Afghan
2.0 Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY, 19
Agustus 2021
SAYA tidak percaya ini:
masak sih tidak ada satu pun mahasiswa yang tertarik mendalami soal
Afghanistan. Padahal begitu banyak mahasiswa di universitas Islam di
Indonesia. Lebih dari 200.000 orang. Mungkin saya saja yang
gagal mencari siapa ahli Afghanistan di sana. Tidak mungkin tidak ada yang
tertarik mendalami masalah negara Islam yang begitu sering menjadi perhatian
dunia. Seorang profesor UIN minta
saya agar menghubungi Profesor Khan –bukan nama sebenarnya. Beliau ahli.
Ternyata juga bukan ahli Afghanistan. Hanya pernah ke Afghanistan. Itu pun 40
tahun yang lalu. Pembaca Disway banyak yang
menyebut nama Agustinus Wibowo. Ia pernah lama di Afghanistan. Bisa bahasa
Pastun. Bisa Mandarin. Sering menulis tentang Afghanistan. Konon sekarang
tinggal di Jember. Saya janji akan uber orang itu. Menjadi wartawan di
Amerika rupanya memang lebih mudah. Mereka punya ahli apa saja. Banyak sekali
guru besar di Amerika yang ahli tentang Indonesia. Padahal apalah Indonesia
di mata Amerika. Bahkan sampai ada yang ahli tentang Rhoma Irama. Ada juga
yang ahli tentang wayang kulit. Ya sudahlah. Saya sendiri
juga heran: kok dulu memilih Fakultas Tarbiyah. Saya sih bukan memilih waktu
itu. Itulah satu-satunya fakultas yang ada di IAIN Sunan Ampel cabang
Samarinda. Waktu itu pandangan saya
juga sempit. Hanya mau cari fakultas yang kalau lulus cepat mendapat
pekerjaan. Kuliah di Fakultas Tarbiyah, kata kakak saya, bisa segera jadi
guru agama. Sama sekali tidak memikirkan bahwa Indonesia memerlukan orang
yang ahli Afghanistan! Saya tidak mengikuti CNN
atau BBC. Juga tidak mengikuti Al Jazeera atau Al Arabia –kemampuan bahasa Arab
saya tidak mencukupi. Untuk Afghanistan ini saya
mengikuti media-media di Pakistan. Tentu dengan sikap skeptis. Juga lewat
media-media Amerika. Dengan sikap yang sama. Saya beruntung pernah
sering bertemu orang-orang dari suku Pastun. Juga sering bicara dengan orang
dari suku Hazaras. Pastun menguasai 50 persen
penduduk. Hazaras hanya 9 persen –sama dengan suku Tajiks yang juga 9 persen.
Suku-suku lainnya amat kecil-kecil. Orang-orang kaya suku
Pastun hampir selalu punya pembantu orang Hazaras. Tidak ada orang Pastun
yang mau jadi pembantu atau buruh kasar. Orang Pastun adalah orang dengan
mental juragan. Dengan harga diri yang sangat tinggi. Hazaras memang hanya 9
persen –mirip jumlah Tionghoa di Indonesia– tapi mereka terkonsentrasi di
satu wilayah tengah. Yakni di sebelah barat Kabul. Dengan demikian untuk
wilayah itu, suara Hazaras dominan. Pemerintahan lokal pun pemerintahan
Hazaras. Konflik di antara Pastun
dan Hazaras bukan hanya soal juragan dan pembantu. Masih ditambah soal aliran
keagamaan. Pastun adalah penganut Sunni. Hazaras umumnya penganut Syiah. Kenyataan seperti itulah
yang membuat Afghanistan agak sulit mengikuti jejak Uni Emirat Arab (UEA)
yang kaya raya. Di UEA hanya ada dua
ke-emiran besar: ke-emiran Abu Dhabi dan Dubai. Lima ke-emiran lainnya sangat
kecil-kecil. Ke-emiran Ras al Khaimah misalnya, hanya berpenduduk 300.000
orang –hanya seperti satu kecamatan di Jawa. Bahkan ke-emiran Ajman luasnya
hanya 15 km x 15 km. Di UEA, pembagian kue
kekuasaan dengan mudah dibagi. Presiden UEA harus selalu dari Abu Dhabi.
Sedang perdana menteri harus dari Dubai. Lima emir lainnya dapat jatah di
kementerian. Masing-masing emir
mengatur pemerintahan mereka sendiri. Pemerintah pusat tidak punya hak ikut
campur. Bahkan ketika Dubai nyaris bangkrut 15 tahun lalu –akibat ambisi
besarnya untuk menjadi Singapura-nya dunia Arab– pemerintah pusat tidak turun
tangan. Emir Abu Dhabi-lah yang menyelamatkan keuangan Dubai. Lewat skema
pinjam-meminjam seperti antar negara. Di Afghanistan –kalau jadi
bentuk negaranya adalah ke-emiran-- pasti Pastun yang menjadi pimpinan negara
dan pimpinan pemerintahan. Hanya apakah ibu kota akan kembali pindah ke
Kandahar belum ada tanda-tanda ke sana. Kota Kandahar adalah kota terbesar
kedua. Lebih dekat ke Pakistan. Di situlah Taliban didirikan. Di wilayah itu,
suku Pastun lebih dominan. Saya belum tahu bagaimana
di wilayah yang didominasi suku Tajiks. Apakah suku Tajiks bisa bersatu atau
terbagi juga ke dalam berapa ke-emiran. Sedang di wilayah Hazaras
rasanya hanya akan ada satu ke-emiran. Paham Syiah membuat mereka lebih
tunduk ke satu imam. Apakah Hazaras akan
mendapat tempat yang layak? Itu masih tanda tanya besar. Itu memerlukan jiwa
besar Pastun untuk bisa menerima apa yang mereka anggap sebagai ''kasta terendah''
itu. Di UEA memang ada jabatan
presiden dan perdana menteri. Tapi itu hanya istilah saja. Sistem
pemerintahannya murni otoriter kerajaan. Bukan presidensial, bukan pula
parlementer. Di Afghanistan mungkin
akan ada dewan tertinggi emir. Semacam Syuriah di NU atau Dewan Syuro di PKS.
Lalu ada Tanfidziah yang akan memegang pemerintahan. Memang masih tanda tanya
besar: benarkah pemerintahan Taliban 2.0 ini –pinjam istilah komentar di
Disway– lebih moderat. Apakah tidak akan muncul tekanan dari bawah untuk
menerapkan syariat Islam secara lama. Juru bicara resmi Taliban
pusat memang sangat menjanjikan: wanita boleh bekerja dan sekolah. Semua
pejabat lama dimaafkan. Pers independen dibolehkan terus berjalan. Tapi di lapangan bisa agak
berbeda. Saya melihat televisi Amerika. Senin lalu seorang wartawati mencegat
pasukan pejuang Taliban bersenjata. Yakni sehari setelah Taliban merebut ibu
kota Kabul. Wartawati itu memakai jilbab, dengan wajah tanpa penutup. Si wartawati bertanya:
apakah orang seperti saya bisa diterima? Jawab: bisa. Wartawati: Dengan pakaian
muslimah seperti ini? Jawab: iya Wartawati: tanpa penutup
wajah seperti ini? (sambil menyodorkan wajah cantiknya). Jawab: tidak bisa, harus
pakai penutup. Itu menggambarkan betapa
beda antara pendapat elite dan akar rumput. Kalau pun Taliban 2.0 akan
lebih moderat dari mana mereka belajar berubah? Karena mereka punya markas
di Qatar? Karena tekanan Amerika? Karena tekanan calon investor baru mereka,
Tiongkok? Atau karena negara-negara Arab sendiri juga sudah banyak berubah? Yang jelas, mereka yang 20
tahun lalu masih berumur 10 tahun, sekarang sudah berumur 30 tahun. Mereka
sudah mengenal HP sampai ke pelosok. Mereka juga aktif mengirim delegasi ke
berbagai negara lain –termasuk ke Indonesia dan Tiongkok. Sebenarnya kita sedang
berharap pemerintahan baru segera terbentuk. Agar komando segera terstruktur.
Jangan sampai kedahuluan munculnya tekanan-tekanan liar dari bawah. Tapi sudah dua hari ini
belum ada indikasi pemerintahan baru itu segera terbentuk. Amerika tidak
mungkin lagi kembali ke Afghanistan. "Kita tidak pernah punya misi
mendemokrasikan Afghanistan," ujar Presiden Amerika Serikat Joe Biden ke
media kemarin. Tujuan Amerika sudah
tercapai: menghancurkan Al Qaida dan membunuh Osama Bin Laden. Merekalah yang
dituduh mendalangi penyerangan menara kembar di New York 11 September 2001
lalu. Dengan mengalahkan
Afghanistan, Amerika telah menghibur rakyatnya yang sedih akibat peristiwa
New York itu. Itulah hiburan senilai Rp 30.000 triliun. Angka itu juga telah
menghibur banyak orang, termasuk Anda. Bukankah Anda pernah merasa menggunakan uang secara sia-sia? Janganlah bersedih. Ingat
saja Amerika. Mereka juga telah membelanjakan dana segitu banyak untuk tidak
menghasilkan apa-apa. (Dahlan Iskan) ● |
Sumber : https://www.disway.id/r/1518/afghan-2-0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar