Taliban
2.0 Subhan Setowara ; Dosen Hubungan Internasional UMM, direktur
eksekutif RBC Institute A. Malik Fadjar |
JAWA POS, 23
Agustus 2021
PENGAMBILALIHAN
Afghanistan oleh Taliban menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan
sepekan terakhir. Betapa tidak, peristiwa itu begitu mengejutkan. Setelah 20
tahun terpinggirkan pasca disingkirkan Amerika Serikat (AS) pada 2001,
Taliban kembali berhasil merebut Kabul, ibu kota Afghanistan. Dua dekade
lalu, tepatnya pada periode 1996–2001, Taliban pernah menguasai Kabul. Namun,
kepemimpinan mereka yang zalim dan ekstrem membuat Taliban tak disukai, baik
di negaranya maupun kalangan internasional, terutama negara-negara Barat. Di
babak kedua penguasaannya ini, Taliban berupaya menampilkan wajah baru yang
lebih toleran, diplomatis, dan moderat. Inilah Taliban 2.0. Kartunis
politik harian The Washington Post, Michael de Adder, via laman opini koran
tersebut (20/8) membuat karikatur yang menggambarkan perbedaan Taliban versi
lama (1.0) dan versi baru (2.0). Taliban 1.0 digambarkan dengan tiga jihadis
Taliban yang menodong perempuan berburqa, sementara Taliban 2.0
diilustrasikan dengan gambar serupa, namun salah satu jihadis sembari
memegang boneka kinder yang eye-catching dengan mentari tersenyum di
badannya. Di bawahnya tertulis ”the New Kinder Taliban”. Karikatur itu
merupakan sindiran Adder terhadap Taliban generasi baru. Baginya, sama saja
Taliban yang dulu dan sekarang. Bedanya, Taliban versi baru ini lebih cerdik
dalam pencitraan. Pandangan Adder ini tak pelak mewakili pikiran banyak pakar
perdamaian dunia. Mereka yakin imaji Taliban yang moderat hanyalah lip
service agar kepemimpinan Taliban kali ini bisa diterima warga Afghanistan
maupun kalangan internasional. Melalui juru
bicaranya, Zabihullah Mujahid, dalam konferensi pers (17/8), Taliban
menyatakan berjanji untuk melindungi hak-hak perempuan dan kebebasan pers,
sesuatu yang di masa lalu menjadi handicap mereka. Taliban juga berjanji
tidak melakukan balas dendam pada musuh politik mereka. Pernyataan yang
terasa janggal jika merujuk portofolio perilaku Taliban yang ekstrem dan
brutal. Taliban 2.0
ini juga melakukan rebranding via Twitter dan konten media sosial lainnya
dengan menunjukkan ciri kekinian. Setelah memasuki Kabul, misalnya, para
militan Taliban lantas mem-posting video dan foto yang menampilkan para
pejuang mereka sebagai sosok orang biasa yang mudah didekati: berolahraga,
makan es krim, dan berpenampilan menarik (The Politico, 20/8). Kesan Taliban
yang khas konservatif dan eksklusif tampak hendak dihilangkan menjadi lebih
modern dan terbuka. Taliban yang
di masa lalu menjadi aktor pembunuhan massal terhadap etnis Syiah Hazara juga
berupaya menghapus citra buruk itu. Dalam sejumlah video daring, ditampilkan
bahwa perwakilan Taliban menghubungi kelompok minoritas, termasuk Syiah
Hazara dan Sikh, menjamin bahwa Taliban akan menjaga keselamatan mereka.
Salah satu akun Twitter resmi Taliban juga mem-posting video gadis-gadis yang
bersekolah untuk menunjukkan kesan kepedulian Taliban pada hak-hak publik
perempuan. Padahal, pada periode kepemimpinan mereka dua dekade lalu, Taliban
melarang keras peran perempuan di ruang publik. Taliban 2.0
juga secara internal mengalami modernisasi menjadi lebih multikultural.
Taliban yang semula monolitik karena hanya eksklusif diisi etnis Pashtun,
etnis muslim Sunni yang mendiami Afghanistan dan Pakistan, kini membuka diri
tanpa memandang suku dan ras. Taliban bahkan melakukan rekrutmen terbuka secara
nasional agar siapa saja bisa menjadi bagian dari mereka. Mereka kini
juga lebih lihai dalam berdiplomasi. Belajar dari masa lalu, Taliban sadar
bahwa eksistensi kekuasaan mereka sangat ditentukan penerimaan internasional.
Kini retorika politik mereka menjadi lebih lunak dan fleksibel. Ketika
berkomunikasi dengan media Barat, misalnya, Taliban berkali-kali menggunakan
jargon diplomatik melalui sejumlah frasa seperti ”Afghanistan damai”,
”aspirasi rakyat”, ”negosiasi”, ”hak-hak perempuan”, dan ”amnesti umum”.
Kosakata itu juga ditampilkan ketika bersuara di media sosial. Kendati
begitu, Taliban telanjur tersandera masa silam. Mereka dibayangi
ketidakpercayaan global serta situasi warga Afghanistan yang traumatis dan
dipenuhi rasa takut. Tak heran, selain pelanggaran hak-hak perempuan dan
minoritas, Taliban telah begitu berani menantang dunia internasional dengan
menghancurkan dua patung raksasa Buddha di Lembah Bamiyan yang merupakan
Warisan Dunia UNESCO pada 2001. Selain itu, yang paling fenomenal, tentu saja
posisi Taliban sebagai mitra sekaligus pelindung organisasi teroris Al Qaeda
yang menjadi aktor di balik serangan 9/11. Dengan situasi
seperti ini, Taliban 2.0 berada pada titik krusial yang masih sukar
diprediksi masa depannya. Setidaknya, ada tiga kemungkinan yang menggambarkan
tindakan mereka saat ini. Kemungkinan pertama, sikap Taliban yang moderat ini
hanyalah bersifat temporal. Setelah situasi sudah bisa mereka kendalikan,
Taliban akan kembali pada habitatnya sebagai kelompok ideologis-konservatif
dan ekstremis yang kejam. Kemungkinan
kedua, Taliban menjadi faksi politik yang senantiasa fleksibel dalam
bertindak sesuai dengan kepentingan pragmatis. Jadi, segala sikap dan gerakan
mereka tak lagi ditentukan faktor ideologis, namun lebih-lebih dipengaruhi
hasrat melanggengkan kekuasaan. Artinya,
adakalanya mereka bersifat moderat, namun di waktu lain bisa bertindak
ekstrem, bergantung situasi dan kepentingan. Kemungkinan ketiga, Taliban
bakal konsisten berubah menjadi kelompok moderat lantaran mereka menyadari
bahwa karakter itulah yang paling sesuai untuk membangun Afghanistan baru
yang lebih adil, damai, dan beradab. Tentu saja
kita berharap Taliban versi baru ini konsisten bertransformasi menjadi
kelompok moderat yang mengayomi warga Afghanistan, kendati dalam sanubari
kita menyimpan banyak keraguan dan tanda tanya. Bagaimanapun, apa yang
terjadi dalam beberapa bulan ke depan bakal menjadi ujian yang krusial bagi
Taliban 2.0. ● Sumber : https://www.jawapos.com/opini/23/08/2021/taliban-2-0/?page=all |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar