Senin, 30 Agustus 2021

 

Amandemen Kelima dan Paradoks Wacana Haluan Negara

Asrizal Nilardin ;  Anggota tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pemuda Muhammadiyah DIY

DETIKNEWS, 26 Agustus 2021

 

 

                                                           

Wacana perubahan (amandemen) kelima UUD 1945 bukan isu baru dalam diskursus publik. Pengusung dan motifnya mengundang tafsir ganda --apakah datang dari preferensi publik, atau sekadar pretensi para elite politik? Begitu pula, wacana menghidupkan kembali kewenangan MPR untuk menetapkan Haluan Negara (PPHN) harus dilihat secara sadar dan proposional.

 

Pasca perubahan terakhir tahun 2002, nyaris tidak ada langkah politik secara konkret dari MPR untuk melakukan perubahan kelima sebagai agenda prioritas dan strategis negara. Perubahan UUD 1945 menjadi keniscayaan dalam merespons perkembangan kompleksitas kebutuhan konstitusional negara. Terlebih, kebutuhan terhadap optimalisasi kewenanangan, fungsi, dan kedudukan alat perlengkapan negara (lembaga negara). Singkatnya, perubahan konstitusi merupakan upaya pembenahan struktur tata negara, sehingga mendorong pada usaha tercapainya cita kenegaraan.

 

Eksistensi dan kedudukan MPR dalam struktur tata negara Indonesia pasca amandemen tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan menjadi sederajat dengan DPR, Presiden, DPD, BPK, MA, dan MK sebagai lembaga tinggi negara (primary state organ). Reduksi kedudukan MPR juga membuat kewenangannya menjadi sangat terbatas.

 

Sebelum amandemen, MPR sebagai pelaksana utama kedaulatan rakyat, sehingga diberikan kewenangan konstitusional untuk menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan memilih presiden sebagai mandataris yang melaksanakan GBHN. Presiden sebagai mandataris wajib melaksanakan GBHN, jika MPR menilai bahwa presiden tidak menjalankan GBHN secara optimal, maka MPR berwenang meminta pertanggungjawaban dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya. Pada keadaan ini, presiden bertanggung jawab mutlak kepada MPR.

 

Perubahan kedudukan dan kewenangan MPR secara fundamental akibat perubahan Pasal 1 Ayat 2 yang menegaskan, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Jika sebelum amandemen pelaksana kedaulatan rakyat adalah MPR, namun pasca amandemen memuat kalimat "menurut Undang Undang Dasar", hal itu mengandung makna bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan secara kolektif oleh seluruh organisasi negara. Menurut Undang Undang Dasar (setelah perubahan), presiden dipilih langsung oleh rakyat, juga akibatnya bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat.

 

Pergeseran pola pemilihan presiden dari MPR kepada rakyat secara langsung, telah menghilangkan status mengikat dan memaksa GBHN. Presiden tidak lagi bertanggung jawab untuk melaksanakan GBHN, begitu pula MPR tidak lagi berwenang untuk menetapkan GBHN. Kehadiran GBHN adalah konsekuensi hukum atas kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi yang berwenang memilih presiden.

 

Kedudukan presiden sebagai mandataris berkewajiban secara konstitusional untuk melaksanakan GBHN. Dalam hal ini, antara melaksanakan GBHN dan pertanggungjawaban presiden kepada MPR adalah satu kesatuan sistem yang tidak terpisah.

 

Konsolidasi dan Dukungan Politik

 

Wacana MPR untuk melakukan amandemen terbatas UUD 1945 telah memasuki fase konsolidasi politik. Tinggal menunggu digelarnya Sidang Umum MPR untuk mengesahkannya. Kompak, Ketua MPR dan Ketua DPD telah menunjukkan atensi dan keseriusan atas amandemen kelima dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR dan Pidato Kenegaraan Presiden dalam rangka peringatan HUT ke-76 RI, serta Sidang Bersama DPR dan DPD yang digelar Senin, 16 Agustus 2021.

 

Dalam pidatonya, Ketua MPR dan Ketua DPD menyinggung pentingnya kehadiran Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk menyongsong pembangunan Indonesia masa depan. Agenda amandemen kelima UUD 1945 kian menemukan momentum setelah sebelumnya Presiden juga memberikan persetujuan untuk melakukan amandemen terbatas.

 

Dikatakan terbatas karena amandemen akan direncanakan hanya dilakukan terhadap dua pasal, yakni Pasal 3 tentang penambahan kewenangan MPR dalam menetapkan PPHN, dan Pasal 23 yang menambah satu ayat mengatur tentang kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN dari pemerintah apabila dinilai bertentangan dengan PPHN.

 

Sangat besar peluang bagi MPR untuk segera mengadakan Sidang Umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 37 UUD 1945, tahap pertama, memungkinkan usul perubahan untuk dilakukan apabila diajukan oleh minimal 1/3 dari jumlah anggota MPR. Dari jumlah 711 anggota MPR masa jabatan 2019-2024, hanya memerlukan pengajuan usulan tertulis beserta penjelasan pasal yang diubah dari 237 anggota MPR, dengan begitu Sidang Umum untuk membahas amandemen kelima UUD 1945 dapat digelar.

 

Tahap kedua, mengenai pembahasan perubahan pasal UUD 1945 harus dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR, yakni dihadiri sekurang-kurangnya 274 anggota MPR. Apabila telah memenuhi kuorum, maka tahap ketiga, putusan akhir untuk mengubah UUD 1945 yang harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 50 persen ditambah 1 dari jumlah anggota MPR, yang berarti harus disetujui oleh minimal 336 dari seluruh anggota MPR.

 

Dengan jumlah anggota DPR 575 dan jumlah anggota DPD 136, maka untuk sampai pada tahap putusan akhir persetujuan atas perubahan pasal UUD 1945, Ketua MPR bersama Ketua DPR harus mengkonsolidasikan dukungan minimal setengah dari anggota DPR menyetujui usul perubahan, dan Ketua DPD, jika setengah dukungan dan persetujuan telah didapatkan dari anggota DPR, maka harus memastikan seluruh anggota DPD menyetujuinya.

 

Urgensi dan Implikasi PPHN

 

Wacana menghidupkan kembali GBHN tidak lebih sebagai pretensi para elite politik. Kehadiran GBHN pada era Orde Baru seolah menjadi inspirasi dan preferensi bagi kesuksesan pembangunan nasional yang berjangka. Kehadiran GBHN era Orde Baru adalah konsekuensi dari kedudukan dan status MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang diberikan kewenangan untuk memilih, meminta pertanggungjawaban dan memberhentikan Presiden.

 

Namun setelah perubahan UUD 1945, kewenangan MPR untuk memilih Presiden dan memberhentikan Presiden telah dihilangkan sehingga presiden tidak lagi berkewajiban menjalankan GBHN, dan MPR tidak lagi diberikan kewenangan untuk menetapkan GBHN.

 

Kehadiran PPHN upaya untuk merekonstruksi keberadaan GBHN yang eksis pada zaman Orde Baru. Situasi dan kondisi ketatanegaraan Indonesia sekarang sudah tidak lagi memungkinkan kehadiran GBHN sebagai bagian dari kewenangan MPR. Begitu pula wacana PPHN tidak memiliki urgensi dan dasar kebutuhan yang jelas. Kewenangan untuk menentukan Haluan Negara harus berkelindan dengan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban kepada eksekutif atas pelaksanaan Haluan Negara tersebut.

 

Kondisi ketatanegaraan Indonesia dewasa ini tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang dapat meminta pertanggungjawaban presiden. Kehadiran PPHN hanya relevan apabila presiden bertanggung jawab kepada MPR atas pelaksanaan PPHN. Namun setelah amandemen hal itu tidak lagi memungkinkan karena presiden dipilih langsung oleh rakyat dan hanya bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung. Tidak ada implikasi hukum yang signifikan apabila presiden tidak melaksanakan PPHN.

 

Selain itu, sebagai ganti dari GBHN guna memberikan kepastian terhadap pembangunan yang berkelanjutan dan akuntabel, telah ada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Kehadiran UU a quo, telah memberikan dasar dan kejelasan yang komprehensif mengenai Haluan Negara dalam pembangunan nasional.

 

Dengan demikian, tidak perlu dan selayaknya tidak harus ada kewenangan MPR untuk menetapkan Haluan Negara (PPHN). Karena hal itu hanya akan sia-sia jika presiden sebagai pelaksana PPHN tidak bertanggung jawab kepada MPR. Begitu pula, MPR tidak bisa memberikan sanksi apabila presiden tidak menjalankan PPHN, juga tidak dapat dijadikan dalil mengajukan impeachment.

 

Wacana terbatas perubahan kelima UUD 1945 yang hanya menambahkan kewenangan MPR dalam menetapkan PPHN tidak urgen dan tidak lagi relevan. Perubahan UUD 1945 akan lebih konstruktif apabila dilakukan dalam rangka penguatan kewenangan legislasi DPD yang hingga kini diamputasi sepihak oleh DPR; pengaturan kedudukan lembaga negara independen; penambahan kewenangan constitusional question dan constitusional camplaint Mahkamah Konstitusi, serta optimalisasi kewenangan lembaga-lembaga negara lainnya.

 

Perubahan kelima UUD 1945 amat urgen dan mendesak untuk dilakukan, namun harus dilakukan secara sadar dan komprehensif untuk mengatasi berbagai problematika ketatanegaraan dan kompleksitas kebutuhan konstitusional negara.

 

Sumber :  https://news.detik.com/kolom/d-5697077/amandemen-kelima-dan-paradoks-wacana-haluan-negara

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar