Senin, 30 Agustus 2021

 

Lupa Bahasa Sains

Ahmad Mustafid ;  Mahasiswa Magister Technische Universität Kaiserslautern, Jerman

KOMPAS, 27 Agustus 2021

 

 

                                                           

Pengembangan riset dan inovasi di Indonesia diharapkan mampu memperkuat sinergi dalam ekosistem riset nasional melalui sains dan teknologi. Namun, ada yang luput dari perhatian kita. Fondasi sains yang keropos.

 

Masifnya pemberitaan tentang riset dan inovasi di Indonesia sangat sering kita dengarkan. Mulai dari pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) hingga jargon nasionalisme yang melekat bersamanya. Salah satu arah BRIN adalah menciptakan ekosistem riset sesuai standar global yang terbuka, inklusif, dan kolaboratif bagi semua pihak, baik itu akademisi, industri, komunitas, maupun pemerintah.

 

Iktikad Indonesia untuk menciptakan ekosistem riset merupakan hal yang perlu disambut baik. Ekosistem tersebut diharapkan bisa merangkul banyak pihak, tak terkecuali masyarakat.

 

Namun, kita melupakan elemen penting dalam sains yang membuat pengeroposan itu semakin masif. Elemen tersebut adalah bahasa sains.

 

Bahasa sains

 

Bahasa adalah alat komunikasi dalam suatu bangsa atau komunitas. Bahasa dapat menggambarkan peristiwa melalui tanda atau simbol. Semiotika. Untuk masuk ke dalam suatu komunitas, kita perlu memahami bahasa, tanda, dan simbol-simbol yang digunakan. Komunitas sains memiliki bahasanya sendiri dalam berkomunikasi. Bahasa tersebut adalah matematika.

 

Ilmuwan dan insinyur sering mengagumi kemampuan matematika dalam menggambarkan realitas dunia. Einstein adalah salah satu tokoh ilmuwan besar abad ke-20 yang sangat mengagumi kemampuan matematika. Siapa yang tidak kenal formula E=mc2. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk menghitung energi dalam reaksi fisi dan fusi nuklir.

 

Lebih lanjut ditekankan, sebagai bahasa yang digunakan antarsesama ilmuwan sains, pemahaman terhadap matematika merupakan kunci untuk bisa ikut terlibat dalam komunitas sains global. Celakanya, kita masih abai terhadap masalah tersebut.

 

Hasil survei (PISA, 2018) yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains pelajar kelas III SLTP di seluruh dunia mengungkapkan bahwa, dari 78 negara yang disurvei, Indonesia hanya menempati peringkat ke-72. Adapun dalam matematika, Indonesia ada di peringkat ke-7 dari bawah dengan skor 379 (rata-rata OECD 489).

 

Data tersebut menegaskan bahwa generasi muda kita ternyata masih jauh dalam penguasaan sains dasar. Hal ini mencemaskan karena bagaimana bisa kita ikut serta dalam mewarnai komunitas sains ke depan? Ditambah lagi, ikut berkontribusi, membaca, berdialog, berinovasi ketika bahasanya saja tidak mampu kita pahami.

 

Matematika umumnya justru menjadi momok bagi sebagian besar pelajar di Indonesia. Padahal, dalam Jurnal npj Science of Learning dijelaskan bahwa ketakutan terhadap matematika (math anxiety) secara luas berpotensi sebagai penghalang di dalam kesuksesan STEM (science, technology, engineering and mathematics) yang menjadi kunci pengembangan inovasi.

 

Temuan tersebut menunjukkan bahwa potensi Indonesia untuk mengembangkan inovasi yang berkelanjutan di bidang sains dan teknologi menjadi berat. Untuk mempelajari bahasa sains saja, kita umumnya mengidap fobia.

 

Di bangku sekolah dahulu, ketika mendengar kata matematika, lamunan kita langsung tertuju pada angka dan hitung-hitungan yang rumit, padahal matematika bukan hanya tentang itu. Matematika berbicara tentang konsistensi logika berpikir manusia. Matematika dapat digunakan dalam membentuk pola pikir kritis, sistematis, akurat, dan terarah.

 

Selain untuk melatih logika berpikir, matematika merupakan cabang dari ilmu bahasa. Alam semesta dan manusia berkomunikasi menggunakan bahasa matematika. Air mengalir, angin berembus, matahari memancarkan radiasi, virus bermutasi dapat didekati menggunakan bahasa matematika. ”Matematika adalah bahasa yang digunakan Tuhan untuk menulis alam semesta,” ujar Galileo Galilei.

 

Matematika dan inovasi

 

Banyak tokoh matematika yang berinovasi dan menghasilkan produk yang diterima oleh banyak orang. Sebut saja Sergey Brin, salah satu pendiri Google dan presiden perusahaan induknya, Alphabet. Brin mengambil jurusan matematika dan ilmu komputer di University of Maryland di College Park. Nama ”Google” sendiri juga terinspirasi oleh istilah matematika ”googol”, yang berarti sepuluh pangkat seratus. Nama lain yang juga prominen adalah Reed Hastings (Netflix) dan Jeffrey R Immelt (General Electric).

 

Ian Goodfellow dan Yoshua Bengio merupakan tokoh di balik machine learning dan artificial intelligence. Mereka menuliskan konsep tentang bagaimana teknologi tersebut bekerja dalam bahasa dan notasi matematika.

 

Misalnya dalam teknologi pengenalan wajah (face recognition), bagaimana suatu gambar atau video kemudian direpresentasikan dalam bentuk matriks matematika. Matriks tersebut kemudian diproses oleh komputer yang sudah dilatih untuk mencari pola (pattern) wajah manusia. Alhasil, komputer mampu menebak wajah seseorang. Selain contoh tersebut, banyak sekali tokoh sains lainnya yang mengomunikasikan ide, opini, dan gagasan mereka melalui bahasa matematis.

 

Dalam buku yang disusun para ilmuwan muda di Indonesia, ditemukan hanya terdapat satu kata matematika di dalam isi dan dua kata matematika dalam glosariumnya. Apakah kita memang lupa dengan matematika yang merupakan induk dari sains? Semoga saya salah.

 

Indonesia memiliki banyak talenta muda dalam bidang matematika. Baru-baru ini, mahasiswa Indonesia berhasil meraih 15 medali di ajang International Mathematics Competition (IMC) 2021. IMC merupakan olimpiade internasional bergengsi di bidang matematika yang digelar setiap tahun. Pada tahun ini, IMC diikuti oleh 591 peserta yang berasal dari 54 negara.

 

Prestasi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tunas-tunas muda yang siap untuk tumbuh. Apabila tunas-tunas tersebut diberikan ruang dan fasilitas yang mumpuni, bukan tidak mungkin Indonesia mampu menciptakan ekosistem dan ikut serta dalam mewarnai komunitas sains.

 

Meneropong inovasi

 

Ketika kita hendak bersama-sama meneropong inovasi bangsa dalam bidang sains dan teknologi, semestinya kita juga perlu memahami bagaimana suatu komunitas sains itu berkembang dan tumbuh. Oleh sebab itu, pemahaman dasar tentang bahasa yang digunakan dalam sains untuk berkomunikasi merupakan aspek yang penting. Inovasi yang berkelanjutan semestinya bisa dimulai dari perbaikan pendidikan sains dasar yang mumpuni.

 

Kita punya warisan sejarah tentang inovasi bangsa, tetapi di sisi lain ada kekecewaan yang mendalam. Orang pintar di negeri ini muncul dari waktu ke waktu. Kita pernah diberi anugerah seorang presiden yang mampu merancang pesawat terbang. Meskipun belum bisa bersaing di pasar Airbus dan Boeing, sebagai bangsa yang masih relatif muda hal ini cukup membanggakan.

 

Kini, setelah 76 tahun berlalu, semestinya kita perlu refleksi bersama. Menilik jejak pemanfaatan dan perkembangan teknologi di masa lalu, ada sejumlah hal yang bisa menjadi bekal pengembangan selanjutnya. Industri strategis sebenarnya dibuat untuk menjadi penghela perekonomian nasional dan menarik Indonesia menjadi negara industri maju.

 

Perekonomian nasional sangat erat kaitannya dengan ekonomi masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan manusia yang kreatif, gigih, giat, dan pantang menyerah di tengah kondisi apa pun. Semestinya kita bukan hanya mengumpulkan orang-orang pintar indonesia, tetapi juga melibatkan peran aktif masyarakat.

 

Masyarakat adalah partner riset dan inovasi, mereka bukan hanya sekadar obyek. Menjadikan hasil riset semisal di bidang pertanian, perikanan, dan lainnya sehingga lebih mudah dipahami dan digunakan oleh masyarakat juga merupakan hal yang sangat penting.

 

Keterlibatan semua pihak untuk berani terjun ke masyarakat dan mendampingi masyarakat dapat memutar jarum pandangan publik bahwa teknologi dan inovasi bukan hanya milik segelintir kelompok elite tertentu saja, melainkan dibangun secara bersama-sama. Hal ini diharapkan membuat masyarakat kita memiliki kegandrungan terhadap sains, teknologi, teknik, dan ilmu pengetahuan.

 

Kita tidak perlu muluk-muluk berbicara soal teknologi canggih, tetapi bagaimana terlebih dahulu mendampingi industri di masyarakat dengan pengetahuan dan pemahaman. Bagaimana kita mengoptimalkan potensi yang sudah kita miliki, seperti industri beras, gula, garam, dan kedelai, serta buah-buahan tropis, secara efisien dengan adanya teknologi. Akumulasi di atas dapat mengurangi mentalitas ketergantungan untuk selalu impor.

 

Mentalitas ”kalo bisa beli, ngapain bikin” ditambah dengan kurangnya kemampuan ”berbahasa sains” merupakan musuh utama dari inovasi. Pembenahan ini adalah kerja maraton bersama, bukan hanya kerja lima tahunan belaka. ●

 

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/27/lupa-bahasa-sains/

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar