Senin, 23 Agustus 2021

 

Menyoal Asesmen Nasional dan Kecakapan Digital

Moch. Abduh ;  Pengembang Teknologi Pembelajaran Ahli Utama Pusdatin

JAWA POS, 20 Agustus 2021

 

 

                                                           

TIDAK lama lagi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) akan punya hajat besar nasional. Jika tidak ada aral melintang, sebulan lagi, tepatnya minggu keempat September 2021, akan memulai menyelenggarakan Asesmen Nasional (AN) yang di dalamnya terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survey Karakter (SK), dan Survey Lingkungan Belajar (SLB). AKM akan mengukur literasi membaca dan literasi matematika atau numerasi siswa kelas 5, 8 dan 11. Materi yang diukur pada asesmen kognitif ini bersifat esensial serta berkelanjutan lintas kelas dan lintas jenjang pendidikan.

 

Siswa kelas 5 akan mengerjakan sejumlah 30 soal untuk masing-masing literasi membaca dan numerasi. Sedangkan siswa kelas 8 dan 11 akan mengerjakan 36 soal untuk masing-masing jenis literasi. AKM dilaksanakan secara adaptif, sehingga setiap siswa akan menempuh soal yang sesuai dengan kemampuan siswa sendiri. SK akan mengukur sikap, nilai, keyakinan, dan kebiasaan yang mencerminkan karakter murid. Memiliki tujuan untuk memprediksi tindakan dan kinerja murid di berbagai konteks yang relevan.

 

SK ini untuk memastikan apakah proses belajar-mengajar di sekolah mengembangkan potensi murid secara utuh, baik kognitif dan non kognitif. Sedangkan SLB akan mengukur kualitas berbagai aspek input dan proses belajar-mengajar di kelas maupun di tingkat satuan pendidikan dan bertujuan menggali informasi mengenai kualitas proses pembelajaran dan iklim sekolah yang menunjang pembelajaran.

 

Semula, AN direncanakan untuk diselenggarakan mulai bulan Maret 2021, namun karena beberapa pertimbangan (salah satunya hal ikhwal pandemi Covid-19) maka diputuskan penundaan awal pelaksanaannya menjadi bulan September 2021. Penyelenggaraannya akan diawali untuk jenjang SMK/MAK dan Paket C pada tanggal 20–23 September 2021, selanjutnya jenjang SMA/MA tanggal 27–30 September 2021, dilanjutkan jenjang SMP/MTs dan Paket B tanggal 4–7 Oktober 2021, dan diakhiri untuk jenjang SD/MI dan Paket A dalam 2 tahap, tanggal 8–11 dan 15–18 November 2021 (Pusat Asesmen dan Pembelajaran, 2021).

 

Selayaknya penyelenggaraan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), semua penyelenggaraan AN pada setiapnya jenjangnya selalu diawali dengan kegiatan Simulasi dan Gladi Bersih. Simulasi adalah kegiatan uji coba pelaksanaan AN untuk melihat kesiapan sarana prasarana di sekolah, sistem/aplikasi AN, dan hal-hal teknis lainnya. Sedangkan Gladi Bersih adalah kegiatan uji coba pelaksanaan AN untuk memastikan pelaksanaan AN dapat terselenggara dengan baik dan lancar.

 

Sebagaimana diketahui khalayak, melalui salah satu butir di Merdeka Belajar jilid 1, di penghujung tahun 2019 saat itu masih bernomenklatur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memutuskan mengganti Ujian Nasional (UN) dengan AKM pada tahun pelajaran 2020/2021. Blessing in disguise, akibat Pandemi Covid-19 penyelenggaraan UN ditiadakan di tahun pelajaran 2019/2020, kecuali yang sudah diselenggarakan di jenjang SMK di sebagian besar propinsi.

 

Maknanya adalah UN tidak diselenggarakan satu tahun lebih cepat dari yang direncanakan di Merdeka Belajar jilid 1. Sudah seharusnya kondisi ini dimanfaatkan betul untuk memaksimalkan semua potensi dan energi yang dimiliki Kemendikbudristek agar pelaksanaan AKM di tahun pelajaran 2020/2021 terselenggara lebih baik dan optimal.

 

Sebagai instrumen alat ukur pengganti UN, AKM diikhtiarkan menjadi pengukur kompetensi literasi dan numerasi merujuk pada survey-survey internasional yang lazim diikuti banyak negara diantaranya PISA (Programme for International Student Assessment) dan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study). Hal yang membedakannya dengan survey-survey internasional tersebut, bahwa penyelenggaraan AKM hanya mengukur kemampuan/kompetensi literasi dan numerasi. Sementara untuk kompetensi sains, sebagaimana yang dilakukan di survey-survey tersebut, bukan termasuk domain yang akan diukur tingkat kompetensinya di AKM.

 

Ini menjadi salah satu justifikasi mengapa asesmen kompetensi tersebut menggunakan label minimum. Penyebutan kata minimum juga merujuk pada jenis dan jumlah kompetensi yang akan diukur. Tidak semua Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) dalam Kurikulum 2013 akan diukur dalam asesmen kompetensi tersebut. Selain itu juga pada targeting group, label minimum digunakan karena asesmen kompetensi dimaksud akan menyasar sebagian peserta didik kelas 5, 8 dan 11 yang dipilih secara acak dari semua SD/MI/Sederajat, SMP/MTs/Sederajat, dan SMA/SMK/Sederajat baik negeri maupun swasta.

 

Kemendikbudristek sudah memantapkan diri untuk menyelenggarakan AKM dengan moda asesmen berbasis komputer baik bersifat online maupun semi online, sesuai karakteristik sekolah dan daerah masing-masing. Pilihan ini tepat karena jumlah peserta didik yang disasar di semua SD, SMP, dan SMA/SMK tersebut secara kuantita tergolong sangat besar. Menurut data pokok pendidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah di jenjang SD terdapat 149.137 sekolah dan 24.721.326 siswa, SMP sebanyak 40.599 sekolah dan 9.886.064 siswa, SMA sebanyak 13.897 sekolah dan 4.842.477 siswa dan SMK sebanyak 14.211 sekolah dan 5.031.846 siswa (Dapodik, Juni 2020).

 

Sesuai deain pelaksanaan, penyelenggaraan AKM diikuti oleh 30 siswa per satuan pendidikan jenjang SD dan 45 siswa per satuan pendidikan jenjang SMP, SMA, dan SMK maka jumlah peserta diproyeksikan sekitar 7,57 juta siswa terdiri dari 4,47 juta siswa SD, 1,83 juta siswa SMP, 0,63 juta siswa SMA, dan 0,64 juta siswa SMK akan berpartisipasi dalam AKM tersebut. Proyeksi jumlah 7,57 juta peserta itu baru untuk jumlah siswa calon peserta AKM.

 

Proyeksi angka itu akan semakin berlipat manakala ditambah dengan jumlah semua pendidik dan kepala sekolah yang akan mejadi responden SLB. Meski ada sedikit kegamangan besaran 30 siswa per sekolah di jenjang SD dan 45 siswa per sekolah di jenjang SMP, SMA dan SMK yang dirasakan cukup sedikit, total peserta AKM sebesar itu tetap merupakan angka yang sangat besar. Pun mobilisasi yang dibutuhkan dalam rangka deployment test-nya sudah pasti tidak bakal sederhana. Bandingkan dengan jumlah total peserta UN tahun 2019 sebesar 8,26 juta siswa (itupun termasuk madrasah dan program Paket B dan C). Beberapa pihak bahkan mengklaimnya sebagai high stake assessment. Dari jumlah peserta UN tersebut terdapat 3,2 juta siswa SMP, 1,5 juta siswa SMA dan 1,5 juta siswa SMK, sementara di jenjang SD tidak ada penyelenggaraan UN.

 

Dibandingkan penyelenggaraan berbasis kertas dan pensil, AKM berbasis komputer ini juga merupakan salah satu solusi untuk menghilangkan permasalahan kebocoran soal-soal dan praktik-praktik kecurangan yang selama ini masih sering terjadi sebelumnya di beberapa titik simpul ketika dilaksanakan. Juga bisa mempersingkat alur distribusi soal yang selama itu sangat kompleks dan lama. Pada praktiknya, penyelenggaraan asesmen berbasis komputer diyakini membuat peserta didik lebih senang karena tidak disibukkan dengan menghitamkan lingkaran di lembar jawaban yang cenderung membosankan, apalagi bagi siswa SD.

 

Meski demikian, asesmen berbasis komputer selama ini masih menyisakan beberapa permasalahan dan kelemahan teknis yang harus segera dicarikan penyelesaiannya. Mulai dari belum meratanya pelaksanaan karena infrastuktur belum memadai, sampai kecepatan koneksi internet yang berbeda-beda antar sekolah dan antar daerah. Di samping itu, masih sering terjadi pula permasalahan-permasalahan yang bersifat teknis misalnya komputer server dan komputer client yang tiba-tiba log off dan lambat, munculnya virus dan pop up browser yang sering tampil.

 

Secara umum, hal tersebut sering dimaknai sebagai Digital Divide (kesenjangan kecakapan digital). Wacana Digital Divide sendiri secara historis dimulai dari isu ketimpangan jaringan kabel antar daerah urban dan rural di Amerika Serikat (Lumakto, 2017). Lalu berkembang menjadi kepemilikan Personal Computer (PC) baik di rumah tangga, instansi pemerintah publik/swasta, dan sekolah. Sejak penemuan PC yang diikuti perkembangan jaringan internet yang spektakuler, maka Digital Divide terjadi secara global. Pada dasarnya Digital Divide masih berkutat pada faktor ekonomi, daerah dan pemerataan teknologi. Bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah di desa terpencil, tentu melihat laptop menjadi suatu yang mewah. Namun dengan merubah variabel tinggal di kota, maka memiliki laptop mungkin sudah lazim, sementara memiliki smartphone mungkin menjadi barang mewah tersendiri. Jurang yang terjadi dengan kalangan menengah atas yang tinggal di perkotaan tentu akan sangat besar.

 

Ariyanti (2013) mendefinisikan Digital Divide sebagai perbedaan infostate suatu propinsi. Berdasarkan hasil perhitungan infostate, diperoleh nilai indeks digital divide tiap propinsi. Propinsi DKI Jakarta digunakan sebagai propinsi acuan untuk perhitungan digital divide karena memiliki nilai infostate paling tinggi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai indeks digital divide propinsi Papua paling besar dibanding dengan propinsi lainnya. Hal ini disebabkan infrastruktur TIK, kemampuan mengakses TIK/skill penduduk di Papua serta penggunaan TIK paling sedikit dibanding dengan propinsi lainnya. Selanjutnya propinsi Nusa Tenggara Timur pada urutan ke dua untuk tingkat kesenjangan digital karena sangat sedikit infrastruktur TIK yang dimiliki terutama infrastruktur wireless sehingga penggunaan TIK nya juga sangat sedikit. Kemudian Sulawesi Tengah berada pada posisi tiga karena infrastruktur wirelessnya sangat sedikit, tidak sebanding dengan penduduknya sehingga kemajuan TIK nya sangat lambat.

 

Tingkat kesenjangan kecakapan digital propinsi DIY paling sedikit dibanding dengan propinsi lainnya karena infrastruktur wireless di DIY paling besar setelah DKI Jakarta. Selain itu jumlah mahasiswa di DIY paling besar setelah DKI Jakarta, dengan demikian skill atau kemampuan untuk mengakses TIK besar pula. Tingkat penggunaan TIK di DIY juga sangat besar karena kemudahan untuk mengaksesnya baik fasilitas maupun kemampuan untuk mengakses serta skil yang dimiliki cukup tinggi. Sehingga apabila terjadi sesuatu masalah mengenai gangguan jaringan atau peralatan TIK, penduduk DIY cukup handal untuk menanganinya.

 

Dalam pelaksanaan AKM, kesenjangan ini bisa merupakan gap kemampuan digital antar peserta didik atau bisa juga dimaknasi sebagai gap area geografis yaitu antar sekolah atau antar daerah. Sebenarnya digital divide mencerminkan beragam kesenjangan dalam pemanfaatan telematika dan akibat perbedaan pemanfaatannya dalam sebuah proses kegiatan. Perbedaan tersebut belum tentu disebabkan oleh akses ke internet saja. Faktor lain adalah kualitas koneksi dan layanan terkait yang harus dipertimbangkan. Yang paling sering dihubungkan adalah ketersediaan akses dengan biaya terjangkau dengan cepat dan berkualitas. Oleh karena terobosan untuk mengurangi kesenjangan digital ini bahkan menutupnya bila memungkinkan menjadi hal yang sangat prioritas diselesaikan.

 

Tentu saja tantangan terberat penyelenggaraan AKM dipastikan terjadi pada jenjang SD. Tidak saja karena jumlah satuan pendidikannya yang sangat banyak, juga sedikitnya jumlah dan jenis penyelenggaraan asesmen berbasis komputer disana. Tantangan ini menjadi semakin kompleks memperhatikan kenyataan bahwa disparitas kemampuan yang mereka miliki sangat lebar pada kemampuan sumber daya manusia-nya, guru, kepala sekolah, proktor dan teknisi. Termasuk kemampuan literasi digital dan familiarisasi siswa terhadap perangkat asesmen yang akan digunakan. Juga kemampuan penyediaan infrastruktur diantaranya perangkat, listrik dan jaringan internet di lokasi SD tersebut berada.

 

Dari fenomena kesenjangan kecakapan digital ini, Kemendikbudristek perlu menyiapkan dan melakukan beberapa langkah antisipasi agar pelaksanaan AKM bisa terselenggara lebih baik. Pertama, melakukan koordinasi teknis dengan kementerian lain/lembaga/pemerintah provinsi/kabupaten/kota untuk menuntaskan model-model alternatif pemenuhan kebutuhan infrastuktur dan fasilitas penyelenggaraan AKM.

 

Kedua, memberikan tindakan afirmasi digital bagi propinsi yang indeks kesenjangan digital-nya rendah bekerjasama dengan pemerintah provinsi terkait. Ketiga, mencermati ulang mitigasi permasalahan berikut penyelesaiannya dan peta resiko saat penyelenggaraan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun-tahun sebelumnya.

 

Keempat, memastikan proses verifikasi dan validasi siswa dan sekolah peserta AKM terlaksana dengan baik via system to system dengan sistem pendataan EMIS di Kemenag. Kelima, melakukan pemerataan infrastuktur dan fasilitas penyelenggaraan AKM. Keenam, melakukan intensifikasi pelatihan dan workshop bagi proktor, teknisi, guru, siswa dan pihak pemangku kepentingan lain yang terlibat dalam pelaksanaan AKM.

 

Ketujuh, memberikan pembekalan teknis kepada petugas pusat yang akan melaksanakan pelatihan dan verifikasi sekolah-sekolah penyelenggara. Kedelapan, melakukan kerjasama dengan penyedia jasa untuk melakukan pemerataan dan penyamaan kadar koneksi jaringan internet antar sekolah dan antar daerah. Kesembilan, melibatkan semakin banyak perguruan tinggi negeri untuk mendapatkan dukungan secara teknis dalam hal resource sharing perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang dimiliki.

 

Kesepuluh, melakukan monitoring terus menerus terkait kesiapan, saat dan setelah penyelenggaraan AKM. Terakhir kesebelas, mengingat bahwa AKM ini baru pertama kali dilaksanakan maka perlu disiapkan waktu khusus untuk familiarisasi/latihan pengerjaan soal beberapa menit sebelum waktu penyelenggaraan AKM yang sudah terjadwal.

 

Sudah barang tentu derajat kesulitan penyelenggaraan AN akan semakin meningkat manakala Pandemi Covid-19 secara nasional tidak segera kunjung berakhir, apalagi muncul kecenderungan meningkat di sebagian besar propinsi khususnya di luar Jawa. Ibarat sebuah kendaraan, Kemendikbudristek harus menggunakan double gardan agar pelaksanaan AN tersebut dapat terselenggara dengan baik, aman dan lancar.

 

Gardan depan untuk meneruskan tenaga putar yang dimiliki Kemendikbudristek agar pelaksanaan AN dapat bergerak terselenggara dengan tingkat kecakapan digital sesuai yang dibutuhkan. Gardan belakang untuk memperbesar momen tenaga yang dihasilkan sehingga pelaksanaan AN dapat leluasa bergerak merdeka dari Pandemi Covid-19. Jika abai dan gagal menyikapi hal ini dengan baik dan cermat, sangat mungkin akan terjadi penundaan pelaksanaan AN untuk kedua kalinya. Tentu saja situasi ini menjadi sebuah tantangan tambahan yang mustahil diselesaikan Kemendikbudristek sendirian.

 

Sumber :  https://www.jawapos.com/opini/20/08/2021/menyoal-asesmen-nasional-dan-kecakapan-digital/?page=all

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar