Senin, 30 Agustus 2021

 

Meraba Wajah Pemerintahan Taliban Jilid II

Musthafa Abd Rahman ;  Wartawan Kompas di Kairo, Mesir

KOMPAS, 23 Agustus 2021

 

 

                                                           

Sudah delapan hari, yakni sejak 15 Agustus lalu, Taliban menguasai kembali kota Kabul dan negeri Afghanistan. Sebelumnya, 25 tahun silam, Taliban pernah menguasai Kabul dan sebagian besar negeri itu selama lima tahun (1996-2001). Kekuasaan Taliban ambruk akibat invasi AS ke Afghanistan tahun 2001, menyusul penolakan Taliban menyerahkan Pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden, kepada AS.

 

Kini, dunia harus menerima realitas baru, yakni tidak hanya kenyataan bahwa Taliban menguasai kembali Kabul dan negeri Afghanistan, tetapi juga realitas bahwa Taliban serta-merta menjadi kekuatan politik dan militer terkuat yang tak tertandingi di Afghanistan saat ini. Bahkan, secara psikologis Taliban melambung, mengingat narasi yang berkembang adalah mereka mampu memaksa AS mundur dari Afghanistan setelah terlibat perang 20 tahun.

 

Capaian saat ini lebih historis dibanding kemenangan Taliban tahun 1996. Saat itu mereka hanya bisa memukul mundur pasukan Shah Masood dari kota Kabul. Karena itu, sebagai pemenang, Taliban kini memegang inisiatif politik dan militer secara mutlak di Afghanistan. Dengan kata lain, Taliban bisa disebut menjelma sebagai kekuatan tunggal di Afghanistan saat ini.

 

Inilah yang memicu kecemasan dari berbagai kalangan di seantero dunia tentang masa depan Afghanistan, begitu berita jatuhnya kembali kota Kabul ke tangan Taliban bergulir pada 15 Agustus lalu.

 

Masa depan Afghanistan cukup kompleks, karena tidak hanya menyangkut situasi dalam negeri atau corak baru kehidupan di negara itu, tetapi juga terkait posisi baru Afghanistan dalam konteks geopolitik pasca mundurnya AS. Selain itu, juga terkait posisi Afghanistan pada era kekuasaan Taliban jilid II dalam konteks perang internasional melawan terorisme. Isu Afghanistan akan terus menjadi isu menarik, bahkan bisa jadi lebih seksi dibanding pada era pendudukan AS (2001-2021).

 

Pilihan masyarakat internasional, khususnya negara-negara Barat, menjadi dilematis menghadapi rezim baru Taliban di Afghanistan. Idealnya AS dan negara Barat lain tetap membangun komunikasi dengan Taliban jika ingin tetap mempunyai pengaruh dan akses lobi terhadap Taliban, sehingga aspirasi internasional untuk ikut merancang masa depan Afghanistan didengar dan terakomodasi oleh Taliban.

 

Kepentingan berbeda

 

Kepentingan terbesar internasional, khususnya AS, di Afghanistan era kekuasaan Taliban jilid II sesungguhnya ada pada isu geopolitik dan HAM. Adapun isu terorisme sudah tidak terlalu dianggap sebagai isu seksi oleh AS. Kekalahan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di lumbungnya, di Irak dan Suriah, turut melemahkan jaringan kelompok radikal yang seideologi di seluruh dunia.

 

Apalagi NIIS di Afghanistan, yang muncul mulai tahun 2014, merupakan musuh bebuyutan Taliban. NIIS dan Taliban terlibat pertempuran sengit antara tahun 2015 hingga 2017. Ada benturan kepentingan antara Taliban dan NIIS. NIIS ingin menguasai wilayah di Afghanistan, khususnya wilayah timur dan timur laut, yang dikenal sebagai basis Taliban.

 

Hal ini berbeda dengan Al Qaeda pada tahun 1990-an. Al Qaeda tidak mempunyai misi menguasai wilayah Afghanistan. Para pemimpin kelompok itu, termasuk Osama bin Laden, hanya ingin mencari tempat perlindungan di negeri tersebut. Ini yang membuat Taliban bersedia melindungi Al Qaeda. Al Qaeda, meskipun masih ada saat ini, sudah menjadi sel-sel tidur yang tidak efektif lagi. Meredupnya ancaman bahaya terorisme itu barangkali menjadi faktor utama keputusan AS mundur dari Afghanistan.

 

Adapun isu HAM dan geopolitik akan menjadi isu paling seksi di Afghanistan saat ini. Dalam konteks geopolitik, tantangan terbesar AS di Afghanistan dan Asia Tengah saat ini bukan Rusia, tetapi China. AS dan China terakhir ini terlibat perang ekonomi dan teknologi sengit. AS berusaha membendung pengaruh China di semua titik di dunia ini.

 

China kini mengincar Afghanistan dan Asia Tengah untuk dijadikan jalur perdagangan menuju Asia Selatan dan Timur Tengah sebagai bagian dari megaproyek jalur sutra. China diberitakan telah mengalokasikan dana sebanyak 60 miliar dollar AS untuk pembangunan jalur sutra dari China menuju Asia Tengah, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Afghanistan dicanangkan bakal menjadi jalur utama perlintasan jalur sutra itu. Agenda utama kunjungan delegasi Taliban ke Beijing pada bulan Juli lalu adalah isu jalur sutra tersebut.

 

AS dan negara Barat lain tentu tidak rela Afghanistan jatuh ke tangan China sepenuhnya. Di sini akan terjadi pertarungan geopolitik sengit di Afghanistan dan Asia Tengah. AS harus berusaha tetap memiliki akses langsung maupun tidak langsung terhadap Taliban jika tidak ingin digilas China.

 

AS juga harus cerdik merangkul Pakistan dan India yang saling bersaing untuk membendung pengaruh China di Asia Selatan dan Asia Tengah. AS harus pula menggunakan jasa Qatar yang selama ini dekat dengan Taliban agar tetap memiliki akses kuat ke para elite Taliban. Seperti diketahui, Qatar menjadi tempat perundingan AS-Taliban selama ini dan tempat kantor perwakilan Taliban di Timur Tengah.

 

Isu seksi lain adalah HAM, khususnya terkait hak-hak kaum perempuan. Kecemasan dan ketakutan dunia saat ini dipicu oleh bayangan pola kehidupan sangat konservatif–untuk tidak menyebut primitif–yang diterapkan Taliban di kota Kabul dan negeri Afghanistan saat berkuasa pada 1996-2001.

 

Taliban pada era kekuasaan yang pertama melarang musik, melarang tontonan film (gedung bioskop ditutup), melarang pertunjukan kesenian apapun, pria harus memelihara jenggot panjang, kendaraan harus berhenti di waktu shalat, dan kaum perempuan harus memakai burkak (pakaian yang menutupi seluruh tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki). Perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa didampingi mahramnya (suami atau keluarga dekat).

 

Apalagi jatuhnya kota Kabul sepekan lalu dibarengi dengan eksodus ribuan warga Afghanistan dan asing ke Bandar Udara Internasional Kabul untuk bisa naik pesawat ke negara-negara lain, karena ketakutan akan kehidupan Afghanistan di bawah Taliban. Ribuan warga asing maupun Afghanistan sampai hari ini masih berusaha mendatangi bandara Kabul untuk bisa berimigrasi ke negara lain.

 

Perubahan era

 

Hal ini yang memicu munculnya polemik di media sosial maupun media resmi di banyak negara antara optimis dan pesimis tentang masa depan Afghanistan pada era kekuasaan Taliban saat ini. Kubu optimis berdalih, jarak waktu cukup lama, yakni 25 tahun, antara kekuasaan Taliban jilid 1 (1996-2001) dan kekuasaan Taliban jilid II (2021), memberi harapan besar akan adanya perubahan sikap Taliban serta wajah masa depan Afghanistan yang berbeda dari Taliban dan potret negeri itu, 25 tahun lalu.

 

Sejumlah analisis muncul tentang faktor-faktor yang berandil akan terjadinya perubahan ke arah lebih moderat pada era kekuasaan Taliban jilid II ini. Pertama, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir ini, telah terjadi perubahan generasi di tubuh internal Taliban, khususnya di jajaran elitenya.

 

Para elite Taliban, yang akan memegang kebijakan, kini berasal dari generasi kedua dengan rentang usia rata-rata antara 40-50 tahun, bahkan ada yang masih usia 20-an. Mereka berbeda dari generasi pertama, yakni generasi pendiri Taliban, Mullah Mohammed Omar, yang meninggal dunia pada tahun 2013.

 

Generasi kedua Taliban itu adalah pemimpin tertinggi Taliban saat ini, yaitu Mullah Hibatullah Akhundzada (60), Abdul Ghani Baradar (53), Sirajuddin Haqqani (48), Mullah Amir Khan Muttaqi (51), Mullah Mohammad Yaqoob (31), dan Anas Haqqani (27).

 

Kedua, pengalaman pimpinan Taliban dari generasi kedua itu dalam berinteraksi dengan masyarakat internasional, baik dalam forum perundingan maupun kunjungan ke beberapa negara. Pengalaman bertahun- tahun Taliban berunding dengan AS di Doha, Qatar, memberi pelajaran kepada elite Taliban tentang seni pergaulan internasional dan terbentuknya mental saling memberi dan berbagi dengan pihak lain.

 

Selain itu, kunjungan delegasi Taliban ke berbagai negara, seperti ke China dan Rusia pada bulan Juli lalu serta ke Indonesia pada tahun 2018 dan 2019, bisa memberi kematangan kepada elite Taliban dalam membaca peta geopolitik.

 

Ketiga, pengalaman pahit Taliban menjadi oposisi dan melancarkan perang gerilya melawan pasukan pendudukan AS selama 20 tahun bisa mendorong Taliban lebih bijak ketika berkuasa lagi.

 

Di tengah polemik antara kubu optimis dan pesimis itu, memang terlalu dini menilai dan memberi kesimpulan atas sikap Taliban dan corak kehidupan di Afghanistan saat ini dan mendatang. Taliban pun harus bijak melihat realitas bahwa Afghanistan dan geopolitik kawasan saat ini sangat berbeda dari 25 tahun lalu. Tantangan Taliban sangat berat dalam mengelola negeri Afghanistan, baik ekonomi, politik, dan keamanan.

 

Berbagai pernyatan yang disampaikan Taliban saat ini cukup positif dan adaptif atas perubahan di Afghanistan dan dunia saat ini. Sikap positif Taliban itu, misalnya akan membentuk pemerintah inklusif, membangun hubungan baik dengan internasional, melindungi kelompok minoritas dan menjaga hak-hak kaum perempuan. Tetapi, dunia menunggu pernyataan tersebut tetap harus dibuktikan di lapangan.

 

Ada baiknya menunggu beberapa pekan lagi atau menunggu 100 hari kekuasaan Taliban di Afghanistan, baru kemudian menilai apa yang sesungguhnya terjadi di Afghanistan pada era kekuasaan Taliban jilid II. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/08/23/meraba-wajah-pemerintahan-taliban-jilid-ii/

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar