Senin, 30 Agustus 2021

 

Bijak Menyikapi Pergolakan di Afghanistan

Sudjito Atmoredjo Guru Besar Ilmu Hukum UGM

SINDONEWS, 27 Agustus 2021

 

 

                                                           

AFGHANISTAN sedang dilanda pergolakan. Kedamaiannya terkoyak. Presiden (Ashraf Ghani) dan sebagian warga negaranya bergegas mengungsi ke negara lain. Begitu juga warga negara asing (termasuk dari Indonesia) dijemput untuk segera pulang ke negara masing-masing. Demi keselamatan.

 

Afghanistan modern didirikan oleh Ahmad Shah Durrani pada 1747. Negara ini menjadi penyangga antara Kerajaan Inggris dan Rusia. Afghanistan berhasil memperoleh kemerdekaannya dari Kerajaan Inggris pada 19 Agustus 1919. Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Afghanistan.

 

Pergolakan di Afghanistan kali ini terjadi karena tampilnya kembali Taliban sebagai penguasa, sejak Minggu 15 Agustus 2021. Akankah masa transisi pemerintahan berjalan cepat sehingga lahir kedamaian, ataukah pergolakan berlanjut sehingga suasana semakin panas? Segalanya tergantung faktor internal dan eksternal yang memengaruhinya, sebagaimana dianalisis di bawah.

 

Siapakah Taliban? Taliban (artinya murid, atau santri). Kelompok ini pertama kali muncul awal 1990-an di utara Pakistan, setelah pasukan Uni Soviet mundur dari Afghanistan. Sadar akan nasib yang dialami bangsanya, Taliban mengembangkan diri sebagai gerakan politik. Janji politiknya adalah mengembalikan perdamaian dan keamanan berdasarkan Syariah Islam.

 

Pasca pendudukan Rusia, pengaruh Taliban cepat menyebar dan mendapat simpati penduduk. Pada 1988, ibukota (Kabul) dan sekitar 90% wilayah Afghanistan dikuasainya. Respons positif terhadap Taliban itu antara lain karena jasanya dalam pemberantasan korupsi. Jasa lainnya adalah pembangunan infrastruktur-infrastruktur pendudukung perekonomian. Segala aktivitas pemerintahannya, dilakukan sesuai syariah Islam. Itulah, maka koruptor, pencuri, pezina, dihukum amputasi, hingga hukuman mati.

 

Pemberlakukan syariah Islam secara ketat, selain diapreasiasi positif karena efektif, tetapi tak luput dari tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan budaya. Penghancuran patung Buddha Bamiyan pada 2001, menyulut kemarahan internasional.

 

Kemarahan internasional itu, rupanya dijadikan pintu masuk Amerika Serikat dan PBB untuk penggulingan pemerintahan Taliban. Dalam pendudukan tentara AS dan kontrol PBB, sistem pemerintahan pun diubah ke arah demokratis. Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

 

Pasca kesepakatan damai (kesepakatan Doha) antara AS dan Taliban yang ditandatangani kedua belah pihak pada Februari 2020, maka AS pada 2021 menarik seluruh kekuatannya dari Afghanistan. Pada April 2021, Presidan AS Joe Bidan, mengumumkan bahwa seluruh pasukan AS akan meninggalkan negara tersebut pada 11 September 2021. Momentum itu dimanfaatkan baik-baik oleh Taliban untuk kembali berkuasa.

 

Kini, Afghanistan (dan secara spesifik Taliban), menjadi sorotan dunia. Kita sebagai bangsa cinta damai, mesti bersikap bijak terhadap pergolakan ini. Dengan dasar politik luar negeri “bebas-aktif”, pergolakan itu perlu dilihat secara jernih, objektif, tanpa memihak kepada kelompok manapun. Kontribusi pemikiran, ataupun tindakan nyata, diberikan semata-mata dan berdasarkan amanah Pembukaan UUD 1945, yakni demi terwujudnya perdamaian dunia.

 

Pertama, setiap negara merdeka memiliki kedaulatan atas negeri, dan seluruh isinya. Bukan hanya Afghanistan saja, telah banyak negara mengalami pergolakan dalam perjalanan hidupnya. Pergolakan demikian, menjadi mudah terselesaikan, segera reda, dan tertransformasikan menjadi kedamaian, bila secara internal, negara atau bangsa yang bersangkutan, mampu bersikap dewasa, saling menghargai, dan mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan partai, kelompok, atau golongan.

 

Dalam konteks wawasan (pemikiran) demikian, kiranya pergolakan di Afganistan perlu dipandang sebagai persoalan internal, persoalan dalam negeri. Tidak perlu bangsa lain campur tangan. Dari pengalaman sejarah yang dialaminya, Afghanistan selama ini telah mampu bersikap tegas, tegar, dan mandiri. Upaya-upaya memisahkan diri dan menjadikannya negara merdeka dari Inggris maupun Rusia, dapat dijadikan sebagai bukti nyata tentang kedewasaan bangsa Afganistan. Begitu pula kemampuan Taliban berdiplomasi hingga tercapai kesepakatan damai dengan AS, merupakan bukti lain yang cukup keren. Kini, sikap bijak dan toleran terhadap sesama komponen bangsa, mesti diperlihatkan oleh Taliban dan pemerintahan “terguling”, maupun rakyat pada umumnya.

 

Kedua, perubahan wawasan semua pihak, ke arah perdamaian, mestinya menjadi niat dan kesepakatan nasional. Sikap emosi dan saling mendzalimi, mesti diakhiri, dan diubah menjadi sikap saling berbagi, melengkapi, berkasih-sayang sebaga bangsa. Memasuki era baru, tidaklah perlu mereka berseteru, konfrontasi, berbeda pendapat, secara ekstrem. Pilihan antara sistem pemerintahan demokrasi ataukah syariah Islam, bukanlah hitam atau putih, melainkan pilihan bersama yang diperoleh melalui dialog, musyawarah, mufakat. Kedua sistem pemerintahan itu justru perlu dikaji bersama, dan dicari titik temu, sehingga ada keterpaduan, sebagai sistem pemerintahan khas, unik, karakteristik untuk Afghanistan. Afghanistan, memiliki otoritas untuk menentukan pilihan terbaik tentang sistem pemerintahan ataupun bentuk negara, dan hal-hal lain yang bersifat internal. Pastilah, segalanya ditentukan melalui musyawarah-mufakat yang didasarkan pada sistem nilai yang mengakar pada agama maupun budayanya.

 

Ketiga, keterlibatan asing (negara, golongan, ataupun perorangan) perlu dicegah. Kalaupun ada niat baik untuk membantu, mesti dilakukan dengan cara-cara damai. Jangan ada pelibatan militer, atau kekuatan fisik lain. AS, China, Inggris, Rusia, Indonesia, ataupun negara dan kelompok manapun, patut memercayai dan mengapresiasi sikap moderat yang telah ditunjukkan oleh Taliban. Janji-janji untuk melindungi kaum perempuan, anak-anak, dan antiterorisme patut dikawal agar benar-benar menjadi kenyataan. Beberapa negara yang disebut ekpslisit tersebut – khususnya China dan AS – menjadi penting diingatkan akan tanggungjawabnya terhadap perdamaian dunia. Diketahui bersama bahwa kedua negara ini terlibat ketat dalam persaingan, khususnya di bidang perdagangan. Patut diapresiasi bahwa China dan Taliban telah bertemu dan saling memberikan legitimasi. “China berharap Taliban dan pemerintah Afghanistan dapat bersatu dengan partai politik lain, dan dengan semua kelompok etnis serta membangun kerangka politik sesuai dengan kondisi nasional yang inklusif secara luas, dan akan meletakkan dasar bagi perdamaian abadi”, kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Hua Chunying, dilansir NDTV dari tulisan Bloomberg, Rabu (18/8/2021).

 

Keempat, dihadapkan pada pergolakan di Afghanistan yang masih labil, segala kemungkinan bisa terjadi. Maka sikap bijak bangsa dan pemerintah Indonesia adalah pengendalian diri untuk tidak mengangkatnya sebagai diskursus, atau kecenderungan berpihak pada salah satu di antara mereka yang sedang bertikai. Hindarkan segala tindakan yang mengesankan ikut campur-tangan urusan dalam negeri negara lain. Sungguh kesia-siaan, mencampur-adukkan pergolakan di Afghanistan, dengan urusan-urusan agama, golongan, partai, ataupun bangsa Indonesia sendiri. Wallahu’alam.

 

Sumber :  https://nasional.sindonews.com/read/523704/18/bijak-menyikapi-pergolakan-di-afghanistan-1630048137

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar