Amendemen
Konstitusi di Masa Krisis Dapat Memicu Ketidakpastian Rini Kustiasih ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 22 Agustus 2021
Momentum
untuk melakukan amendemen konstitusi di masa pandemi Covid-19 dipandang
sebagai suatu kebijakan yang dapat memicu ketidakpastian. Sebab, di tengah
upaya negara mengatasi krisis, upaya politik yang krusial dan membutuhkan energi besar,
seperti perubahan konstitusi, dapat berujung pada keguncangan politik jika
tidak memperhatikan kondisi masyarakat yang rapuh. Direktur
eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengungkapkan, dorongan untuk melakukan
amendemen konstitusi harus mempertimbangkan situasi dan konteks masyarakat
saat ini. Dalam kondisi masyarakat yang sedang rapuh, melakukan amendemen
konstitusi akan menjadi pertaruhan besar bagi negeri ini. ”Sekarang
ini kondisi kritis dan krisis. Harus dilihat pula apakah dalam kesempitan ini
ada upaya politik atau akal-akalan politik macam apa yang dilakukan dengan
mengamendemen konstitusi. Sebaiknya memang fokus pada penanganan pandemi.
Saya setuju kalau bernegara itu ialah berkonstitusi dan konstitusi bisa
diubah. Namun, melakukan perubahan di saat krisis dan kritis itu menyerahkan
kondisi republik dalam kondisi tidak menentu,” ucapnya dalam diskusi daring
bertajuk ”Siapa Butuh Amandemen” yang digelar oleh Lingkar Madani (Lima) dan
PARA Syndicate, Minggu (22/8/2021). Menurut
Ari, alasan yang selama ini dikemukakan untuk melakukan amendemen ialah
karena bangsa Indonesia memerlukan arah pembangunan yang jelas dan tidak
berubah-ubah setiap kali berganti pimpinan, baik di tingkat pusat maupun
daerah. Logika mengenai kebutuhan arah pembangunan itu dapat diterima karena
memang diperlukan kejelasan arah pembangunan bangsa ini ke depan. Namun,
untuk melakukan perubahan konstitusi pada saat negara sedang menghadapi
pandemi dinilai sebagai pilihan yang kurang tepat. Beberapa hal juga mesti
dipertanyakan terkait rencana amendemen konstitusi oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Publik pun dapat pula bertanya tentang siapa
yang akan diuntungkan oleh perubahan konstitusi di tengah kondisi krisis
lantaran konteksnya tidak tepat. Pihak yang diuntungkan dari amendemen itu
ialah mereka yang sedang berkuasa saat ini. Ari
juga menggarisbawahi pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo yang menyebut
amendemen konstitusi hanya terbatas pada dua pasal saja. Pertama, kewenangan
MPR menetapkan Pokok-pokok haluan negara (PPHN) dan kedua, kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menolak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) jika tidak sesuai dengan PPHN. Peryataan itu mesti disikapi dengan
kritis di tengah tingginya ketidakpercayaan publik terhadap institusi
politik, termasuk politisi yang duduk di DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
MPR, ataupun pemerintah. ”Siapa
yang dapat menjamin pembahasan itu tidak akan melebar ke mana-mana atau
membuka kotak pandora? Tidak cukup dengan memercayai lidah politisi hari ini,
baik itu presiden, MPR, DPR, maupun DPD. Untuk menjamin itu semua perlu
pengawasan dan persayaratan yang superketat terhadap proses amendemen,”
katanya. Bahkan,
kalau perlu ada perjanjian hitam di atas putih antara para anggota MPR dan
semua elite politik yang terlibat dalam perubahan konstitusi untuk memastikan
tidak akan ada perubahan pasal lain, kecuali PPHN. Menurut Ari, tanda tangan
perjanjian atau pakta amendemen itu mesti dilakukan, sekalipun terkesan
kekanak-kanakan secara politis. Sebab, kini, publik tidak dapat lagi
memercayai komitmen politisi. Sementara pada saat bersamaan, peminggiran
terhadap masyarakat sipil dan media juga terus terjadi. Usulan
memberikan kewenangan kepada MPR untuk menetapkan PPHN juga meninggalkan
pertanyaan soal kedudukan MPR sebagai lembaga tinggi negara. Di masa lalu,
ketika MPR menjadi lembaga tertinggi negara, penetapan Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) oleh MPR menjadi sesuatu hal yang bisa dipahami karena
GBHN harus dipatuhi oleh presiden sebagai lembaga tinggi negara. Namun,
setelah amendemen konstitusi 1999-2002, kewenangan itu diubah, posisi MPR
tidak lagi menjadi lembaga tertinggi, tetapi lembaga tinggi negara yang
setara dengan DPR dan presiden. ”Kami
sepakat perlu ada arah pembangunan supaya tiap presiden dengan program dan
kebijakannya tidak menyimpang dari pembangunan nasional. Tetapi, ini
bertentangan dengan kedudukan MPR sebagai lembaga tinggi negara. Bagaimana
dia bisa menetapkan PPHN untuk diikuti oleh presiden yang posisinya equal
sebagai lembaga tinggi negara,” ucapnya. Lebih
jauh lagi, wacana amendemen konstitusi sangat problematik jika dikaitkan
dengan isu yang berkembang, seperti wacana presiden tiga periode, pemilihan
presiden tidak langsung, dan perpanjangan jabatan presiden menjadi delapan
tahun. Apakah amendemen konstitusi ini menjadi pintu masuk saja bagi kepentingan-kepentingan
lainnya saat pembahasan, menurut Ari, itu mesti juga diwaspadai. Tanpa
kekuatan penyeimbang dan kontrol yang sehat oleh publik, amendemen berpotensi
menjadi bola liar. Memanfaatkan kesempatan Peneliti
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus,
mengatakan, tidak ada istilah resmi mengenai amendemen terbatas sebagaimana
kerap diungkapkan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo. Menurut dia, ketentuan
yang diatur hanyalah amendemen, sedangkan kata ”terbatas” yang kerap
dilekatkan dalam kata amendemen itu hanya merupakan bahasa politik yang
dimaksudkan untuk meyakinkan publik agar mendukung niat mengamendemen
konstitusi. Artinya, publik tidak bisa bergantung atau percaya sepenuhnya
dengan kata ”terbatas” yang disematkan di dalam kata amendemen itu. Dalam
pengusulan amendemen itu pun yang selama ini menonjol ialah pernyataan dari
Ketua MPR dan sikap-sikap fraksi lainnya di MPR belum secara jelas
menunjukkan sikapnya atas rencana itu. Padahal, konstitusi telah mengatur
secara jelas perubahan konstitusi itu minimal harus diusulkan oleh satu
pertiga dari anggota MPR. Perubahan itu pun harus mencantumkan dengan jelas
pasal yang ingin diubah dan alasannya secara tertulis. Dalam
perkembangannya, DPD telah menyatakan dukungannya untuk mengubah konstitusi.
Namun, menurut Lucius, dukungan DPD itu tidak semata-mata untuk meloloskan
PPHN masuk dalam konstitusi. DPD diyakini juga akan memperjuangkan mimpi
mereka selama ini, yakni untuk penguatan kewenangan DPD. ”Sulit
menjamin dukungan dari DPD itu gratis atau hanya sekadar mengembalikan PPHN
ke dalam konstitusi. Itu perjuangan satu-satunya DPD, yaitu memastikan
kewenangan mereka lebih kuat di dalam konstitusi,” katanya. Oleh
karena itu, menurut Lucius, amendemen konstitusi bukan tidak mungkin membuka
kotak pandora karena begitu banyak kepentingan di dalam fraksi-fraksi dan
kelompok di MPR. Selain itu, amendemen konstitusi akan menjadi kesempatan
melakukan transaksi kepentingan di antara fraksi-fraksi di MPR. ”Semuanya
akan keluar dengan dengan kartu truf masing-masing. Fraksi yang menginginkan
perpanjangan masa jabatan, misalnya, akan menyetujui PPHN seandainya ada
perpanjangan jabatan. DPD juga akan mendukung PPHN sepanjang ada penguatan
kewenangan mereka di dalam konstitusi. Ini akan membuka terjadinya transaksi
kepentingan,” ujar Lucius. Direktur
Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Aditya Perdana,
menuturkan, penanganan pandemi akan menjadi penentu bagaimana wacana
amendemen konstitusi ini digulirkan. Jika pada 2022 pandemi berhasil diatasi,
diperkirakan amendemen tidak akan tertahankan lagi. Sebab, kepentingan
amendemen konstitusi ini juga sangat bergantung pada sikap presiden. ”Presiden
juga punya perhatian soal popularitas beliau dan kristalisasi serta
konsolidasi dukungan terhadap amendemen mungkin akan makin kuat kalau pandemi
berhasil diatasi. Kalau Covid-19 naik lagi, dan ekonomi tidak baik, mungkin
amendemen akan ditahan-tahan. Kalau pandemi membaik, menurut saya wacana
amendemen konstitusi akan mudah dilakukan,” ucapnya. Direktur
Eksekutif Lima, Ray Rangkuti, mengatakan, sikap dan posisi presiden akan
menentukan wacana amendemen konstitusi. Amendemen itu bagaimanapun akan
membawa implikasi pada konsep pemerintahan eksekutif karena presiden akan bisa
membatalkan kebijakan daerah yang dinilai tidak sesuai PPHN. Sentralisasi
berpotensi muncul. Namun, penguasa sebenarnya ialah kelompok elite yang duduk
di MPR, yang tidak lain adalah perwakilan dari partai-partai politik dan
kelompok kepentingan karena mereka yang membuat dan menetapkan PPHN. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar