Senin, 30 Agustus 2021

 

Sampah Bukan untuk Dibuang

Retno Suryandari ;  Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

KOMPAS, 26 Agustus 2021

 

 

                                                           

Andaikata kita bertanya kepada setiap orang tentang apa yang dihasilkan setiap hari, disadari atau tidak setiap orang menghasilkan sampah. Tak terkecuali kita, masyarakat di Indonesia. Total produksi sampah nasional di Indonesia tahun 2020 mencapai 67,8 juta ton, atau setara dengan rata-rata 0,68 kilogram sampah per hari untuk setiap penduduk.

 

Banyaknya sampah yang dihasilkan ternyata belum terkelola dengan baik. Pengelolaan sampah saat ini masih berbasis linear (kumpul-angkut-buang) yang berakhir di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir). Menurut Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK optimalisasi pengelolaan sampah pada 514 kabupaten/kota di Indonesia masih di bawah 50 persen, sedangkan di kota besar sudah mencapai 70-80 persen.

 

Padahal pola pengelolaan sampah linear ini senantiasa membutuhkan lahan baru untuk menampung sampah yang semakin menggunung. Apalagi TPA di Indonesia belum mencapai standar sanitary landfill (menumpuk di lokasi cekung, memadatkannya dan menimbunnya dengan tanah) dan justru lebih banyak menjadi open dumping (menumpuk sampah hingga tinggi) yang rawan longsor.

 

Egoisme "nyampah"

 

Sampah atau residu menjadi salah satu anasir yang menjadi keniscayaan bagi setiap makhluk. Apabila meminjam teori dalam fisika, hal ini sesuai dengan hukum termodinamika yang menyatakan bahwa energi tidak dapat dihancurkan atau dihilangkan akan tetapi dapat berubah bentuk. Namun demikian, perubahan bentuk energi tidak berlangsung efisien dan selalu menghasilkan energi sampingan yang kurang berguna. Seperti halnya sampah.

 

Menyadari bahwa setiap orang menghasilkan sampah, lebih dari itu yang menyedihkan adalah tidak setiap orang sadar bahwa sampah yang dihasilkan sepenuhnya tanggung jawab masing-masing individu. Tidak hanya mengalami krisis tanggung jawab terhadap sampah, masyarakat agaknya mengidap sindrom egois NIMBY (Not in My Backyard) sejak dalam diri.

 

Sindrom NIMBY pada dasarnya merupakan sebuah gerakan yang seringkali diidentikkan dengan gerakan terorganisir untuk menolak adanya pembangunan atau penggunaan lahan. Penolakan tersebut dilakukan sebagai bentuk pencegahan terjadinya dampak buruk yang dapat menimpa ‘pihak penolak’. Pernyataan ini terdengar positif, namun sindrom NIMBY juga dinilai ibarat dua sisi mata pisau.

 

Sindrom NIMBY seringkali dikatakan sebagai sebuah gerakan egois dan mengakibatkan adanya ketidakadilan lingkungan. Hal tersebut seringkali mengorbankan kaum miskin dan minoritas. Kaum miskin dan minoritas cenderung tidak memiliki daya untuk melakukan perlawanan atas sindrom egois NIMBY dari kaum mayoritas.

 

Contoh fenomena yang pernah terjadi dari sindrom egois NIMBY yaitu kisah abu insinerator Philadelphia pada tahun 1986. Abu berbahaya tersebut kemudian diangkut dan dibuang ke beberapa negara kurang berkembang dengan label palsu sebagai pupuk tanah.

 

Kejadian abu insinerator di Philadelphia tersebut memiliki kemiripan dengan kejadian impor sampah plastik dari negara maju ke Indonesia yang terbawa dalam sampah kertas. Meskipun pada dasarnya sampah tersebut sengaja dibeli untuk kebutuhan pabrik kertas. Sampah yang tidak disortir (unsorted solid waste) lebih murah dibanding yang sudah disortir (sorted solid waste) sehingga untuk menekan harga pokok produksi, pabrik kertas memilih sampah yang belum disortir.

 

Kejadian itu menjadi salah satu contoh ketidakberdayaan negara berkembang menghadapi sindrom NIMBY di tengah tuntutan ekonomi. Mereka memilih untuk menekan harga produksi meskipun harus mengorbankan lingkungan.

 

Ekonomi sampah

 

Lingkungan tidak seharusnya terus-menerus menjadi pihak yang dikorbankan. Adanya sindrom NIMBY seharusnya menjadi gerakan dan refleksi bagi setiap orang sehingga muncul kesadaran bahwa tidak ada lagi tempat untuk sampah. Oleh karena itu masyarakat pun wajib menyadari adanya tanggung jawab individu untuk mengelola sampahnya.

 

Mengorbankan lingkungan berarti mengorbankan aspek penting lainnya seperti kesehatan. Kesehatan juga akan menimbulkan efek domino terhadap aspek lain seperti ekonomi. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang dikehendaki. Sebagaimana kondisi Covid-19 saat ini.

 

Apabila pengelolaan sampah yang memadai tak kunjung dapat perhatian, maka penyakit pun menjadi ancaman. Beberapa penelitian menunjukkan masyarakat yang tinggal di kawasan dekat dengan TPA sering menderita asma, iritasi, diare, flu berulang, kolera, malaria, batuk, dan TBC yang lebih tinggi dibandingkan yang tinggal jauh dari TPA. Bukan tidak mungkin beberapa penyakit yang menular dapat menyebar dan melumpuhkan ekonomi.

 

Inovasi senantiasa dilakukan untuk pengelolaan sampah di Indonesia. Terdapat tiga pendekatan pengelolaan sampah yang dilakukan pemerintah, yaitu minim sampah (eco-living), ekonomi sirkular, serta layanan dan teknologi. Semua itu memerlukan partisipasi dan kolaborasi dari semua pihak.

 

Pendekatan minim sampah adalah pendekatan yang bisa dilakukan oleh setiap individu. Masyarakat diharapkan mampu mengesampingkan egoisme ‘membuang sampah’ dan beralih pada mengurangi dan memilah sampah.

 

Namun hal ini tentu saja menjadi sulit tercapai apabila perusahaan FMCG (Fast Moving Consumer Goods) yang notabene menjadi penyedia kebutuhan sehari-hari masyarakat tidak memberikan opsi. Masyarakat harus memperoleh opsi untuk tidak banyak menggunakan kemasan sekali pakai supaya target pendekatan minim sampah sejak dari individu dapat tercapai.

 

Begitu juga dengan perihal pemilahan sampah. Kenyataan bahwa masyarakat menjadi enggan memilah adalah mengetahui bahwa sampah yang sudah dibedakan berdasar kategori tersebut kemudian diangkut dalam satu bak dan kembali bercampur. Masyarakat merasa usaha yang dilakukan menjadi sia-sia.

 

Oleh sebab itu untuk melancarkan program ini, akan lebih bijak jika pemerintah menggandeng wirausahawan sosial yang bergerak dalam pengelolaan sampah. Pemilahan sampah yang dilakukan masyarakat terfasilitasi, perusahaan pengolahan sampah menyerap tenaga kerja, dan program yang dilaksanakan berjalan bersamaan sekaligus. Sungguh kolaborasi yang apik.

 

Ketika pemilahan sampah dapat terlaksana dengan baik di Indonesia baik skala rumah tangga maupun industri, maka sangat memungkinkan bahwa Indonesia tidak lagi memerlukan impor sampah. Impor sampah kertas yang seringkali terselip sampah plastik yang tidak digunakan perusahaan dan justru mencemari lingkungan.

 

Selain menyediakan opsi bagi masyarakat supaya dapat memilih tidak menggunakan kemasan sekali pakai, FMCG juga memiliki tanggung jawab yang tidak kalah penting. Menurut UU Nomor 18 Tahun 2008 Pasal 15 disebutkan bahwa “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”.

 

Berdasarkan landasan tersebut, maka produsen sudah seharusnya beralih dari sistem ekonomi linear (Produksi-Pakai-Buang) menjadi sistem ekonomi sirkular (Reduce, Reuse, Recycle, Recovery dan Repair). Apabila sistem tersebut tidak dapat serta merta dilakukan oleh internal perusahaan, bekerja sama dengan perusahaan pengolah sampah adalah pilihan tepat. Perusahaan dapat melakukan imbauan terhadap konsumen untuk mengembalikan sampah ke pihak yang ditunjuk supaya perusahaan juga dapat melaksanakan tanggung jawabnya.

 

Pemerintah juga memiliki peran penting dalam efektivitas pelaksanaan UU tersebut. Sebagai pilihan, pemerintah dapat membuat peraturan bagi produsen untuk mengeluarkan dana CSR wajib yang akan dipergunakan untuk pengelolaan sampah di daerah-daerah.

 

Pengelolaan sampah di setiap daerah dapat mengadopsi berbagai jenis teknologi. TPA dapat pelan-pelan dilakukan transisi menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) untuk mengolah sampah yang telanjur menggunung. Sampah-sampahnya dapat mulai diolah menggunakan sistem Refused-Derived Fuel (RDF) yang dapat mengubah sampah menjadi energi terbarukan.

 

Selain itu, untuk mengolah sampah organik menggunakan lalat tentara hitam (black soldier fly/BSF) juga menjadi langkah yang tepat. BSF dapat mengubah sampah organik menjadi pupuk organik yang selain bermanfaat bagi pertanian juga aman bagi lingkungan.

 

Intinya permasalahan sampah teratasi apabila semua elemen saling berkolaborasi. Sebagai masyarakat Indonesia, semboyan kebhinekaan tentu tidak asing lagi. Maka, penyelesaian masalah sampah dapat ditanggulangi dengan cara yang beragam oleh semua elemen. Melakukan dengan tujuan yang sama dan didukung dengan sistem yang ajeg.

 

Salah satu narasi sederhana, tetapi penting untuk direnungkan. “Sampah bukan untuk dibuang, tetapi diletakkan pada tempatnya”. Tempat yang tepat dan dapat mengolahnya. Pergeseran paradigma ini akan membentuk kultur yang positif untuk menuju Indonesia bersih dari egoisme nyampah dan sampah. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/26/sampah-bukan-untuk-dibuang/

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar