Kasmaran
Belajar di Masa Pandemi Riduan Situmorang ; Guru SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan,
Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional |
KOMPAS ,12 Agustus 2021
Belajar
pada masa pandemi selalu dekat dengan data muram. Berbagai keluhan, tidak
saja dari siswa dan guru, bahkan juga dari orangtua, sudah bermunculan ke
permukaan. Karena itu, belajar pada masa pandemi berarti belajar di bawah
tekanan. Padahal,
Daniel Coleman dalam sebuah penelitiannya menyebutkan, orang yang berada
dalam tekanan, rasionya akan terkungkung. Karena itu, wajar kita
mengkhawatirkan bahwa kemungkinan akan terjadi lost learning pada generasi
Covid. Belum lagi sudah menjadi kenyataan bahwa tindakan anak didik kita
sudah lebih banyak di dunia digital. Ironisnya,
tindakan digital kita justru kurang baik. Dalam studi Digital Civility Index
terhadap 16.000 responden di 32 negara pada
April—Mei 2020 yang baru dirilis Microsoft, ditunjukkan bahwa
Indonesia berada pada peringkat 29 dengan skor 76. Menariknya,
waktu kita justru banyak tersita pada tindakan digital. Dalam studi Digital
Report 2021 dari Hootsuite dan We Are Social, total tindakan-digital kita per
hari adalah 9 jam 12 menit, yang artinya itu melebihi jam kerja normal, yaitu
8 jam per hari. Namun, mengapa banyaknya jam tayang tindakan digital ini
masih membuat siswa kita gagap untuk belajar daring? Pada
awal tahun ajaran baru ini, saya melakukan tatap muka-maya dari Google Meet.
Saya mencoba mengajar sebagaimana pada tatap muka. Sengaja saya unduh buku
digital sesuai pegangan siswa. Papan tulis digital pun saya maksimalkan.
Layar saya berisi buku digital dan papan tulis digital benar-benar tersaji
dengan jelas kepada mereka. Sengaja
saya menggunakan Google Meet daripada zoom biar suaranya jauh lebih jelas.
Namun, ketika ditanya tentang apakah pola pembelajaran akan dilanjutkan
seperti itu, rata-rata hanya empat dari 36 yang setuju. Selebihnya, mereka
meminta pola belajar dengan menggunakan Google Classroom/grup Whatsapp (WAG). Berkembang secara alamiah Saya
sebenarnya merasa bahwa jika hanya dengan mengandalkan Google Classroom dan
WAG, selain komunikasi tidak interaktif dan real time, mereka juga tak akan
mengerti dengan sempurna. Dalam pada alur berpikir seperti ini, saya merasa
bahwa mereka akan kehilangan kesempatan belajar meski tetap tidak kehilangan
kesempatan bersekolah. Karena
itu, saya ingin memaksa mereka belajar sesuai dengan pendekatan saya tadi:
tatap-muka maya yang identik tatap muka biasa agar mereka mengerti konten
pembelajaran. Namun, saya hanya guru. Pola belajar harus disesuaikan dengan
kenyamanan siswa. Untuk
apa belajar jika tidak nyaman, apalagi tersiksa, bukan? Sebab, sebagaimana
disebutkan EP Selligman, kognisi dan emosi sangat berhubungan. Jika emosi
tertekan, kognisi bisa melambat. Karena itulah, para ahli selalu menyarankan
supaya pembelajaran dekat dengan kebahagiaan. John Dewey bahkan
mengulang-ulang kata kebahagiaan dalam salah satu masterpiece-nya, Democracy
and Education. UNESCO pada 2016 juga menerbitkan buku berjudul Happy Schools:
A Framework for Learner Well-being in the Asia-Pacific. Buku ini khusus untuk
negara kontinental, termasuk Indonesia. Dalam
buku itu disebut bahwa kebahagiaan siswa salah satunya dikaitkan dengan guru.
Saya menyadari pola belajar kesukaan saya tidak identik dengan pola mereka.
Mungkin, akan terjadi penurunan kualitas pembelajaran. Namun, penelitian
membuktikan bahwa anak-anak belajar dan berkembang secara alamiah. Secara
empiris, inovator pendidikan asal India, Sugata Mitra, pernah membuat
eksperimen yang dahsyat. Satu kelompok siswa dari desa terpencil yang tak
tahu berbahasa Inggris dibuat sebagai obyek penelitian. Kelompok kontrolnya
dari sekolah kaya di kota besar. Kedua
kelompok tersebut mendapat intervensi yang berbeda untuk mencapai sasaran
yang sama: penguasaan materi bioteknologi. Anak-anak di kota besar mendapat
intervensi berupa pengajaran konvensional dengan fasilitas lengkap dan
dipandu guru profesional. Sementara itu, anak-anak di desa mendapat
intervensi “lubang dalam tembok” dengan teknis sebuah komputer dimasukkan
dalam tembok yang dapat diakses anak-anak. Komputer yang digunakan bersama
itu berisi materi bioteknologi berbahasa Inggris. Sugata Mitra menyiapkan seorang
gadis desa untuk memberi semangat pada anak-anak. Setelah
waktu eksperimen selesai, kedua kelompok tersebut diuji. Kesimpulannya
sungguh mengesankan: tidak ada perbedaan signifikan rata-rata nilai kedua
kelompok anak tersebut. Padahal kelompok anak desa menghadapi tantangan
belajar berganda. Mereka tidak bisa bahasa Inggris dan tidak dipandu guru
profesional. Dari penelitian itu terbukti bahwa anak belajar dengan caranya
sendiri, tentu dengan satu syarat utama, yaitu selama akses belajar masih
ada. Guru dan fasilitas nyata hanyalah faktor X. Tiba-tiba
saya teringat pada seorang siswa akselerasi: lebih cepat tamat dari SD, SMP,
dan SMA. Namun, pada akhirnya juga, siswa akselerasi dan konvensional tak
menunjukkan kualitas yang jauh berbeda di masa tua. Saya
juga membandingkan kisah hidup saya yang bersekolah tanpa bimbel karena
melulu ke ladang setiap hari, dengan istri saya yang bersekolah berasrama
sejak SMP dengan kesehariannya yang selalu belajar. Namun, saya merasa bahwa
perbedaan kualitas akademik kami tak jauh berbeda di ujungnya. Karena itu,
saya berpikiran positif bahwa setiap siswa saat ini punya "lubang dalam
tembok" masing-masing. Memang,
jujur saja, saya menaruh curiga bahwa siswa akan lupa belajar jika selalu
bermain gawai. Tetapi, saya kemudian tersadar: di mana letak bahagianya siswa
jika gawai selalu digunakan untuk belajar dan belajar? Di mana letak
kebebasan siswa jika kita mengajar mereka dengan gaya kesukaan kita seakan
mereka hanya bisa belajar dengan cara kita? Karena
itu, pada tahun ajaran baru ini, saya membuat sebuah keputusan aman:
selang-seling dengan gaya kesukaan saya serta gaya kesukaan mereka. Gaya
tatap-muka maya dengan berbagi layar berisi buku dan papan digital hanya saya
buat di awal bab pembelajaran. Sebelum
hal itu saya terapkan, saya tentu saja sudah minta izin kepada mereka.
Intinya, saya sedang merevolusi pemikiran saya sebagai guru bahwa ketika
siswa asyik dengan gawai, bukan berarti mereka tidak sedang belajar. Mereka
justru sedang bermain dengan "lubang dalam tembok" mereka sendiri.
Kesadaran itu bermula ketika saya membaca, sebagaimana dikutip dari penyataan
Plato, bahwa Socrates sebagai simbol filosofi unggul masa silam pernah juga
khawatir dengan budaya kertas yang dipikirnya sebagai muasal dari kedangkalan
berpikir di masa depan. Tidak boleh skeptis "Karena
simbol menggantikan ingatan, tulisan mengancam akan membuat kita menjadi
pemikir dangkal sehingga kita tidak bisa mencapai kedalaman intelektual yang
akan mengantarkan kita pada pengetahuan dan kebahagiaan sejati,"
demikian kata Socrates dalam kisahan Plato. Terbukti sudah bahwa budaya
kertas tidak melambatkan pikiran. Kita menjadi saksi betapa peradaban semakin
canggih dengan budaya kertas. Senada dengan itulah saya pikir bahwa
menggunakan teknologi saat ini bukan berarti akan melambatkan, apalagi
memampatkan pikiran generasi pemakainya. Setiap
generasi akan menciptakan kearifan zaman mereka sendiri, kurang lebih begitu
Iqbal Aji Daryono menulis. Karena itu, pada masa pembelajaran jarak jauh
(PJJ) ini, mari kita para guru untuk tidak terlalu mengintervensi cara
belajar siswa. Mari kita data cara mereka lalu kita minta persetujuan dari
mereka. Tentu
saja kita tak harus menyetujui semua gaya mereka karena guru juga harus tetap
punya otoritas dan wibawa untuk sampai pada tujuan pembelajaran. Dalam hal
ini, mari dibuat selang-seling sebagai titik temu cara kita mengajar dan cara
siswa belajar. Mungkin, dengan cara seperti ini, siswa kita akan kasmaran
belajar di masa pandemi alih-alih tertekan. Yang
lebih penting, meski tetap harus kritis, kita tidak boleh skeptis dengan
tindakan digital siswa kita. Sebab, tindakan digital itu juga bagian dari
pembelajaran melek literasi digital. OECD sudah membuat rekomendasi bahwa
agar berhasil sebagai masyarakat dunia pada abad ke-21, salah satunya kita
harus mampu menggunakan pelbagai alat, tentu saja termasuk teknologi.
Lagipula, seperti dikutip dari Ratih D Putri, menurut UNESCO, literasi
digital berarti kemampuan individu untuk mengakses, memahami, membuat,
mengomunikasikan, dan mengevalusi informasi melalui teknologi digital untuk
bisa diterapkan dalam kehidupan (Kompas, 27/7/2021). Ayo,
mari membuat siswa kasmaran belajar, bahkan di tengah pandemi saat ini…. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar