Taliban
dan Damai di Afganistan Andrey Sujatmoko ; Dosen FH, Ketua Bagian Hukum Internasional,
Sekretaris Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAs) FH Universitas
Trisakti |
MEDIA INDONESIA,
20 Agustus 2021
JATUHNYA
istana kepresidenan di Kabul ke tangan pihak Taliban, Minggu (15/8) tanpa
pertumpahan darah dan hengkangnya Presiden Ashraf Gani, yang diduga telah
melarikan diri ke Tajikistan, menandai babak baru pemerintahan di Afganistan
saat ini. Zabihullah
Mujahid, juru bicara pihak Taliban menyatakan pada Rabu (18/8) bahwa perang
di Afghanistan telah berakhir, seiring dengan hengkangnya pihak Amerika
Serikat yang selama ini menjadi seteru selama hampir 20 tahun. Pihaknya juga
mengumumkan pemberian amnesti umum bagi seluruh pejabat pemerintahan dan
menyerukan agar mereka mereka kembali bekerja. Amnesti juga diberikan kepada
seluruh lawan politiknya disertai dengan jaminan tidak akan dikenai
pembalasan. Banyak teka-teki yang muncul atas masa depan Afganistan di tangan
pihak Taliban, mengingat pengalaman buruk yang dialami warga sipil saat
mereka berkuasa dengan tangan besi pada 1996-2001. Kekhawatiran
terjadinya kembali eksekusi di depan umum, larangan perempuan untuk
bersekolah, maupun untuk terlibat di dalam pemerintahan, merupakan beberapa
hal yang membuat trauma warga sipil hingga saat ini. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan jika kehadiran pihak Taliban di Kabul memicu eksodus
puluhan ribu warga sipil ke luar Afganistan dengan alasan keamanan dan
keselamatan. Menyikapi
kekhawatiran tersebut Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang darurat terkait
situasi di Afghanistan pada Senin (16/8) di New York. Sekjen PBB Antonio
Guterres mendesak para anggota badan tertinggi PBB itu untuk tidak
'mengabaikan' Afghanistan. Ia juga mendesak semua pihak, terutama pihak
Taliban, untuk menahan diri sepenuhnya, melindungi kehidupan, memastikan
bahwa kebutuhan kemanusiaan dapat terpenuhi, serta menggarisbawahi pentingnya
untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak perempuan. Menurut Yoram
Dinstein, perang dalam pengertian teknis dimulai dengan suatu deklarasi
perang yang bersifat sepihak (unilateral) dan merupakan suatu pemberitahuan
yang bersifat resmi (formal announcement). Seperti halnya perang dapat– dan,
menurut Pasal 1 Konvensi Den Haag (III) 1907 mengenai Permulaan Permusuhan
(Commencement of Hostilities), harus– dimulai dengan suatu deklarasi perang
yang bersifat sepihak, perang pun dapat diakhiri dengan suatu deklarasi yang
bersifat sepihak. Terkait situasi
terkini, maka berdasarkan hukum humaniter, sesaat setelah pihak Taliban
secara sepihak mendeklarasikan berakhirnya perang (unilateral declaration of
termination of war) dan pihak lawannya, yaitu pemerintahan Presiden Ashraf
Gani (yang didudukung oleh Amerikan Serikat) mengakui kemenangan pihak
Taliban, dapat dikatakan secara de facto dan de jure perang di Afganistan
telah berakhir. Berakhirnya
perang bukan berarti dengan sendirinya akan menyelesaikan berbagai masalah
kemanusiaan, terutama terkait dengan hak asasi manusia (HAM), yaitu
perlindungan terhadap warga sipil. Namun, situasi damai adalah awal dari
secercah harapan bagi rakyat Afganistan– dan juga dunia tentunya– untuk dapat
hidup lebih aman dan bermartabat. Amnesti yang ditawarkan oleh pihak Taliban
dapat dikatakan merupakan suatu pintu masuk ke arah tersebut. Saat ini, baik
rakyat Afganistan maupun dunia internasional masih menanti bukti dari
sejumlah komitmen yang telah dibuat oleh pihak Taliban. Secara internal, hal
itu pada akhirnya akan terlihat dari bagaimana pihak Taliban dapat meyakinkan
rakyat Afganistan sehingga mendapatkan dukungan. Lalu, secara eksternal hal
itu dapat tercermin dari bagaimana mereka mampu meraih dukungan dari dunia
internasional yang ditandai dengan adanya pengakuan (de facto/de jure) dari berbagai negara. Kepastian akan
hal tersebut memang masih belum terjawab, tetapi optimisme dan harapan masih
terbuka lebar, mengingat Afganistan saat ini telah berada dalam situasi
damai. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/426977/taliban-dan-damai-di-afganistan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar