SBY
Melukis untuk AHY Saur M Hutabarat ; Dewan Redaksi Media Group |
MEDIA INDONESIA,
27 Agustus 2021
SEBUAH foto
SBY dan karya lukisannya beredar di medsos. Ia mengenakan kaus warna hitam,
berbaret hitam, dan berdiri di dekat lukisan di kanvas besar. Yang dilukis
laut biru berombak gulung-menggulung ke pantai. Kiranya realisme itu
dikerjakan di kediamannya di Cikeas. Ada yang
berseloroh perihal baret yang dikenakan SBY, pertanda diri seorang seniman.
Tino Sidin juga berbaret. Di masa Orde Baru, ia mengajak anak-anak gemar
menggambar melalui TVRI. Seraya menunjukkan karya seorang anak ke kamera, ia
akan berucap yang menyenangkan. "Bagus, bagus," suara Pak Tino
memberi apresiasi, menyemangati anak bangsa. Mantan
Presiden AS George W Bush juga melukis setelah pensiun. “Hidup ini harus
ditantang,” katanya. "Saya ditantang di lapangan golf. Saya ditantang untuk
tetap fit. Saya ditantang dengan lukisan-lukisan saya." Bush melukis
binatang kesayangannya, potret dirinya, dan tokoh-tokoh dari berbagai negara
yang bertemu dengannya saat ia menjabat presiden. Bush melukis terinspirasi
Winston Churchill, tokoh yang dikaguminya. Winston
Churchill melukis setelah memperhatikan Goonie, istri adiknya melukis. Itu
terjadi di masa liburan keluarga (1915). Churchill ketika itu berusia 41
tahun. Hobi melukis itu berlanjut sampai negarawan Inggris itu lanjut usia.
Pada 1998, 105 lukisannya dipamerkan di London. Dalam dua pekan dikunjungi 12
ribu orang. SBY intens
melukis di masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Salah
satu karyanya ialah batu karang dan laut. Ini kado khusus untuk ulang tahun
AHY (lahir 10 Agustus 1978). Lukisan itu diberi judul panjang: Kokoh Laksana
Batu Karang, Lentur Bagaikan Samudera. Terasa klise, tetapi rupanya SBY
merasa penting memberi pesan yang sangat eksplisit baik dalam gambar berupa
batu karang di tepi laut maupun berupa judul lukisan yang tak memerlukan
tafsir. Kiranya inilah pesan dari ayah untuk putranya, pewaris takhta Ketua
Umum Partai Demokrat. Kepemimpinan
AHY sempat diguncang dari dalam, melibatkan Moeldoko, orang luar partai yang
berkedudukan sebagai Kepala Staf Presiden. Gagal. Lukisan kado ulang tahun
itu sepertinya semacam nasihat bagi AHY bahwa memimpin partai politik perlu
sebuah paradoks, 'kukuh dan lentur'. Dari sisi
personal, menasihati anak bukan urusan gampang, terlebih untuk anak yang
telah punya anak. Ini perkara banyak orangtua. Terkadang orangtua kudu tega
sesekali anak yang dewasa itu perlu terbentur kenyataan betapa kerasnya
kehidupan. Mengalami sendiri ialah guru terbaik. Dari sisi
kepublikan, di usia 43 tahun, AHY merupakan ketua umum termuda partai politik
yang punya kursi DPR. Ada yang menilai dirinya menjadi ketua umum akibat
'kecelakaan sejarah', yakni mundur dari TNI, gagal menjadi Gubernur Jakarta.
Ada juga yang menilai jabatan itu 'peluang keberuntungan sejarah ke masa
depan'. Ujian kepublikan pertama baginya bukan guncangan kongres luar biasa
yang gagal itu, melainkan seberapa besar rakyat memercayai partai yang
dipimpinnya pada Pemilu 2024. Barangkali
tidak pas benar membahasakan sebagai 'kecelakaan' atau 'keberuntungan'
sejarah karena sejarah tak berpihak terhadap nasib apakah dia 'anak Pak
Harto', atau 'anak Megawati', atau 'anak SBY', atau kelak 'anak Jokowi'.
Semua itu bukan anak 'seseorang', melainkan anak 'seorang presiden', dengan
goresan nasibnya masing-masing. Anak Pak Harto gagal bikin partai. Jokowi
rasanya tak berselera bikin partai sehingga Gibran kiranya tak punya warisan
menjadi ketua umum partai. Mantan Presiden Megawati dapat mewariskan
kedudukan ketua umum partainya, seperti halnya SBY. Bedanya ialah akibat
kecelakaan sejarah, SBY sudah duluan melakukannya. Kiranya orang
perlu melihat genealogi kekuasaan, bagaimana gairah mantan presiden untuk
menjadikan anaknya, suatu hari, juga presiden. Dia bisa bernama Puan yang
balihonya ada di mana-mana, bisa pula bernama AHY. Sekalipun bukan pendiri
partai politik, trajektori sang ayah dari Wali Kota Surakarta via Gubernur
Jakarta menjadi Presiden RI -- bukanlah perjalanan yang tak boleh
diimajinasikan atau diimpikan oleh yang bernama Gibran. Apa yang
dimuliakan demokrasi? Persamaan hak? Suara rakyat suara Tuhan? Jawabnya
barangkali semacam darah biru baru, semula hasil samping sirkulasi elite,
kemudian menjadi hasil utama demokrasi kita. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2236-sby-melukis-untuk-ahy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar