Taliban
dan Perempuan Abdul Kohar ; Dewan Redaksi Media Group |
MEDIA INDONESIA,
21 Agustus 2021
SAYA terkejut,
ada sejumlah tokoh di Republik ini yang menyebut Taliban di Afghanistan akan
baik-baik saja. Sang tokoh yakin, Taliban akan berubah. Bakal menjalankan
pemerintahan secara moderat dan 'menghargai hak-hak kaum perempuan'. Ada pula yang
secara terbuka seperti bersyukur Taliban bisa menguasai sekujur Afghanistan,
terutama Istana Kepresidenan di Kabul. Bersyukur sembari menyeru kepada siapa
pun untuk menyudahi Talibanphobia, juga menyetop produksi informasi hoaks
tentang kelompok yang pernah berkuasa di negeri berpenduduk 32 juta itu pada
1996 hingga 2001. Akan tetapi,
saya termasuk yang skeptis Taliban bisa berubah sikap dalam sekejap. Betul
bahwa juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid telah menyebutkan bahwa mereka
akan menghormati dan melindungi hak perempuan 'sesuai tuntunan Islam'.
Zabihullah mengatakan mereka menginginkan ada perempuan masuk di
pemerintahan. "Taliban mendorong perempuan kembali bekerja dan anak
perempuan kembali ke sekolah," kata Zabihullah dalam penampilan perdananya
di muka umum. Namun, saya
menduga itu bagian dari strategi awal demi mendapatkan pengakuan
internasional, juga strategi untuk memperoleh kembali dana cadangan devisa
negara saat dipimpin Ashraf Ghani. Sebelumnya, Kepala Bank Sentral
Afghanistan Ajmal Ahmady mengatakan Amerika telah memutus akses ke asetnya,
sekitar US$7 miliar (Rp101 triliun), yang di antaranya disimpan di Federal
Reserve Amerika. Embel-embel
'sesuai tuntunan Islam' juga mengundang keraguan karena tuntunan Islam yang
dimaksud boleh jadi tuntunan Islam menurut tafsir Taliban. Taliban, atau
'murid' dalam bahasa Pashto, pertama kali muncul pada awal 1990-an di utara
Pakistan setelah pasukan Uni Soviet mundur dari Afghanistan. Gerakan ini
mulanya didominasi oleh orang-orang Pashtun dan pertama kali muncul di
pesantren-pesantren--kebanyakan dibiayai oleh Arab Saudi--yang biasanya
menganut aliran Sunni garis keras. Janji Taliban
di wilayah-wilayah Pashtun, yang tersebar di Pakistan dan Afghanistan, ialah
untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan berdasarkan syariat Islam jika
mereka berkuasa. Syariat Islam yang mereka usung, tak lain dan tak bukan,
adalah syariat yang ketat dengan landasan 'pemurnian agama' yang mengacu pada
tekstualisme agama. Begitu mereka
berhasil menggulingkan pemerintahan Burhanuddin Rabbani (pemimpin Mujahidin
Afghanistan saat perang melawan Uni Soviet), cara mereka memerintah pun kerap
menindas kaum perempuan. Taliban menjalankan hukuman yang sejalan dengan
penafsiran mereka akan hukum syariah, seperti eksekusi di depan umum kepada
terdakwa pembunuhan dan pezina serta amputasi bagi mereka yang diputuskan
bersalah karena pencurian. Para pria
diharuskan menumbuhkan jenggot, sedangkan para perempuan diwajibkan
mengenakan burkak yang menutup seluruh tubuh. Kaum perempuan yang melanggar
aturan tersebut harus siap dirajam hingga meninggal. Taliban juga melarang
televisi, musik, dan bioskop, serta tidak memperbolehkan anak perempuan di
atas 10 tahun untuk sekolah. Karena itu, mereka dituduh melakukan berbagai
pelanggaran hak asasi manusia dan budaya. Salah satu
yang paling terkenal ialah pada 2001 ketika Taliban melanjutkan penghancuran
patung Buddha Bamiyan yang terkenal di Afghanistan tengah, meski muncul
kemarahan internasional. Selain itu,
serangan Taliban di Pakistan yang paling terkenal dan dikecam dunia
internasional terjadi pada Oktober 2012, ketika seorang anak perempuan
bernama Malala Yousafzai ditembak dalam perjalanan sepulang sekolah di Kota
Mingora. Serangan militer besar-besaran dua tahun kemudian, menyusul pembantaian
di sekolah Peshawar, mengurangi pengaruh kelompok ini di Pakistan. Kini, banyak
yang paham mengapa para perempuan di Afghanistan amat ketakutan begitu
Taliban kembali berkuasa. Memori kolektif traumatik mereka sepanjang
1996-2001 saat Taliban memerintah dengan menindas perempuan atas nama
'pemurnian ajaran agama' masih sangat melekat kuat. Itulah mengapa mereka
tidak begitu saja percaya bahwa janji melindungi perempuan bakal ditunaikan
seterusnya. Indonesia
jelas berbeda dengan Afghanistan. Indonesia memang sangat majemuk, tapi
konsensus Bhinneka Tunggal Ika tetap dijaga hingga kini. Tidak seperti
Afghanistan yang kerap terjebak dalam tribalisme, kesukuan yang akut. Umat
Islam Indonesia yang lebih dari 235 juta jiwa lebih memilih berislam secara
jalan tengah, wasatiah, Islam moderat. Meski
demikian, ancaman radikalisme juga terus muncul setiap saat. Benihnya
intoleransi. Ujung-ujungnya aksi kekerasan. Maka, mestinya kita tidak memberi
angin pada intoleransi. Mestinya kita akhiri mengglorifikasi kemenangan
Taliban di Afghanistan, alih-alih menganggapnya biasa-biasa saja, bahkan
teramat yakin mereka bisa berubah arah dalam sekejap. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2231-taliban-dan-perempuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar