Menyoal
Asesmen Nasional dan Kecakapan Digital Moch. Abduh ; Pengembang Teknologi Pembelajaran Ahli Utama
Pusdatin |
JAWA POS, 20
Agustus 2021
TIDAK lama
lagi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi
(Kemendikbudristek) akan punya hajat besar nasional. Jika tidak ada aral
melintang, sebulan lagi, tepatnya minggu keempat September 2021, akan memulai
menyelenggarakan Asesmen Nasional (AN) yang di dalamnya terdiri dari Asesmen
Kompetensi Minimum (AKM), Survey Karakter (SK), dan Survey Lingkungan Belajar
(SLB). AKM akan mengukur literasi membaca dan literasi matematika atau
numerasi siswa kelas 5, 8 dan 11. Materi yang diukur pada asesmen kognitif
ini bersifat esensial serta berkelanjutan lintas kelas dan lintas jenjang
pendidikan. Siswa kelas 5
akan mengerjakan sejumlah 30 soal untuk masing-masing literasi membaca dan
numerasi. Sedangkan siswa kelas 8 dan 11 akan mengerjakan 36 soal untuk
masing-masing jenis literasi. AKM dilaksanakan secara adaptif, sehingga
setiap siswa akan menempuh soal yang sesuai dengan kemampuan siswa sendiri.
SK akan mengukur sikap, nilai, keyakinan, dan kebiasaan yang mencerminkan
karakter murid. Memiliki tujuan untuk memprediksi tindakan dan kinerja murid
di berbagai konteks yang relevan. SK ini untuk
memastikan apakah proses belajar-mengajar di sekolah mengembangkan potensi
murid secara utuh, baik kognitif dan non kognitif. Sedangkan SLB akan
mengukur kualitas berbagai aspek input dan proses belajar-mengajar di kelas
maupun di tingkat satuan pendidikan dan bertujuan menggali informasi mengenai
kualitas proses pembelajaran dan iklim sekolah yang menunjang pembelajaran. Semula, AN
direncanakan untuk diselenggarakan mulai bulan Maret 2021, namun karena
beberapa pertimbangan (salah satunya hal ikhwal pandemi Covid-19) maka
diputuskan penundaan awal pelaksanaannya menjadi bulan September 2021.
Penyelenggaraannya akan diawali untuk jenjang SMK/MAK dan Paket C pada
tanggal 20–23 September 2021, selanjutnya jenjang SMA/MA tanggal 27–30
September 2021, dilanjutkan jenjang SMP/MTs dan Paket B tanggal 4–7 Oktober
2021, dan diakhiri untuk jenjang SD/MI dan Paket A dalam 2 tahap, tanggal
8–11 dan 15–18 November 2021 (Pusat Asesmen dan Pembelajaran, 2021). Selayaknya
penyelenggaraan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), semua
penyelenggaraan AN pada setiapnya jenjangnya selalu diawali dengan kegiatan
Simulasi dan Gladi Bersih. Simulasi adalah kegiatan uji coba pelaksanaan AN
untuk melihat kesiapan sarana prasarana di sekolah, sistem/aplikasi AN, dan
hal-hal teknis lainnya. Sedangkan Gladi Bersih adalah kegiatan uji coba
pelaksanaan AN untuk memastikan pelaksanaan AN dapat terselenggara dengan
baik dan lancar. Sebagaimana
diketahui khalayak, melalui salah satu butir di Merdeka Belajar jilid 1, di
penghujung tahun 2019 saat itu masih bernomenklatur Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan telah memutuskan mengganti Ujian Nasional (UN) dengan AKM pada
tahun pelajaran 2020/2021. Blessing in disguise, akibat Pandemi Covid-19
penyelenggaraan UN ditiadakan di tahun pelajaran 2019/2020, kecuali yang
sudah diselenggarakan di jenjang SMK di sebagian besar propinsi. Maknanya
adalah UN tidak diselenggarakan satu tahun lebih cepat dari yang direncanakan
di Merdeka Belajar jilid 1. Sudah seharusnya kondisi ini dimanfaatkan betul
untuk memaksimalkan semua potensi dan energi yang dimiliki Kemendikbudristek
agar pelaksanaan AKM di tahun pelajaran 2020/2021 terselenggara lebih baik
dan optimal. Sebagai
instrumen alat ukur pengganti UN, AKM diikhtiarkan menjadi pengukur
kompetensi literasi dan numerasi merujuk pada survey-survey internasional
yang lazim diikuti banyak negara diantaranya PISA (Programme for
International Student Assessment) dan TIMSS (Trends in International Mathematics
and Science Study). Hal yang membedakannya dengan survey-survey internasional
tersebut, bahwa penyelenggaraan AKM hanya mengukur kemampuan/kompetensi
literasi dan numerasi. Sementara untuk kompetensi sains, sebagaimana yang
dilakukan di survey-survey tersebut, bukan termasuk domain yang akan diukur
tingkat kompetensinya di AKM. Ini menjadi
salah satu justifikasi mengapa asesmen kompetensi tersebut menggunakan label
minimum. Penyebutan kata minimum juga merujuk pada jenis dan jumlah
kompetensi yang akan diukur. Tidak semua Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi
Dasar (KD) dalam Kurikulum 2013 akan diukur dalam asesmen kompetensi
tersebut. Selain itu juga pada targeting group, label minimum digunakan
karena asesmen kompetensi dimaksud akan menyasar sebagian peserta didik kelas
5, 8 dan 11 yang dipilih secara acak dari semua SD/MI/Sederajat,
SMP/MTs/Sederajat, dan SMA/SMK/Sederajat baik negeri maupun swasta. Kemendikbudristek
sudah memantapkan diri untuk menyelenggarakan AKM dengan moda asesmen
berbasis komputer baik bersifat online maupun semi online, sesuai
karakteristik sekolah dan daerah masing-masing. Pilihan ini tepat karena
jumlah peserta didik yang disasar di semua SD, SMP, dan SMA/SMK tersebut
secara kuantita tergolong sangat besar. Menurut data pokok pendidikan
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah
di jenjang SD terdapat 149.137 sekolah dan 24.721.326 siswa, SMP sebanyak
40.599 sekolah dan 9.886.064 siswa, SMA sebanyak 13.897 sekolah dan 4.842.477
siswa dan SMK sebanyak 14.211 sekolah dan 5.031.846 siswa (Dapodik, Juni
2020). Sesuai deain
pelaksanaan, penyelenggaraan AKM diikuti oleh 30 siswa per satuan pendidikan
jenjang SD dan 45 siswa per satuan pendidikan jenjang SMP, SMA, dan SMK maka
jumlah peserta diproyeksikan sekitar 7,57 juta siswa terdiri dari 4,47 juta
siswa SD, 1,83 juta siswa SMP, 0,63 juta siswa SMA, dan 0,64 juta siswa SMK
akan berpartisipasi dalam AKM tersebut. Proyeksi jumlah 7,57 juta peserta itu
baru untuk jumlah siswa calon peserta AKM. Proyeksi angka
itu akan semakin berlipat manakala ditambah dengan jumlah semua pendidik dan
kepala sekolah yang akan mejadi responden SLB. Meski ada sedikit kegamangan
besaran 30 siswa per sekolah di jenjang SD dan 45 siswa per sekolah di
jenjang SMP, SMA dan SMK yang dirasakan cukup sedikit, total peserta AKM
sebesar itu tetap merupakan angka yang sangat besar. Pun mobilisasi yang
dibutuhkan dalam rangka deployment test-nya sudah pasti tidak bakal
sederhana. Bandingkan dengan jumlah total peserta UN tahun 2019 sebesar 8,26
juta siswa (itupun termasuk madrasah dan program Paket B dan C). Beberapa
pihak bahkan mengklaimnya sebagai high stake assessment. Dari jumlah peserta
UN tersebut terdapat 3,2 juta siswa SMP, 1,5 juta siswa SMA dan 1,5 juta
siswa SMK, sementara di jenjang SD tidak ada penyelenggaraan UN. Dibandingkan
penyelenggaraan berbasis kertas dan pensil, AKM berbasis komputer ini juga
merupakan salah satu solusi untuk menghilangkan permasalahan kebocoran
soal-soal dan praktik-praktik kecurangan yang selama ini masih sering terjadi
sebelumnya di beberapa titik simpul ketika dilaksanakan. Juga bisa
mempersingkat alur distribusi soal yang selama itu sangat kompleks dan lama.
Pada praktiknya, penyelenggaraan asesmen berbasis komputer diyakini membuat peserta
didik lebih senang karena tidak disibukkan dengan menghitamkan lingkaran di
lembar jawaban yang cenderung membosankan, apalagi bagi siswa SD. Meski
demikian, asesmen berbasis komputer selama ini masih menyisakan beberapa
permasalahan dan kelemahan teknis yang harus segera dicarikan
penyelesaiannya. Mulai dari belum meratanya pelaksanaan karena infrastuktur
belum memadai, sampai kecepatan koneksi internet yang berbeda-beda antar
sekolah dan antar daerah. Di samping itu, masih sering terjadi pula permasalahan-permasalahan
yang bersifat teknis misalnya komputer server dan komputer client yang
tiba-tiba log off dan lambat, munculnya virus dan pop up browser yang sering
tampil. Secara umum,
hal tersebut sering dimaknai sebagai Digital Divide (kesenjangan kecakapan
digital). Wacana Digital Divide sendiri secara historis dimulai dari isu
ketimpangan jaringan kabel antar daerah urban dan rural di Amerika Serikat
(Lumakto, 2017). Lalu berkembang menjadi kepemilikan Personal Computer (PC)
baik di rumah tangga, instansi pemerintah publik/swasta, dan sekolah. Sejak
penemuan PC yang diikuti perkembangan jaringan internet yang spektakuler,
maka Digital Divide terjadi secara global. Pada dasarnya Digital Divide masih
berkutat pada faktor ekonomi, daerah dan pemerataan teknologi. Bagi kalangan
ekonomi menengah ke bawah di desa terpencil, tentu melihat laptop menjadi
suatu yang mewah. Namun dengan merubah variabel tinggal di kota, maka
memiliki laptop mungkin sudah lazim, sementara memiliki smartphone mungkin
menjadi barang mewah tersendiri. Jurang yang terjadi dengan kalangan menengah
atas yang tinggal di perkotaan tentu akan sangat besar. Ariyanti
(2013) mendefinisikan Digital Divide sebagai perbedaan infostate suatu
propinsi. Berdasarkan hasil perhitungan infostate, diperoleh nilai indeks
digital divide tiap propinsi. Propinsi DKI Jakarta digunakan sebagai propinsi
acuan untuk perhitungan digital divide karena memiliki nilai infostate paling
tinggi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai indeks digital divide propinsi
Papua paling besar dibanding dengan propinsi lainnya. Hal ini disebabkan
infrastruktur TIK, kemampuan mengakses TIK/skill penduduk di Papua serta
penggunaan TIK paling sedikit dibanding dengan propinsi lainnya. Selanjutnya
propinsi Nusa Tenggara Timur pada urutan ke dua untuk tingkat kesenjangan
digital karena sangat sedikit infrastruktur TIK yang dimiliki terutama
infrastruktur wireless sehingga penggunaan TIK nya juga sangat sedikit.
Kemudian Sulawesi Tengah berada pada posisi tiga karena infrastruktur
wirelessnya sangat sedikit, tidak sebanding dengan penduduknya sehingga
kemajuan TIK nya sangat lambat. Tingkat
kesenjangan kecakapan digital propinsi DIY paling sedikit dibanding dengan
propinsi lainnya karena infrastruktur wireless di DIY paling besar setelah
DKI Jakarta. Selain itu jumlah mahasiswa di DIY paling besar setelah DKI
Jakarta, dengan demikian skill atau kemampuan untuk mengakses TIK besar pula.
Tingkat penggunaan TIK di DIY juga sangat besar karena kemudahan untuk
mengaksesnya baik fasilitas maupun kemampuan untuk mengakses serta skil yang
dimiliki cukup tinggi. Sehingga apabila terjadi sesuatu masalah mengenai
gangguan jaringan atau peralatan TIK, penduduk DIY cukup handal untuk
menanganinya. Dalam
pelaksanaan AKM, kesenjangan ini bisa merupakan gap kemampuan digital antar
peserta didik atau bisa juga dimaknasi sebagai gap area geografis yaitu antar
sekolah atau antar daerah. Sebenarnya digital divide mencerminkan beragam
kesenjangan dalam pemanfaatan telematika dan akibat perbedaan pemanfaatannya
dalam sebuah proses kegiatan. Perbedaan tersebut belum tentu disebabkan oleh
akses ke internet saja. Faktor lain adalah kualitas koneksi dan layanan
terkait yang harus dipertimbangkan. Yang paling sering dihubungkan adalah
ketersediaan akses dengan biaya terjangkau dengan cepat dan berkualitas. Oleh
karena terobosan untuk mengurangi kesenjangan digital ini bahkan menutupnya
bila memungkinkan menjadi hal yang sangat prioritas diselesaikan. Tentu saja
tantangan terberat penyelenggaraan AKM dipastikan terjadi pada jenjang SD.
Tidak saja karena jumlah satuan pendidikannya yang sangat banyak, juga
sedikitnya jumlah dan jenis penyelenggaraan asesmen berbasis komputer disana.
Tantangan ini menjadi semakin kompleks memperhatikan kenyataan bahwa
disparitas kemampuan yang mereka miliki sangat lebar pada kemampuan sumber
daya manusia-nya, guru, kepala sekolah, proktor dan teknisi. Termasuk
kemampuan literasi digital dan familiarisasi siswa terhadap perangkat asesmen
yang akan digunakan. Juga kemampuan penyediaan infrastruktur diantaranya
perangkat, listrik dan jaringan internet di lokasi SD tersebut berada. Dari fenomena
kesenjangan kecakapan digital ini, Kemendikbudristek perlu menyiapkan dan
melakukan beberapa langkah antisipasi agar pelaksanaan AKM bisa terselenggara
lebih baik. Pertama, melakukan koordinasi teknis dengan kementerian
lain/lembaga/pemerintah provinsi/kabupaten/kota untuk menuntaskan model-model
alternatif pemenuhan kebutuhan infrastuktur dan fasilitas penyelenggaraan
AKM. Kedua,
memberikan tindakan afirmasi digital bagi propinsi yang indeks kesenjangan
digital-nya rendah bekerjasama dengan pemerintah provinsi terkait. Ketiga,
mencermati ulang mitigasi permasalahan berikut penyelesaiannya dan peta
resiko saat penyelenggaraan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK)
tahun-tahun sebelumnya. Keempat,
memastikan proses verifikasi dan validasi siswa dan sekolah peserta AKM
terlaksana dengan baik via system to system dengan sistem pendataan EMIS di
Kemenag. Kelima, melakukan pemerataan infrastuktur dan fasilitas
penyelenggaraan AKM. Keenam, melakukan intensifikasi pelatihan dan workshop
bagi proktor, teknisi, guru, siswa dan pihak pemangku kepentingan lain yang
terlibat dalam pelaksanaan AKM. Ketujuh,
memberikan pembekalan teknis kepada petugas pusat yang akan melaksanakan
pelatihan dan verifikasi sekolah-sekolah penyelenggara. Kedelapan, melakukan
kerjasama dengan penyedia jasa untuk melakukan pemerataan dan penyamaan kadar
koneksi jaringan internet antar sekolah dan antar daerah. Kesembilan, melibatkan
semakin banyak perguruan tinggi negeri untuk mendapatkan dukungan secara
teknis dalam hal resource sharing perangkat teknologi informasi dan
komunikasi yang dimiliki. Kesepuluh,
melakukan monitoring terus menerus terkait kesiapan, saat dan setelah penyelenggaraan
AKM. Terakhir kesebelas, mengingat bahwa AKM ini baru pertama kali
dilaksanakan maka perlu disiapkan waktu khusus untuk familiarisasi/latihan
pengerjaan soal beberapa menit sebelum waktu penyelenggaraan AKM yang sudah
terjadwal. Sudah barang
tentu derajat kesulitan penyelenggaraan AN akan semakin meningkat manakala
Pandemi Covid-19 secara nasional tidak segera kunjung berakhir, apalagi
muncul kecenderungan meningkat di sebagian besar propinsi khususnya di luar
Jawa. Ibarat sebuah kendaraan, Kemendikbudristek harus menggunakan double
gardan agar pelaksanaan AN tersebut dapat terselenggara dengan baik, aman dan
lancar. Gardan depan
untuk meneruskan tenaga putar yang dimiliki Kemendikbudristek agar
pelaksanaan AN dapat bergerak terselenggara dengan tingkat kecakapan digital
sesuai yang dibutuhkan. Gardan belakang untuk memperbesar momen tenaga yang
dihasilkan sehingga pelaksanaan AN dapat leluasa bergerak merdeka dari
Pandemi Covid-19. Jika abai dan gagal menyikapi hal ini dengan baik dan cermat,
sangat mungkin akan terjadi penundaan pelaksanaan AN untuk kedua kalinya.
Tentu saja situasi ini menjadi sebuah tantangan tambahan yang mustahil
diselesaikan Kemendikbudristek sendirian. ● Sumber : https://www.jawapos.com/opini/20/08/2021/menyoal-asesmen-nasional-dan-kecakapan-digital/?page=all |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar