Kritik
dan Gugatan kepada Pemerintah Hendry Julian Noor ; Dosen Departemen Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum UGM |
KOMPAS, 25 Agustus 2021
Kehidupan
berdemokrasi di Indonesia tidaklah dapat dikatakan sebagai sesuatu yang telah
teraplikasikan dalam waktu lama jika melihat usia Indonesia. Beriringan
dengan perkembangan media, penyaluran pendapat setiap orang kini telah
disadari sebagai hak asasi. Undang-Undang
Dasar 1945 melindungi hak asasi itu melalui beberapa pasal, antara lain Pasal
28, Pasal 28E Ayat (3), dan Pasal 28F (meski tetap dibatasi Pasal 28J, yaitu
penghormatan HAM orang lain dan kewajiban tunduk kepada pembatasan dengan
UU). Media
sosial membuat setiap orang dapat dengan mudah mengemukakan pendapatnya,
termasuk terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah. Kritik terhadap
pemerintah, dalam bentuk apa pun, lisan, tulisan, dan/atau gambar, merupakan
hal yang lazim dan pencerminan kehidupan yang demokratis. Meskipun
demikian, sebagai bangsa yang menganut nilai ketimuran, kesopanan dan
kesusilaan sebagai nilai yang hidup dalam masyarakat adalah sesuatu yang
seharusnya terlingkupi di dalamnya. Oleh
karena itu, hukum pidana Indonesia juga melindungi kehormatan setiap orang,
selain nyawa dan hartanya (Hiariej, 2016: 35). Nilai yang hidup dalam
masyarakat turut dipertimbangkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Hukum
melindungi hak untuk mengkritik selama substansinya bukan merupakan fitnah
dan disampaikan dengan cara yang tepat. ”Checks and balances” Menarik
mencermati kritik BEM UI terhadap Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu.
Presiden menanggapi dengan bijak dan menyatakan hal tersebut sebagai sesuatu
yang lazim dalam kehidupan berdemokrasi. Presiden bahkan berpesan agar pihak
universitas tidak menghalangi penyampaian ekspresi meski tetap harus
memperhatikan tata krama dan sopan santun. Dari
sini dapat dikatakan bahwa Presiden sangat memahami bahwa prinsip dalam
konsep negara yang beradab, kritik terhadap pengelolaan negara adalah salah
satu hal yang elementer sebagai bagian dari checks and balances. Dalam
konsep negara hukum, jangankan kritik, bahkan gugatan, terhadap pemerintah
diberikan wadah oleh hukum. Indonesia
memiliki peradilan administrasi, yang dinamakan Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN), dengan fungsi utama ”memeriksa” perbuatan pemerintah dalam
pengelolaan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan/atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik, sebagai ciri utama rechtsstaat yang dianut Indonesia. UU
Administrasi Pemerintahan bahkan semakin memperluas obyek gugatan PTUN, tak
hanya terhadap keputusan (tertulis), tetapi termasuk pula tindakan
administrasi pemerintahan (tindakan konkret). Sebagaimana
pendapat Fuke (1993: 10), bahwa negara (melalui pemerintah) terikat dengan
tanggung gugat negara, yaitu harus memberikan ganti rugi atas kerugian apa
pun yang dialami oleh warga negaranya. Pertanggungjawaban
tersebut adalah atas pengambilan keputusan administratif dan kegiatan
pemerintah yang melanggar hukum. Dengan kata lain, tanggung gugat itu dapat
dikenakan terhadap pemerintah, baik atas keputusannya maupun tindakannya. Hal
itu adalah untuk menjaga agar kewenangan pemerintah tersebut digunakan dalam
batas-batas kekuasaannya (intra vires) sehingga warga negara tak terlanggar
atas segala perbuatan pemerintah dan tetap terjaga hak-haknya (Wade, Forsyth,
1997: 41). Kurang cermat saja, pemerintah terbuka peluang untuk digugat. Sebagai
contoh, apabila terdapat suatu jalan yang keadaannya rusak, menjadi kewajiban
dari pemerintah untuk menempatkan tanda-tanda peringatan agar dapat diketahui
para pengguna jalan. Apabila
kewajiban itu tak dilakukan, dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap
asas kecermatan, yang memberikan konsekuensi terhadap pemerintah dapat
digugat ganti rugi apabila terjadi kecelakaan pada jalan tersebut (Muchsan,
1992: 80). Terlihat sederhana, tetapi sangat prinsipil. Mekanisme pengawasan Antinominya,
negara itu seharusnya sangatlah powerful dan berkuasa. Thomas Hobbes
berargumentasi. Pertama, negara harus kuat sehingga bisa memastikan atau
bahkan seperlunya memaksakan ketaatan anggota masyarakat terhadap
peraturan-peraturannya. Kedua,
negara harus menetapkan tatanan hukum yang kuat, dan setiap orang yang tak
menaati akan mendapatkan hukumannya. Kedua argumentasi itu dibangun dengan
tujuan agar masyarakat berada pada jalur yang benar dan tertib. Hobbes
menekankan pentingnya kekuasaan pada negara, agar warga tidak bertikai dalam
memperjuangkan kepentingan mereka. (Sætra, 2014: 177; Hutchinson, Schumacher,
1995: 247). Pandangan
tersebut diperkuat oleh Fukuyama (2005: xii), agar menjamin bahwa hukum dan
kebijakan yang dilahirkan oleh negara tersebut ditaati oleh masyarakat. Perlu
dipahami bahwa Hobbes hidup pada era 1588-1679 M, di mana kekuasaan raja
sangat kuat dan bahkan cenderung absolut. Oleh karena itu, meskipun
pendapatnya tetap penting untuk memperkuat kewenangan negara dalam
menciptakan ketertiban, harus disesuaikan dengan pola kehidupan negara yang
beradab. Hukum telah menyediakan mekanisme ataupun hak-hak bagi warga negara,
baik berupa kritik maupun bahkan gugatan terhadap pemerintah sebagai
pengelola negara. Sebagai
hak, pilihan ada pemilik haknya. Jadi, jika ada pengelolaan negara yang
dianggap melanggar hukum dan merugikan masyarakat, pemilik hak berhak untuk
mengkritik dan bahkan menggugat. Sebagai
contoh perbandingan, Pemerintah Italia pernah digugat oleh warganya karena
dianggap tidak baik menangani pandemi saat ini (Kompas.com, 24/12/2020),
padahal secara prinsip adalah salus populi (est) suprema lex atau salus
populi suprema lex esto (Garner, 2009: 1870), bahwa perlindungan masyarakat
merupakan hukum tertinggi. Dalam
negara hukum dan negara demokrasi, bagaimanapun harus kuatnya suatu negara,
dalam konsep hukum administrasi, kritik dan bahkan gugatan adalah termasuk
dalam mekanisme pengawasan terhadap pengelolaan negara. Terlebih
dalam konsep welfare state yang dianut Indonesia, yang memberikan kewenangan
yang sangat luas bagi administrasi negara masuk dalam kehidupan warga
negaranya, maka tak lain dan tidak bukan, pengawasan demikian merupakan suatu
keniscayaan. ● Sumber
: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/25/kritik-dan-gugatan-pada-pemerintah/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar