Senin, 30 Agustus 2021

 

Tak Ada Hitam Putih di Afghanistan

Agustinus Wibowo ;  Penulis Perjalanan

KOMPAS, 26 Agustus 2021

 

 

                                                           

”Di sini semua mahal. Yang murah hanya satu: nyawa manusia.” Begitu seorang warga Afghanistan pernah berkata kepada saya tentang situasi negaranya.

 

Sebagai jurnalis yang pernah bekerja di Afghanistan dari 2007 hingga 2009, saya pernah mengalaminya sendiri. Di Kabul, bom meledak setidaknya sekali dalam dua hari. Orang-orang pun senantiasa dicekam teror berupa hujan roket, perampokan, penculikan, dan pembunuhan.

 

Kenangan itu seperti diputar kembali. Jatuhnya Kabul ke tangan Taliban, 15 Agustus 2021, peristiwa mengejutkan sekaligus menakutkan bagi banyak orang Afghanistan. Ribuan orang, termasuk perempuan dan anak-anak, berbondong menuju bandara Kabul, satu-satunya jalur tersisa untuk melarikan diri.

 

Isak tangis dan teriakan bertalu-talu dari lautan manusia. Mayat bergelimpangan di bandara, mungkin terinjak-injak atau tertembak tentara. Para lelaki berusaha bergelantungan pada badan pesawat militer AS yang hendak lepas landas. Beberapa dari mereka terjatuh dari pesawat yang mengangkasa. Begitu takut dan putus asanya mereka, hingga nekat melakukan apa pun. Apa pun.

 

Beberapa kawan jurnalis di Kabul dan Mazar-i-Sharif mengatakan, mereka beberapa hari ini belum berani ke luar sama sekali. Mereka khawatir anggota Taliban akan melakukan pemeriksaan dari rumah ke rumah, membunuhi siapa pun yang dianggap musuh.

 

Apakah kemenangan Taliban bisa dianggap kemenangan rakyat Afghanistan mengusir penjajah AS? Atau kemenangan perjuangan Islam menumbangkan rezim liberal sekuler? Realitasnya tak sesederhana itu. Dalam sejarahnya, AS justru pernah berada di belakang kelompok militan Islam.

 

Peran AS

 

Konflik Afghanistan hari ini tak terlepas dari sejarah Perang Dingin, ketika dunia terbelah menjadi dua ideologi besar yang saling bermusuhan. Pada 1978, Afghanistan menjadi negara komunis, dan partai yang berkuasa ”mengundang” militer Uni Soviet masuk pada 1979.

 

AS tak ingin Afghanistan jadi satelit Soviet yang baru sehingga melancarkan strategi untuk mencetak pejuang religius yang rela bertempur melawan Soviet. AS mengalirkan dana dan persenjataan ke negara tetangga Pakistan, dan menjamurlah madrasah di Pakistan yang melahirkan banyak jihadis militan.

 

Kaum mujahidin yang didukung AS ini akhirnya memang berhasil. Tahun 1989, pasukan Soviet mundur dari Afghanistan. Dua tahun setelah itu, Soviet bubar. Tak punya lagi musuh besar, AS meninggalkan Afghanistan begitu saja. Yang terjadi di Afghanistan setelah itu adalah kekacauan.

 

Faksi-faksi mujahidin saling bertempur memperebutkan supremasi kekuasaan. Afghanistan terpecah belah menjadi banyak daerah kecil yang dikuasai para raja perang sehingga tak ada hukum yang bisa diandalkan. Kehancuran merata di berbagai penjuru.

 

Di tengah kekacauan ini muncul Taliban. Berawal dari Kandahar, Taliban menguasai Kabul tahun 1996 dan sekejap kemudian hampir seluruh Afghanistan.

 

Pada mulanya kehadiran Taliban disambut baik masyarakat karena Taliban membawa keamanan dan kestabilan yang dirindukan orang Afghanistan yang telah babak belur oleh perang saudara berkepanjangan. Jalanan pun kembali menjadi aman dilintasi, terbebas dari ancaman perampok dan pembunuh.

 

Namun, Taliban kemudian menerapkan hukum syariah dengan penafsiran yang luar biasa ketat. Perempuan diwajibkan memakai burkak yang menutup seluruh wajah, termasuk mata. Perempuan tak bisa bersekolah dan bekerja, dan dilarang ke luar rumah tanpa ditemani mahram.

 

Para lelaki diwajibkan memakai pakaian tradisional, topi atau serban, juga memelihara jenggot. Taliban pun melarang orang menonton televisi, mendengarkan musik, menari, bermain layang-layang, dan masih banyak lagi.

 

Pemerintahan Taliban dijalankan dengan kekerasan. Mereka yang melanggar aturan dipukuli, dirajam, diamputasi, atau dieksekusi di depan publik. Taliban juga membantai etnik minoritas.

 

Di Mazar-i-Sharif dan Bamiyan pada 1998, laskar Taliban mendatangi rumah demi rumah untuk membantai ribuan orang Hazara, termasuk perempuan, anak-anak, dan bayi. Gerakan perlawanan rakyat Afghan terhadap Taliban pun terus meluas dan menguat, terutama di bagian utara negeri yang dihuni kaum minoritas.

 

Konstelasi dunia berubah total pasca-9/11. AS bersitegang dengan Taliban karena Taliban melindungi Osama bin Laden dan gerakan Al Qaeda yang dituding bertanggung jawab atas serangan teror ke Menara Kembar WTC di New York.

 

Dalam misi ”Perang Melawan Teror”, AS di bawah Bush melancarkan serangan ke Afghanistan untuk menumbangkan rezim Taliban. Dalam politik memang tak ada kawan dan musuh yang abadi. Siapa yang dulunya kawan bisa jadi musuh ketika terjadi perubahan kepentingan. AS dan gerakan Islam radikal, yang semula bergandeng tangan melawan komunis Soviet, di abad ke-21 justru seperti musuh bebuyutan yang abadi sejak dulu kala.

 

Peta kepentingan

 

Semata-mata memakai kacamata identitas dalam memahami konflik adalah menyesatkan, dan bisa jadi berbahaya. Sebaliknya, konflik akan menjadi lebih masuk akal apabila kita memahami kepentingan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. China termasuk negara pertama di 2021 yang menyatakan siap ”membina hubungan bersahabat” dengan rezim Taliban dan siap ”menghormati pilihan rakyat Afghanistan”.

 

Saat ini media di China sudah tak lagi menyebut Taliban teroris. Ini tampaknya sulit diterima secara ideologi, tapi sangat masuk akal dari sisi geopolitik. Beijing berkepentingan mencegah Afghanistan menjadi pusat pelatihan separatis Muslim Uighur di Xinjiang.

 

Rezim yang stabil di Kabul juga akan mendukung investasi China di Asia Tengah dan Pakistan. Ditambah lagi, Afghanistan kaya mineral langka yang belum dieksploitasi. Konflik tidak pernah, sekali lagi tidak pernah, hanya semata-mata perkara identitas.

 

Saya datang pertama kali ke Afghanistan tahun 2003, dua tahun setelah Taliban dijatuhkan oleh invasi AS. Bisa dikatakan, itu adalah saat yang paling aman untuk mengunjungi Afghanistan. Saya menemukan gairah luar biasa di kalangan warga yang antusias menyambut kedatangan orang asing. Penuh keyakinan mereka saat itu mengatakan, Afghanistan akan segera menjadi ”normal” seperti negara lain di dunia.

 

Rezim ”Republik Islam Afghanistan” yang mendapat dukungan AS dan komunitas internasional berdiri pada 2004, adalah negara Islam yang menerapkan hukum syariah. Orang-orang dalam pemerintahan, mulai dari atas sampai ke bawah, adalah orang Afghanistan sendiri, dan Muslim.

 

Ini juga rezim yang inklusif, melibatkan semua etnik, termasuk Pashtun, Tajik, Hazara, dan Uzbek. Banyak pula kaum perempuan yang menduduki jabatan tinggi.

 

Rezim ini telah mencapai sejumlah pencapaian. Anak perempuan yang di masa Taliban tak boleh bersekolah kini bisa menuntut pendidikan tinggi. Tim robotika putri Afghanistan pada 2017 bahkan meraih medali perak di kompetisi internasional di AS. Investasi asing terus mengalir deras dan ekonomi terus menggeliat sehingga Kabul kini dipenuhi gedung-gedung tinggi dan modern.

 

Namun, ini juga bukan pemerintahan yang sempurna. Korupsi yang cukup parah menyebabkan banyak dana bantuan internasional tak mencapai rakyat jelata.

 

Dalam memberantas terorisme, militer AS juga terkadang sembrono sehingga rakyat tak berdosa jadi korban. Kemiskinan dan penderitaan terus berlangsung, menyebabkan sebagian orang antipati terhadap rezim dan berbalik mendukung Taliban atau gerakan militan lainnya.

 

Kaum militan selalu mengatakan target serangan mereka tentara asing yang beroperasi di Afghanistan. Akan tetapi, sebenarnya, korban utama serangan mereka adalah rakyat Afghanistan sendiri.

 

Rakyat biasa jadi korban ledakan di jalan raya, umat Syiah dibom ketika sedang merayakan hari raya, personel polisi diserang dan dipenggal. Pada tahun 2020 pun, Taliban masih melakukan pembunuhan berencana yang menarget para jurnalis, aktivis perdamaian, pekerja LSM, hakim, dan pejabat pemerintah.

 

Pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban di 2021 yang hampir tanpa pertumpahan darah memang tampak berbeda dengan 1990-an. Dalam wawancara dengan CNN, juru bicara Taliban mengatakan, mereka akan membentuk pemerintahan baru yang Islami, moderat, inklusif, dan menghormati perempuan.

 

Hal itu membuat sejumlah pengamat meyakini ini sungguh Taliban versi baru, Taliban 2.0, yang sudah termoderasi dan akan membawa perubahan positif bagi Afghanistan.

 

Perubahan memang bukannya tak mungkin. Namun, masih terlalu dini menyimpulkan Taliban sungguh-sungguh akan melaksanakan janji-janjinya dan akan membawa kebaikan di Afghanistan.

 

Hingga saat ini, pemerintahan Taliban belum terbentuk, dan tak seorang pun tahu bagaimana mereka akan menjalankan pemerintahan ke depannya. Kondisi di Afghanistan masih sangat volatile, dan masyarakat Afghanistan masih diliputi ketidakpastian yang mencekam.

 

Alih-alih buru-buru menyatakan keberpihakan pada salah satu kubu hanya berdasar identitas, saya rasa sikap paling tepat saat ini adalah terus mencermati perkembangan situasi. Jika memang harus berpihak, berpihaklah pada kepentingan rakyat Afghanistan dan kemanusiaan. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/26/tak-ada-hitam-putih-di-afghanistan/

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar