Senin, 23 Agustus 2021

 

Merayakan Tradisi Menjaga Subak dan Komodo

Rasid Rachman ;  Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

KOMPAS, 22 Agustus 2021

 

 

                                                           

Harian Kompas, Rabu (4/8/2021) halaman 15, memuat berita bahwa UNESCO kembali menyampaikan ”peringatan untuk Indonesia” atas satu masalah, yakni budaya, dengan dua kasus. Kasus pertama, subak, lanskap di Catur Angga Batukaru, yang dikenal sebagai obyek wisata persawahan berundak-undak (terasering) di Jatiluwih. Kedua, Taman Nasional Komodo dengan keberadaan komodo.

 

Saya menyatukan kedua kasus tersebut karena masalah tersebut berkaitan langsung dengan warisan dan tradisi. Kedua kasus tersebut bernilai budaya dalam mengatur kehidupan bermasyarakat secara harmonis.

 

Masalahnya, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) melihat kedua warisan dunia tersebut, yaitu subak dan komodo, melulu pada soal kunjungan wisatawan. Pihak KLHK menghargai usulan UNESCO untuk TN Komodo. Namun, KLHK menegaskan bahwa pembangunan tersebut bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas kunjungan dengan skala internasional (Media Indonesia, 4 Agustus 2021). Kasus subak adalah kejaran industri wisata yang menyebabkan krisis sosial di Bali (Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol. 42 No. 2, Desember 2016). Apakah subak dan komodo di TN Komodo hanya soal industri wisata?

 

Tampilan dan terkandung

 

Subak, secara tampilan, adalah sistem irigasi pengairan sawah di Bali. Banyak wisatawan memotret persawahan berundak ini. Namun, subak menyimpan kandungan sistem budaya dan adat.

 

Filosofi subak adalah harmonisasi hubungan timbal balik manusia dengan Sang Pencipta dan manusia dengan sesama dan dunia sekitar. Air persawahan dibagi secara adil menurut adat. Adat mengacu pada kerja manusia dalam mengolah alam. Subak merupakan perekat masyarakat demi menjaga keadilan, kedamaian, keutuhan ciptaan, dan hidup harmonis dengan alam.

 

Komodo (Varanus komodoensis) adalah salah satu hewan purba yang hidup hanya di Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan beberapa pulau lain di sekitarnya, di Indonesia. Sekalipun terkenal, keberadaan komodo hanya di sebagian kecil wilayah Nusantara.

 

Pada satu sisi, secara tampilan, komodo adalah obyek wisata. Para pelancong tertarik untuk mengetahui cara komodo memburu dan memakan mangsa, ukurannya, berkembang biak, menjalani kehidupan, lama umurnya, kekuatan dan daya tahannya. Bagi Indonesia, komodo adalah devisa.

 

Pada lain sisi, melihat komodo dari perspektif budaya. Bagi masyarakat lokal di pulau-pulau tersebut, komodo, atau disebut ora, adalah leluhur. Bagi masyarakat Indonesia, TN Komodo adalah kebanggaan dan keunikan. Bagi sebagian masyarakat dunia, tubuh komodo sepola dengan semua reptil sejenis, seperti cicak, buaya, kadal, bunglon, tokek, adalah ”nenek moyang”. Pola dasar reptil ini berupa gambar di rumah atau kampung adat, profil kain dan busana adat, dan tato tubuh.

 

Baik subak maupun komodo harus dilihat dalam perspektif adat dan budaya. Subak dan komodo menata dan menjaga fungsi ekologi, sosial, budaya, dan spiritual masyarakat. Tentu, hal memelihara dan mengangkat budaya tidak lantas mengabaikan nilai ekonomi. Namun, masalahnya, mengangkat nilai ekonomi sering kali mengorbankan nilai adat dan budaya.

 

Meritualkan tradisi

 

Sekalipun subak di Bali dan komodo di Nusa Tenggara Timur bukan tampilan ritus semacam festival, kedua hal tersebut adalah ritus hidup berdasarkan keberadaannya. Berdasarkan tiga pandangan Catherine Bell tentang ritual, pertama, ritual merupakan aksi tampilan. Ritus menampilkan kebiasaan dan rutinitas tanpa rencana dan berjalan dengan sendirinya karena didorong oleh gelora dan dinamika kehidupan yang terekspresi secara fisik. Ritual hidup mampu bertahan selama berada di habitatnya secara alami.

 

Indonesia menyimpan kekayaan hewani dan alami yang dipelihara oleh masyarakat setempat. Hewan dan alam tetap terjaga dengan baik selama terjaga habitatnya, yaitu lingkungan tanah, air, udara, dan sistem kehidupannya. Sebaliknya, hewan dan alam menjadi bencana ketika manusia mengubah, sekalipun tidak sampai merusak, habitat. Menjaga subak dan komodo adalah dengan membiarkan mereka hidup menurut cara alami di habitatnya. Memanjakan turis dengan resor, jembatan megah, dan jalan mulus akan membunuh kedua makhluk itu.

 

Kedua, ritual merupakan mekanisme yang membentuk dan menjaga interaksi sosial dan pengalaman individual dalam menata pembedaan pikir dan aksi. Keberadaan subak dan komodo selama ini bukan hanya mempertahankan interaksi manusia dengan manusia dan manusia dengan alam, tetapi juga menggiatkan kehidupan alam semesta.

 

Masyarakat sekitar subak dan TN Komodo rutin mengatur pola hidup, waktu mulai dan selesai bekerja, cara mencari nafkah secara elok, atau jenis asupan yang dikonsumsi. Semuanya berkaitan dengan pola saling tergantung, bukan ambisi menekan dan menguasai. Inti klasifikasi kedua ini, baik subak maupun komodo, adalah hal ketahanan sosial komunitas (community resilience). Alih fungsi makhluk pemelihara adat dan budaya ini dapat menyebabkan perubahan sosial.

 

Ketiga, ritual merupakan perekat harmonis kesatuan komunitas dari ancaman atau potensi perpecahan. Intinya, ritual merupakan jalan keluar agar kekakuan tidak menjadi satu-satunya pegangan hidup bermasyarakat. Keberadaan subak dan komodo membuat masyarakat sekitar tetap menyelesaikan masalah dengan musyawarah untuk mufakat, bukan dengan pentung, teriak-teriak, atau membangun sikap intoleransi. Keberadaan komodo mengaktifkan masyarakat selalu bekerja sama untuk saling menjaga keramahtamahan dan merasa aman dengan orang asing.

 

Memandang subak dan komodo secara ritual memperlihatkan ketergantungan dan pemeliharaan. Selama keberadaan subak dan komodo terpelihara, selama itu pula kehidupan akan terpelihara. Namun, subak dan komodo bukan hanya hal memandanginya, tetapi juga memperlakukannya.

 

Peringatan UNESCO menyadarkan bahwa untung ada lembaga internasional bidang pendidikan dan kebudayaaan. Alih-alih mengalihfungsikan ruang subak dan TN Komodo demi industri wisata, tantangan bagi pemerintah dan masyarakat kita adalah memelihara dengan membiarkan subak dan komodo eksis dan bertumbuh sebagaimana alam kehendaki. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/22/merayakan-tradisi-menjaga-warisan-subak-dan-komodo/

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar