di Jawa, telah terkooptasi kepentingan non-pertanian sehingga suka atau tidak suka negara mesti mengeksekusi pengembangan areal baru demi menyangga ketahanan pangan (food security) di luar Jawa, termasuk food estate.

 

Penurunan rata-rata luas kepemilikan lahan individual (land holding capacity) mengakumulasi keinginan bagi pemiliknya untuk lebih memilih tanaman cepat menghasilkan dan mengendus keuntungan berlimpah. Harga jual produk menjadi pertaruhan. Tidak mengherankan kalau kini areal persawahan yang secara historis digunakan untuk budidaya padi dan tebu kini makin beragam peruntukannya.

 

Banyaknya pabrik gula yang kekurangan areal dan jumlah tebu guna menopang operasional produksinya, hingga berujung sebagian terpaksa dibeku-operasikan, menunjukkan tingginya derajat pergolakan ekonomi petani guna mendapatkan hasil lebih dari cara-cara konvensional. Konsekuensi logisnya, semua pihak mesti berbenah diri, mengantsipasi perubahan lingkungan strategik, dan mereformulasi platform transformasi cara bertani menggunakan basis agroteknologi terkini.

 

Diversifikasi pangan akan berjalan otomatis dan simultan selama petani merasa pendapatan dan nilai keuntungan diperoleh mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menutup semua kebutuhan sekaligus tahapan awal menuju penguatan daya saing produk lokal berperspektif global. Opsi bebas petani dalam memilih komoditas agribisnis yang dinilai paling profitable menggerakkan antusiasme ke sana, apalagi untuk jenis tanaman seperti porang dan umbi-umbian lain yang sudah lama disiasati. Tinggal bagaimana negara dan korporasi mendesain diversifikasi agar tidak mengulangi kegagalan masa lalu.

 

Agenda kolaborasi

 

Di luar domain ekspor, penting pula bagi Indonesua menggelorakan pemetaan ulang atas kekuatan riil dan potensi tanaman penghasil pangan dalam konteks mencari substitusi beras. Sudah telanjur salah ketika diversifikasi bergeser ke arah gandum yang notabene belum dapat dibudidayakan di bumi tropika bernama Indonesia. Ketergantungan terhadap bahan pangan tertentu yang bertumpu impor secara ekologis akan membuat bangsa ini rentan (vulnerable) saat stok dunia menipis menyusul risiko gagal panen, perang, dan perubahan geopolitik kawasan.

 

Terganggunya impor sejumah komoditas di masa pandemi menyusul lockdown di sejumlah kota penting dunia mengharuskan bangsa ini semakin yakin akan pentingnya kedaulatan pangan. Hanya bangsa berdaulat pangan piawai memainkan peran mencukupi kebutuhan masyarakatnya terhindar dari bahaya laten kelaparan. Porang menjadi contoh nyata keunggulan kompetitif sumber daya ekonomi untuk mengakselerasi terwujudnya kemandirian pangan dan kapabilitas mengekspor.

 

Pelajaran dari masa lalu tentang korelasi erat antara petani penghasil produk dan pabrikan pengolah hasil mengindikasikan prioritas atas transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas di dalam mengelola aliansi strategik. Dengan kata lain, sejak awal harus sudah teragendakan format kolaborasi atau kemitraan bersifat saling mendukung dan saling menguntungkan. Melalui cara itulah pengembangan produk bakal terakselerasi pula dengan hasil mampu memperluas pilihan bahan pangan bagi bangsa sendiri, selain penajaman orientasi ekspor ke pasar global. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/26/dari-porang-ke-daulat-pangan/

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar