Senin, 30 Agustus 2021

 

Kekaisaran Organisasional China

Seno Gumira Ajidarma ;  Wartawan

KOMPAS, 23 Agustus 2021

 

 

                                                           

Seberapa jauh “abad penghinaan” yang diderita China mendorong kebijakan politik internasionalnya? Seratus tahun Partai Komunis China bermakna kelanjutan kekaisaran di masa modern, meski bukan kekaisaran individual, melainkan organisasional.

 

Michael Spavor, satu dari “dua Michael” dalam sengketa China dan Kanada, akhirnya dihukum 11 tahun penjara, dengan tuduhan melakukan kegiatan spionase, seperti diberitakan BBC News pada 11 Agustus 2021. Sebelumnya, bersama Michael Kovrig, keduanya telah ditahan tanpa alasan yang jelas, selain—meski tidak diakui—bahwa Kanada sebelumnya telah menahan warga China, perempuan pebisnis Meng Wanzhou, sejak 2018.

 

Alasan pemerintah Kanada cukup jelas: Meng, pejabat finansial Huawei, yang kebetulan anak pendirinya, dituduh telah menggunakan anak perusahaan Huawei, Skycom, untuk menghindari sanksi Amerika Serikat kepada Iran antara 2009 dan 2014. Kanada dan Amerika Serikat terikat oleh perjanjian ekstradisi. Berbeda dengan nasib “dua Michael” di Beijing, Meng ditahan di rumah yang nyaman di Vancouver, meskipun tetap terdapat tag elektronik pada tubuhnya. Menurut The Economist edisi 8 Maret, Meng masih bisa menerima tamu dan pergi shopping.

 

Michael Korvig pun dituduh melakukan kegiatan spionase. Para analis menduga, ini merupakan usaha retaliasi pihak China agar terjadi pertukaran. Namun pihak Kanada tampaknya tidak bersedia dipojokkan ke dalam permainan tukar sandera. Kepada dubes Kanada di Bejing, Michael Korvig yang mantan diplomat pernah minta dibawakan buku Franz Kafka (1883-1924) yang kisahnya mirip nasib mereka, Der Process (The Trial). Mungkin untuk memahami pengalaman kafkaesque, ketika memasuki labirin peradilan yang absurd alias tidak masuk akal.

 

Absurditas adalah sahih dalam penggambaran seni dan susastra, tetapi tidak dapat tetap dibiarkan absurd dalam kehidupan praktis, yang kini seolah-olah mewarnai perilaku politik internasional China.

 

Mengatasi sengketa hukum laut internasional di Laut China Selatan misalnya, selain tidak melayani berbagai kesepakatan dan perjanjian dengan negara-negara ASEAN, China mengajukan argumen ad nauseam (“sudah diajukan berkali-kali sampai bosan”) perkara “tradisi” pencarian ikan seluas sembilan garis putus (nine-dash lines) di lepas pantai negara-negara tersebut, ditambah Taiwan. Dengan klaim historis yang membentang 5.000 tahun, dalam hak pelayaran dan pencarian ikan di perairan bebas (The Economist, 26 Maret 2016), kesan absurd dalam cara berpikirnya tidak bisa dihindari.

 

Data lain, China menolak sama sekali kritik negara-negara G7 dalam pertemuan mereka di Inggris, yang mengecam pelanggaran HAM di Xinjiang dan Hong Kong. Bahkan mengirim 28 pesawat tempur ke wilayah udara Taiwan, justru setelah diimbau untuk menciptakan perdamaian di Selat Taiwan dalam pertemuan G7 itu juga. Dalam The Economist 19 Juni 2021 itu, juga diberitakan bahwa undang-undang untuk membalas sanksi (sekali lagi: membalas sanksi!) dari negara-negara lain sudah diterbitkan.

 

Tentu jangan dilupakan tanggapan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan 14 negara, dalam investigasi asal pandemi di Wuhan, seperti diberitakan CNN pada 31 Maret 2021, bahwa keterbukaan China jauh dari harapan.

 

Pertanyaannya, adakah suatu sumber yang dapat menjelaskan, bahwa setidaknya bagi China sendiri semua ini dapat diterima? Apakah kiranya yang bisa menjelaskan, bahwa yang absurd bagi dunia di luar China bisa diterima oleh bangsa China sendiri? Apakah yang bisa diperbincangkan dari budaya politiknya?

 

Kekaisaran dalam reproduksi

 

Dengan pengertian budaya politik, jika diberlangsungkan penelusuran konstruksi budaya kekuasaan, sampai 5.000 tahun ke belakang, bukan dalam kerincian historis, melainkan dalam pengenalan konsep kekuasaan, akan terlacak betapa Partai Komunis China (PKC) yang pada 2021 memasuki tahun ke-100 adalah reproduksi budaya politik kekaisaran tradisional di masa modern. Kesinambungan historis dan budaya akan menunjukkan, bahwa keterlibatan PKC dalam era reformasi dan kebijakan pintu-terbuka sepeninggal Mao Zedong pada 1976, adalah juga reproduksi dari budaya ini (Zheng, 2010: 25).

 

Budaya dan lingkungan kelembagaan mempengaruhi identitas partai, dan itulah PKC di dalam budaya politik China. Seperti juga kaisar dalam dinasti China, yang oleh diri sendiri maupun khalayaknya dianggap satu-satunya penguasa yang sah sebagai pribadi, PKC juga merasa diri mereka satu-satunya partai sebagai organisasi yang berkuasa—dan begitu pula yang dirasakan organisasi lain-lainnya di China.

 

Inilah yang disebut kekaisaran organisasional, bahwa PKC adalah produk transformasi atau pemrograman kembali budaya politik kekaisaran China. Dalam proses, terbentuklah kombinasi kekaisaran tradisional dengan elemen modern, bahkan juga elemen demokrasi.

 

Demokrasi seperti apa? Istilah “partai politik” sendiri adalah konsep impor setelah China memasuki abad modern. Namun, walau PKC menghadirkan dirinya sebagai partai Leninis, adalah keliru menyamakannya begitu saja dengan partai bersistem Leninis di negeri-negeri komunis Eropa dalam sejarah. Pemikiran seperti ini telah mengecoh banyak analis, dengan pertimbangan atas keruntuhannya, menyusul nasib partai komunis Uni Soviet, ketika berlangsung peristiwa Tien An Men pada 1989.

 

Sementara mempertahankan struktur Leninis, PKC telah beradaptasi terhadap perubahan kondisi sosio-ekonomi, dengan memperkenalkan lembaga-lembaga negara modern, bahkan menggabungkan elemen demokratis ke dalam struktur politik yang ada. Betapapun perkembangan politik menunjukkan, meski berlangsung perubahan sosio-ekonomi yang drastis, China tidak akan perlu bergerak menuju pluralisme dan demokrasi seperti dipahami dunia Barat.

 

Proses terbentuknya kekaisaran organisasional dimulai dengan jatuhnya Dinasti Qing pada 1912, ketika banyak kekuatan politik gagal mengembalikan kekaisaran. Sebelum PKC, Partai Nasional atau Kuomintang telah berusaha membangun kekaisaran organisasional, yang mempunyai ciri keterpusatan tingkat tinggi.

 

Setelah sempat mencoba sistem multi-partai a la Barat dan gagal, Kuomintang mengimpor sistem Leninis, dan menata lembaga yang memberi jalan para pemimpin partai mengembangkan kediktatoran personal. Masalahnya, seperti juga kemudian PKC di bawah Mao Zedong, yang berhasil memojokkan kaum nasionalis ke Pulau Taiwan, ketika pemimpin partai kuat, partainya sendiri menjadi lemah.

 

Posisi Mao Zedong sebagai kaisar modern, menjadi penanda budaya politik tradisional dari kuasa imperial, sebagai pola pikir yang sangat melembaga dalam kuasa politik. Dengan segala perubahan politik pada era pasca-Mao, struktur seperti ini tetap utuh. Nilai-nilai budaya tradisional bukan saja memungkinkan para pemimpin partai membangun partai yang sangat terpusat, yang juga berarti negara nan sangat terpusat, tetapi juga identitas politik baru bagi khalayak.

 

Kekaisaran organisasional telah berhasil mencapai pembebasan nasional, memburu kemerdekaan dan kedaulatan nasional, dan memimpin perkembangan sosio-ekonomi—dan bersama dengan itu mengubah lingkungan yang mempertahankannya. Maka partai pun terlibat dalam transformasinya sendiri, yakni reproduksi kuasa imperial, dominasi atas negara, maupun dominasi negara-partai atas khalayak. Inilah yang terjadi dengan PKC semenjak reformasi dan kebijakan pintu terbuka.

 

Dalam reformasi negara-partai pasca-Mao secara top down ini, memang tidak ada usaha mengganti sosialisme dengan kapitalisme, maupun kediktatoran partai tunggal dengan demokrasi liberal. Tujuannya adalah membersihkan, memperbaiki, dan membangun kembali koneksi yang menghubungkan kuasa tersebar di antara khalayak dengan kuasa terpusatnya negara, yang telah menjadi berkarat akibat Revolusi Kebudayaan (1966-1976).

 

Betapapun, reproduksi kekaisaran organisasional tidaklah dianggap berada dalam kontradiksi dengan kapitalisme dan demokrasi. Dalam kenyataannya, selama proses reproduksi justru PKC harus mengakomodasi kapitalisme dan elemen-elemen demokrasi, jika bukan demokrasi liberal—sejauh membantu perawatan dominasi PKC (ibid., 20, 54, 61, 80).

 

Partai lebih besar dari negara

 

Hubungan antara partai dan negara adalah kunci pemahaman politik China, yakni bahwa terdapat hubungan antara partai dan negara di satu pihak serta negara-partai dan khalayak di pihak lain, tempat berlangsungnya kontinuitas antara kekaisaran tradisional dan kekaisaran organisasional. Sebagai perumpamaan, jika dalam dinasti-dinasti tradisional, kaisar menjadi pemilik negeri yang ditundukkannya; dalam China kontemporer, PKC adalah pemilik negeri karena partai mendirikan Republik Rakyat China (RRC) pada 1949.

 

Apabila kepemilikan berada di tangan kaisar, tidak berarti dirinya mesti mengelola negeri sendirian, karena dapat mendelegasikan kuasa kepada lembaga administrasi untuk mengelolanya. Hubungan yang mirip berlangsung antara partai dan negara dalam China kontemporer. Apabila PKC adalah pemilik ‘hak-kepemilikan’ dari RRC, pemerintah bisa dianggap sebagai pengelola negara.

 

Dalam China tradisional, kaisar dapat dipinggirkan dan dilemahkan oleh pemerintah, bahkan lebih sering kekuasaannya simbolik, karena kekuasaan yang nyata berada di tangan administrasi. Sebagai kaisar, PKC lebih mampu daripada setiap kaisar dalam sejarah China untuk mendominasi pemerintahan. Jika ungkapan ‘segalanya yang berada di bawah langit menjadi milik kaisar’, berlaku bagi dinasti-dinasti China, kini berlaku ‘segalanya yang berada di bawah langit menjadi milik PKC’.

 

Pandangan heuristik ini, tidak sekadar diterima sebagai alamiah dan logis, tetapi merupakan kondisi yang selalu diperjuangkan PKC, sebagai kekaisaran organisasional. Perkembangan ekonomi yang berlangsung sangat cepat, membuat PKC harus selalu menata kembali hubungan dengan negara, agar tetap tersesuaikan dengan lingkungan sosio-ekonomi baru. Hubungan partai dan negara ini masih sangat menentukan berhasilnya transisi China menuju pemerintahan yang modern dan efisien.

 

Dengan memudarnya kepemimpinan ‘orang kuat’ semasa Mao, yang berarti sentralisasi di tangan partai, dan lebih cocok untuk situasi perang dan revolusi, Deng Xiaoping merombak sistem organisasi kerja yang membuat kuasa tersebar berdasarkan fungsi dan yurisdiksi. Dalam sistem ini, komite sentral dan komite lokal partai tidak lagi mengarahkan dan mengambil keputusan, sehingga bukan saja pemerintah terkuatkan, tetapi juga partai yang kini terbebaskan dari manajemen harian (ibid., 103-4).

 

Menurut Deng, konsentrasi kepada kerja pemikiran politik, organisasional, dan supervisi, akan memperbaiki dan memperkuat kepemimpinan partai (Deng, 2002: 163-4). Terpisahnya partai dan negara yang digarisbawahi Deng, bagaikan representasi demokrasi modern Barat, tetapi superiotas partai cukup menjadikannya representasi demokrasi modern China—yang sungguh tidak sama pemahaman demokrasinya, sehingga gerakan pro-demokrasi 1989 tidak bisa diterima.

 

Hegemonisasi partai

 

Seperti dapat diperiksa dari kedudukan kekuatan-kekuatan sosial dalam masa kejayaan ekonomi hari ini, meski sektor swasta berperan penting, untuk tidak mengatakannya sangat penting sejak 1980-an, baru tahun 2000 partai meluncurkan konsep ‘tiga perwakilan’ (sange daibiao). Maksudnya bahwa PKC adalah representasi ‘cara termaju dari (1) kekuatan produktif, (2) budaya, dan (3) kepentingan mayoritas penduduk’.

 

Konsep ini dianggap sebagai afirmasi sektor ekonomi non-negara oleh PKC, dan merupakan penanda PKC mempertimbangkan bahwa kepentingan kelas dan kelompok sosial yang baru tumbuh dapat diwakili. Di satu sisi, partai mengembangkan cara baru dalam mengelola negeri; di sisi lain dengan cara ini partai dapat mempertahankan dominasinya atas peningkatan keberagaman khalayak—dalam arti berada di atas semua kelompok sosial, dan melakukan koordinasi atas perbedaan maupun pertentangan kepentingannya. PKC pun menjadi sahih sebagai perwakilan kepentingan kekuatan sosial yang baru tumbuh, dan ‘mengalokasikan’ sebidang ruang bagi mereka di dalam regim kekuasaan (Zheng, op.cit., 59, 92).

 

Simulasi dalam analisis yang dilakukan peneliti Zheng Yongnian (2010, 195-8) memperlihatkan bagaimana terdapat sejumlah skenario pembagian kekuasaan antara kelompok teknokrat, kapitalis, serta buruh dan petani, tentunya di dalam ruang yang diberikan partai. Namun hasil pembagian yang mana pun, terdapat di dalam peta politik Mao Zedong sebagai “kelompok-kelompok di luar partai yang berkuasa”, bukan “faksi-faksi di dalam partai”. Dalam anggapan bahwa partailah yang mendirikan negara, logika hegemonisasi PKC ini cukup jelas. Demokrasi di dalam kekaisaran organisasional tidak diberi jalan mengancam kekaisaran itu sendiri.

 

Keseimbangan pandangan

 

Dengan latar budaya politik yang boleh ditarik 5.000 tahun ke belakang, dapatkah dipinjam sebuah sudut pandang China dalam politik internasional? Apakah dimungkinkan betapa yang tampak absurd dalam pandangan non-China, terandaikan wajar dan sudah semestinya dalam konteks China?

 

Di Indonesia orang boleh teringat tahun 1292, ketika Khubilai Khan, kaisar keturunan Mongol yang sedang menguasai China, mengirimkan armada multirasial (Mongol, China, Uighur) sebanyak 20.000 orang dalam 1.000 kapal berawak China dan Muslim ke Jawa, untuk menghukum Kertanegara dari Singasari yang “menulisi” wajah Meng Chi dengan amanat menolak tunduk pada 1289 (Clements, 2010: 215-6). Kata “menghukum” ini menjelaskan cara pandang terhadap diri sendiri, mewarisi ungkapan ‘segalanya yang berada di bawah langit menjadi milik kaisar’ dengan khusyuk.

 

Sudut pandang China terhadap dunia ini terbalik-balik ketika berbenturan dengan superioritas Barat. Telah dikenal terdapatnya “penghinaan Barat” selama 100 tahun (tepatnya 109 tahun—dihitung dari penguasaan Canton pada 1840 oleh Inggris pada Perang Candu I). Dalam Perang Candu II, Istana Musim Panas di Beijing pada Juni 1860 dibakar oleh tentara Inggris, menyusul gagalnya negosiasi perdagangan candu dengan Dinasti Qing. Dalam peringatan 100 Tahun PKC, ini menjadi “150 tahun penghinaan”.

 

Pembakaran istana yang dikenal sebagai Yuanmingyuan ini sebetulnya secara militer tidak perlu, selain kepentingan untuk menghina dan mempermalukan. Hanya setelah Mao berdiri di atas Gerbang Kedamaian Langit di Beijing, memproklamasikan Republik Rakyat China pada 1 Oktober 1949, maka “abad penghinaan” itu dianggap berakhir. Latar belakang historis ini digenjot para pemimpin China dari saat ke saat, sebagai mitos yang mesti dilampaui oleh realitas kejayaan China masa kini (Schiavenza, 2013).

 

Pada 1 Juli 2021, dalam perayaan 100 tahun PKC di Lapangan Tien An Men, pemimpin China hari ini, Xi Jinping, menyatakan bahwa pihak asing yang mencoba merundung China “kepalanya akan terbentur Tembok Besar baja yang terbuat dari darah dan daging 1,4 milyar rakyat China”. The Economist edisi 3 Juli 2021 mencatat, setelah 40 tahun kemajuan ekonomi, teknologi, dan militer, PKC siap mendulang kredit sebagai sumber kebijakan nan sangat dibutuhkan, yang telah memandu kebangkitan China.

 

Namun dari sudut pandang reformasi politik China pasca-Mao sendiri, kecenderungan (terlalu) menonjolnya Xi Jinpin seharusnya menjadi masalah. Reproduksi kekaisaran dalam perubahan lingkungan sosio-ekonomi terkini, dalam mekanisme PKC sendiri mestilah menjadi kekaisaran organisasional. Dalam konsep Gramsci yang dikutip Zheng, “Pangeran modern sebagai pangeran-mitos tidak bisa merupakan pribadi nyata, individu yang konkret, (melainkan) suatu organisme, elemen kompleks dari khalayak yang kehendak kolektifnya telah dikenali, dan meyakinkan dirinya dalam bentuk konkret … suatu partai politik.” (Zheng, op.cit., 63)

 

Kekaisaran yang mana pun, individual atau organisasional, dalam tiga dekade telah memperlihatkan identitas politik yang China-sentris. Menurut Shi-xu, seorang intelektual-organik (intelektual yang berpihak) dari Universitas Zhejiang, “… model-model komunikasi, metode analisis, kriteria kritik, isyu penting, dan lain sebagainya mengalir dari pusat-pusat metropolitan Amerika/Barat ke seluruh dunia; tetapi sekarang semakin meningkat gema dan pembergandaannya secara tak-kritis, dalam pelampiasan dan usaha melebihi dari (dunia) akademik non-Barat.” (Xu, 2014: 12).

 

Kiranya terbaca sentimen nasionalisme dalam wacana konflik. Ini juga berarti absurditas kebijakan politik internasional China, hanya bisa terpecahkan dan diterima, jika sudut pandang China digunakan sepenuhnya—sebelum kembali ke sudut pandang pengamatan yang mana pun jua. Tanpa melakukannya, pertimbangan seperti apapun tidak akan berimbang. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/23/kekaisaran-organisasional-china/

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar