Masyarakat
Adat dan Covid-19 Ahmad Arif ; Wartawan Kompas |
KOMPAS ,11 Agustus 2021
Wabah
Covid-19 tak mengenal identitas suku dan batas wilayah. Masyarakat adat yang
semula dianggap aman dari Covid-19 mulai melaporkan kasus dan korban jiwa.
Semakin terbuka akses mereka dengan dunia luar, semakin rentan dari paparan
wabah. Alarm
bahaya bagi masyarakat adat sebenarnya telah banyak dilaporkan di negara lain
sejak tahun lalu, termasuk juga oleh lembaga di bawah Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Namun, ancaman ini semakin nyata di tengah peringatan Hari
Masyarakat Adat Internasional pada tanggal 9 Agustus. Masuknya
wabah Covid-19 di masyarakat adat makin mengemuka seiring meluasnya varian
Delta dalam beberapa bulan terakhir. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
melaporkan adanya penularan Covid-19 di masyarakat adat Apau Kayan di
Kalimantan Utara, Aru di Maluku, Kulawi dan Morowali di Sulawesi Tengah, Tana
Toraja dan Toraja Utara di Sulawesi Selatan, Enggano di Bengkulu, di
Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, hingga Papua. ”Sejumlah
kluster keluarga Covid-19 pada masyarakat adat juga telah menelan korban
jiwa. Mayoritas penderita meninggal saat isolasi mandiri karena layanan
kesehatan jauh dari jangkauan. Namun, detail jumlah kasus positif Covid-19
belum ada karena tes dan tracing tidak berjalan baik di wilayah terpencil,”
sebut Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi (Kompas, 30 Juli 2021). Sebagaimana
dilaporkan Pan American Health Organization (Oktober 2020), masuknya wabah ke
pedalaman terutama terjadi di wilayah adat yang berimpitan dengan kegiatan
ekstraksi sumber daya alam dari korporasi tambang dan perkebunan yang tetap
beroperasi selama pandemi. Mobilitas pekerja dari luar inilah yang juga
membawa wabah. Ketahanan dan kerentanan Sejak
awal wabah, sejumlah masyarakat adat di Indonesia sebenarnya telah merespons
dengan memperketat pintu masuk mereka. Ini misalnya dipraktikkan masyarakat
adat Badui di Banten. Penguncian ini membuat Badui bisa melewati gelombang
pertama Covid-19, setidaknya hingga awal Juni 2020, walau belakangan benteng
pertahanan itu mulai goyah. Secara
tradisional, masyarakat adat memiliki naluri pertahanan terhadap wabah dengan
mengisolasi diri seperti Badui, selain menghindar dengan masuk ke hutan bagi
yang memiliki tradisi berburu dan meramu. Misalnya, Orang Rimba di Jambi dan
Punan Batu di Kalimantan Utara yang selalu berpindah tempat tinggal jika ada
yang sakit parah dan meninggal walaupun tradisi ini sekarang makin sulit
dijalankan seiring dengan menyempitnya hutan. Dengan
naluri serupa, Gubernur Papua Lukas Enembe pernah menutup pintu masuk ke
Papua pada 24 Maret 2020. Namun, penguncian Papua ini kemudian dilonggarkan
karena dianggap bertentangan dengan penanganan pandemi di Indonesia. Kini,
Papua menjadi salah satu episenter wabah Covid-19. Orang
Papua seangkatan Lukas Enembe tentu mempunyai memori wabah flu yang—sekalipun
tak terdata—telah membunuh banyak orang di kampung asal mereka di Pegunungan
Jayawijaya. Sebelum Indonesia mengambil alih administrasi Nederlands Nieuw
Guinea dari UNTEA pada Mei 1963, pedalaman Papua merupakan tempat yang sangat
dibatasi aksesnya. Pada
waktu itu, orang-orang dari luar yang hendak ke pedalaman harus lolos
pemeriksaan kesehatan sangat ketat. Orang dengan sakit panu dan kaskado pun
tidak boleh masuk. Mereka yang tidak lolos buku kuning pemeriksaan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) harus menjalani
karantina dan pengobatan di Biak atau Jayapura. Namun,
Pemerintah Indonesia kemudian meniadakan aturan ketat karantina. Sejak 1963
hingga awal 1970-an, banyak orang di pedalaman, seperti Wamena dan Enorotali,
meninggal karena sakit pilek, yang oleh orang luar kerap diremehkan sebagai
”flu biasa”. Saat
ini, flu telah menjadi penyakit biasa dari Papua. Bisa dikatakan, populasi
yang bertahan sudah melalui adaptasi dan seleksi alam dari berbagai penyakit
baru dari luar. Masalahnya, ketika berbagai penyakit baru sudah bisa diatasi
dengan pengobatan modern, di pedalaman Papua justru hal itu masih menjadi
wabah yang menghantui. Contohnya
penyakit kulit kaskado yang menjadi sangat umum di pedalaman. Papua kini juga
menjadi episenter utama kusta di Indonesia, bahkan nomor dua di dunia setelah
India. Sementara campak yang bersimbiosis dengan gizi buruk pernah memicu
kematian massal 72 anak di Asmat pada 2018. Masyarakat
adat pada umumnya memiliki ketahanan tubuh sangat baik terhadap berbagai
penyakit endemis, misalnya malaria. Namun, mereka sangat rentan terhadap
berbagai penyakit baru dari luar. Kerentanan
mereka terhadap berbagai penyakit baru bisa lebih tinggi karena
ketidaksetaraan akses terhadap fasilitas kesehatan. Apalagi, mengenalkan
pendekatan modern, termasuk vaksin, kepada masyarakat adat tidak mudah.
Sekalipun, menurut data AMAN, ada ratusan ribu masyarakat adat yang mendaftar
untuk divaksin, banyak warga lainnya belum bersedia. Dengan
keterbatasan akses terhadap pengobatan modern, berbagai penyakit baru ini
akan diadaptasi secara alami oleh tubuh mereka. Seleksi alam inilah yang
memicu banyak korban. Laporan
Victor Santana Santos dari Centre for Epidemiology and Public Health, Federal
University of Alagoas, Brasil dan tim di Journal of Public Health (Juni,
2021) menunjukkan, tingkat kematian (case fatality rate/CFR) karena Covid-19
di populasi adat mencapai 3,2 persen atau hampir dua kali lipat dari
rata-rata CFR nasional negara itu sebesar 1,8 persen. Fenomena
serupa pernah terjadi dalam sejarah pandemi sebelumnya.Misalnya, selama
pandemi H1N1 2009, sebanyak 16 persen dari warga aborigin Kanada dirawat di
rumah sakit dibandingkan 3,4 persen populasi. Sejarah
mencatat bahwa wabah bisa menghancurkan populasi masyarakat adat. Misalnya,
epidemi influenza dan campak pernah membunuh lebih dari 50 persen populasi
”penduduk asli” Amerika Latin, terutama di Amazon pada tahun 1970-an. Penyakit
menular di masyarakat adat, bukan hanya bisa menyebabkan orang sakit,
melainkan juga bisa mengancam kegiatan subsisten untuk mengumpulkan makanan
atau merawat lahan pertanian mereka. Situasi ini tidak boleh terjadi pada
masyarakat adat di Indonesia, benteng terakhir alam dan tradisi di negeri
ini, di antaranya dengan mencegah wabah menjalar lebih jauh ke pedalaman,
selain juga memperbaiki akses terhadap kesehatan, termasuk vaksinasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar