Menimbang
Pendirian Bank Pertanian Djoko Retnadi ; Direktur Pelaksana Indonesia Exim Bank
2019-2020 |
KOMPAS, 26 Agustus 2021
”Banks follow business”,
itu kalimat yang selalu disampaikan oleh almarhum Rudjito, Direktur Utama BRI
periode 2000-2004, di setiap presentasinya. Ini berarti bahwa sejak dulu
kala, fungsi bank adalah menunjang bisnis, bukan pencipta bisnis. Tidak
pernah terjadi ketika suatu daerah belum ada kegiatan usaha, kemudian
didirikan sebuah bank, maka daerah tersebut langsung berkembang ekonominya.
Yang lazim terjadi adalah bank akan hadir apabila sebuah area telah ada
kehidupan bisnis. Prinsip
pendirian sebuah bank sampai saat ini masih seperti itu. Hal ini diperkuat
dengan ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI)/Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
tentang prinsip kehati-hatian bank bahwa bank dilarang membiayai usaha yang
beroperasi komersial kurang dari dua tahun. Prinsip ini semakin menguatkan
bahwa bahwa lembaga perbankan tidak mungkin menjadi motor penggerak ekonomi.
Bank selamanya hanya akan berfungsi sebagai akselerator kegiatan ekonomi yang
telah berjalan. Wacana
pendirian sebuah bank pertanian kembali mengemuka setelah baru-baru ini
Presiden Joko Widodo mengajak generasi milenial menekuni dunia pertanian
(Kompas, 6 Agustus 2021). Apabila menengok kembali pada sejarah perbankan
nasional, kehadiran bank pertanian sebenarnya pernah terjadi di era tahun
1960-an, ketika itu melalui undang-undang, pemerintah mendirikan Bank
Koperasi, Tani, dan Nelayan (BKTN) yang sekarang telah berubah menjadi Bank
Rakyat Indonesia (BRI). Fungsi
BKTN saat itu fokus hanya membiayai koperasi, petani kecil, dan nelayan.
Sementara bidang usaha lain yang lebih besar diamanahkan kepada bank BUMN
lainnya, yaitu Bank Bumi Daya (BBD) fokus pada sektor kehutanan, Bank Dagang
Negara (BDN) fokus di sektor pertambangan, Bank Pembangunan Indoensia
(Bapindo) fokus di proyek jangka panjang dan infrastruktur, Bank Ekspor Impor
Inodnesia (BEII) fokus unutk pembiayaan perdagangan luar negeri, Bank Negara
Indonesia (BNI) fokus di pembiayaan manufaktur besar, dan Bank Tabungan
Negara (BTN) fokus pada pembiayaan perumahan rakyat. Aspek kelembagaan perbankan Diskusi
tentang pendirian bank pertanian menyangkut dua aspek, yaitu aspek
kelembagaan dan aspek skema pembiayaan. Aspek kelembagaan terkait dengan
urgensi pendirian sebuah bank yang khusus membiayai sektor pertanian. Untuk
mewujudkan sebuah bank pertanian dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu
mendirikan sebuah bank baru atau dengan mengubah bank yang telah ada menjadi
bank pertanian. Mendirikan bank baru jelas lebih mahal karena diperlukan
modal inti sedikitnya Rp 3 triliun sehingga pilihan praktisnya adalah
mengubah bank yang telah ada menjadi bank pertanian. Mewujudkan
sebuah bank pertanian adalah perkara mudah. Yang lebih sulit adalah menjamin
bahwa bank pertanian tersebut nanti benar-benar fokus membiayai sektor
pertanian dalam arti luas, khususnya pertanian skala kecil dan berkelanjutan. Sebagaimana
pelajaran dari dinamika industri perbankan, ketika diluncurkan deregulasi
perbankan tahun 1983 dan Paket Oktober 1998, pada akhirnya semua bank
melepaskan fokus bisnisnya dan masuk ke semua sektor bisnis. Lebih-lebih
dengan ketatnya regulasi Penilaian Tingkat Kesehatan bank yang menerapkan
kualitas aset dana profitabilitas, sebagai faktor yang diperhitungkan, maka
bank akan mengejar kedua indikator tersebut semaksimal mungkin. Sebagaimana
diketahui, sektor pertanian di Indonesia pada umumnya berskala kecil dan
rentan terhadap suku bunga yang tinggi. Hal ini akibat pembatasan harga jual
produk pertanian sehingga kian hari, nilai dasar tukar komoditas pertanian
(Terms of Trade) semakian tertinggal terhadap harga barang industri. Akibatnya,
bank tidak terlalu tertarik untuk fokus di pembiayaan sektor pertanian karena
belum menjanjikan profit yang tinggi bagi bank. Demikian juga risiko sektor
pertanian sangat bergantung pada musim dan hama sehingga ketika terjadi
perubahan musim atau adanya hama, akan menyebabkan gagal panen dan kredit
menjadi macet. Stigma bahwa sektor pertanian adalah low income high risk
belum bisa hilang dari benak para banker. BKTN
yang sekarang telah berubah menjadi BRI, dan juga Bank Agro, ternyata juga
tidak dapat menjaga fokus bisnis pada sektor pertanian, khususnya skala
kecil. BRI saat ini fokus pada UKM, tetapi di semua sektor, dan Bank Agro
justru akan difokuskan menjadi Bank Digital. Dari uraian ini jelas bahwa
mewujudkan sebuah bank pertanian tidak hanya soal mengejar kemasan lembaga
saja, tetapi esensi fokus bisnis ke sektor pertanian adalah tantangan paling
berat. Aspek skema pembiayaan Untuk
saat ini, mewujudkan sebuah bank pertanian bukan merupakan prioritas karena
berbagai program untuk memajukan sektor pertanian selama ini masih dapat
ditugaskan melalui bank yang ada. Di perbankan dikenal dua skema program
pembiayaan pertanian, yaitu skema penerusan (chanelling) dan skema
eksekuting. Untuk
program penerusan, pemerintah menempatkan dana di bank untuk program khusus
yang ditentukan pemerintah, di mana bank hanya bertugas menyalurkan sesuai
ketentuan dan bank mendapatkan jasa pengelolaan (handling fee). Semrntara
risiko kemacetan kredit 100 persen ditanggung pemerintah. Skema ini sudah
jarang dilaksanakan karena tingginya moral hazard yang terjadi di lapangan,
baik yang berasal dari nasabah maupun dari internal petugas bank. Ada[un
skema eksekuting, di mana pemerintah menempatkan dana di perbankan untuk
program tertentu, tetapi penyaluran kredit sepenuhnya diserahkan kepada bank
dan risiko kredit 100 persen menjadi ririko bank. Skema eksekuting yang
paling legendaris adalah program KIK/KMKP pada era 1980-an, di mana pada
akhir program semua dana pemerintah akhirnya ditarik kembali. Di
era sebelum Oktober 1998, cukup banyak kredit program pertanian yang
dititipkan ke perbankan antara lain KKPA (Kredit Ketahanan Pangan Anggota),
PIR (Perkebunan Inti Rakyat), KKPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi), KUT
(Kredit Usaha Tani) untuk Tebu dan Padi, dan sebagainya. Bahkan di era
1980-an BRI pernah ditugasi pemerintah untuk membuka BRI Unit Desa untuk
menyalurkan kredit program untuk mendukung swasembada beras. Karena
pembukaan BRI Unit pada waktu itu menggunakan pendekatan supply side, dan
bukan demand side, maka program swasembada beras memang berhasil, tetapi
eksistensi BRI Unit yang didirikan di tengah-tengah sawah ternyata tidak
berkelanjutan. Dengan diubahnya pendekatan pendirian BRI Unit ke demand side,
akhirnya BRI Unit hanya didirikan di lokasi yang telah ada kegiatan ekonomi
agar lebih sustainable. Sebagaimana
diketahui bahwa karakteristik utama sektor pertanian, khususnya skala kecil,
adalah rentan terhadap cuaca, pengendalian hama, harga jual yang tidak pasti,
dan diperlukan masa tenggang (grace period) bagi tanaman untuk menghasilkan.
Berdasarkan karakteritik seperti itu, bank wajib menyediakan skema yang tepat
sekaligus mitigasi risiko yang memadai agar harapan pengusaha di bidang
pertanian dapat dicapai, yaitu hasil panen yang memadai (tidak gagal panen),
dan harga jual yang baik sekaligus memberikan keuntungan yang berkelanjutan. Apa
pun risiko yang dihadapi sektor pertanian, risiko utama pemberian kredit bagi
bank adalah tidak terbayarnya kembali kredit atau kredit menjadi macet. Untuk
mendorong agar bank tetap terpacu untuk menyalurkan kredit ke sektor
pertanian, pemerintah dapat menyediakan fasilitas penjaminan kredit. Saat ini
bank-bank milik negara dan BPD telah menyalurkan KUR (kredit usaha rakyat)
untuk semua sektor yang dijamin oleh Askrindo dan Jamkrindo. Hampir
semua skema kredit untuk pertanian dapat disalurkan melalui jaringan
perbankan yang telah ada, dengan catatan bank harus diberikan keyakinan bahwa
risiko kredit macet harus dijamin pada tingkat yang masih menguntungkan
perbankan. Catatan akhir Kembali
pada prinsip bahwa bank hanya mengakselerasi bisnis, maka prinsip di mana ada
gula di situ semut akan berkerubung. Beberapa sektor pertanian, seperti
kelapa sawit, sangat menarik minat perbankan untuk membiayai. Faktor utama
penentu keberhasilan pembiayaan kelapa sawit bukan karena adanya bank khusus
pertanian, tetapi karena pengelolaan usaha kelapa sawit dapat dilakukan
secara menguntungkan dan berkelanjutan. Daya saing dan risiko yang relatif
rendah di kelapa sawit sangat menarik sebagian besar perbankan untuk masuk
dalam pembiayaan. Selain
itu, ekspor komoditas perikanan dan udang juga sangat prospektif. Kualitas
dan harga yang bersaing serta jaminan keberlanjutan bisnis ikan dan udang
sangat menarik minat perbankan untuk membiayainya, baik dalam skala kecil,
menengah, maupun besar. Dari
dua contoh komoditas pertanian tersebut jelas bahwa pendirian bank pertanian
bukan hal yang mendesak. Yang diperlukan adalah tersedianya skema pembiayaan
yang sesuai dengan karakterisik sektor pertanian dan mitigasi risiko bagi
petani sehingga usaha pertanian mampu memberikan keuntungan bagi pelaku
usaha. Bagaimana
membuat sektor pertanian menjadi semacam gula sehingga semut perbankan akan
mengerumuninya, tentu bukan tugas pelaku perbankan. Itulah ”PR” bagi pihak
yang berkompeten untuk mewujudkan sektor pertanian impian sebagaimana yang
kita saksikan di negara maju. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/26/menimbang-pendirian-bank-pertanian/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar