Kawal
Masa Depan Suryopratomo ; Duta Besar RI untuk Singapura |
KOMPAS ,11 Agustus 2021
Seorang
anggota Tim Komunikasi Publik Satgas Covid-19 tiba-tiba mengirimkan sebuah
pesan. Ia meminta tolong untuk mendapatkan akses kepada dokter di Rumah Sakit
Persahabatan agar bisa mengetahui kondisi istrinya yang dirawat di sana
karena tertular Covid-19. Ia
benar-benar khawatir karena sejak dirawat Minggu (1/8/2021), kondisinya
semakin memburuk. Saturasinya turun sampai 60 persen. Ia hanya bisa melihat
istrinya saat melakukan video call, tetapi tidak bisa mendapatkan informasi
dari dokter tentang kondisi yang sebenarnya dari istrinya. Padahal, istrinya
itu sedang mengandung anak pertama yang sudah mereka tunggu-tunggu sejak dua
tahun lalu. Ia
sangat berharap untuk bisa mendapatkan informasi yang jelas tentang kondisi
istri dan juga anak yang sedang dikandungnya. Harapannya, mereka berdua bisa
diselamatkan dari kondisi yang terburuk. Ia
bersyukur akhirnya bisa berkomunikasi dengan dokter yang merawat istrinya.
Namun, Tuhan ternyata berkehendak lain. Kamis malam dokter memberitahukan
bahwa denyut bayi sudah tidak bisa terdeteksi. Jumat dini hari bahkan
istrinya juga tidak bisa diselamatkan. Peristiwa
yang menyayat hati seperti ini semakin sering kita terima belakangan ini.
Sudah 100.000 warga lebih yang menjadi korban dari ganasnya Covid-19. Semakin
banyak orang yang harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Tidak
sedikit anak-anak yang kemudian harus menjadi yatim-piatu. Pandemi
Covid-19 tidak hanya memberikan dampak yang luar biasa pada kesehatan dan
perekonomian. Yang tidak boleh kita lupakan adalah dampak sosial yang
diakibatkan. Terutama kepada anak-anak yang kehilangan figur orangtuanya.
Padahal, mereka membutuhkan sentuhan orangtua untuk menapaki perjalanan ke
depan. Cinta kasih Satu
yang harus menjadi perhatian kita bersama adalah generasi yang kehilangan
cinta kasih. Pelukan ibu dan kasih sayang seorang ayah menjadi bagian yang sangat
penting dalam pembentukan karakter seorang anak. Hasil
studi yang dilaporkan The Lancet menyebutkan, hingga akhir April 2021,
sedikitnya dua juta anak di dunia terdampak pandemi Covid-19, baik karena
harus kehilangan orangtuanya maupun kakek-nenek yang merawatnya. Secara
spesifik disebutkan, satu dari 100 anak di Peru, empat dari 1.000 anak di
Afrika Selatan, satu dari 1.000 anak di Amerika Serikat kehilangan orang yang
dicintainya. Dengan
jumlah anak yatim piatu yang meningkat menjadi dua kali lipat pada
pertengahan 2021 dibandingkan dengan 2020, menjadi pertanyaan bagaimana lalu
masa depan mereka? Harus ada upaya khusus untuk mencegah jangan sampai mereka
menjadi generasi yang hilang. Untuk
itu, setiap negara diusulkan segera melakukan pendataan agar bisa dipetakan
secara pasti berapa jumlah anak yang terkena akibat langsung oleh pandemi
Covid-19. Jumlah data yang pasti akan memudahkan negara untuk melakukan upaya
penanganannya. Charles
Nelson, seorang profesor dari Universitas Harvard, mengingatkan pentingnya
hadir organisasi yang merawat anak-anak yang harus kehilangan orangtua
mereka. Ini penting untuk perkembangan otak sang anak sehingga masa depannya
bisa diselamatkan. Rumah-Rumah
yatim piatu perlu dibangun bukan sekadar untuk membuat mereka bisa bertahan
hidup. Harus ada model penanganan khusus yang membuat sang anak tidak sampai
kehilangan rasa kasih sayang yang dibutuhkan untuk menyertai pertumbuhannya. Bahkan,
negara harus memikirkan pendidikan dari anak-anak korban pandemi Covid-19.
Mereka harus bisa dijaga harapannya, tumbuh dalam lingkungan yang penuh
kegembiraan dan keceriaan, serta tidak tenggelam dalam kesedihan dan
kemuraman masa depannya. Inisiatif baru Kita
pantas mengapresiasi langkah yang dilakukan Ainun Najib dan kawan-kawan untuk
membuat gerakan ”Kawal Masa Depan”. Ketika berbicara dalam webinar ”Anak Muda
Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh” yang diselenggarakan KBRI Singapura,
Rabu (4/8/2021), Ainun Najib mengatakan, ia terpanggil menghindarkan
anak-anak korban pandemi Covid-19 kehilangan masa depannya. Gerakan
Kawal Masa Depan harus dibantu seluruh lapisan masyarakat. Menurut Ainun
Najib, itu bisa dimulai dengan melaporkan tentang tetangga di sekitar rumah
kita yang menjadi anak yatim-piatu. Dari data yang dikumpulkan dari seluruh
Indonesia, bisa kita ketahui jumlah anak yang perlu kita selamatkan dan di
mana lokasi mereka berada. Selanjutnya,
langkah yang dipersiapkan dia bagi tiga kelompok. Pertama mengajak seluruh
komponen masyarakat untuk mengumpulkan donasi. Uang yang terkumpul akan
dipakai untuk membiayai sekolah anak-anak yang kini harus menjadi sebatang
kara. Langkah
kedua yang akan dilakukan gerakan Kawal Masa Depan adalah mempersiapkan
program mentoring. Semua anggota masyarakat yang punya keahlian khusus diajak
untuk menjadi semacam orangtua asuh. Mereka diminta untuk mendampingi sang
anak dengan mentransfer keterampilan yang dimiliki sampai anak itu kemudian
berhasil. Ketiga,
membentuk modal ventura yang bisa memberikan keterampilan, pekerjaan, bahkan
melahirkan perusahaan rintisan (start up) baru. Ainun Najib terinspirasi oleh
entrepreneur teknologi Austen Allred yang membangun Lambda School di Utah,
Amerika Serikat. Allred
terinspirasi oleh konsep yang dikembangkan ahli ekonomi Milton Friedman pada
1950-an dengan apa yang dinamakan human capital contract. Anak-anak yang
ingin menempuh pendidikan tidak harus membayar uang sekolah. Ia baru mencicil
biaya sekolah ketika kelak sudah bekerja. Kegiatan
yang Allred lakukan sejak Juli 2017 dimulai dengan mengajak anak-anak yang
tidak mempunyai biaya sekolah untuk belajar coding. Ia percaya semua orang
bisa menjadi coder, sepanjang mereka mau untuk mengerjakannya. Terbukti
banyak orang yang kemudian sukses setelah mengikuti pendidikan yang dilakukan
secara online (daring) di Lambda School. Bahkan, mereka mampu membayar biaya
sekolahnya sebesar 30.000 dollar AS karena hanya dipotong 17 persen dari gaji
yang diperolehnya. Ainun
Najib percaya model ”gratis bayar sekolah sampai mendapat pekerjaan” bisa
menjadi salah satu solusi untuk mencegah jangan sampai anak-anak korban
pandemi Covid-19 kehilangan masa depan mereka. Kepedulian ini harus
dihidupkan karena ada lebih dari 100.000 anak yang sekarang tiba-tiba menjadi
yatim-piatu. Social entrepreneurship
perlu dikembangkan karena tidak mungkin hanya mengandalkan negara untuk
memecahkan masalah ini. Sekarang ini saja perhatian pemerintah lebih terfokus
pada penanganan kesehatan dan ekonomi. Kita
tidak boleh membiarkan persoalan sosial akibat pandemi Covid-19 meledak
kemudian. Apalagi kehidupan ini akan terus berjalan dan kita tidak bisa
menunggu anak-anak korban Covid-19 ini baru kita pikirkan setelah pandemi
kelak berakhir. Sementara kita tidak pernah bisa memperkirakan kapan pandemi
ini akan berakhir. Sekretaris
Jenderal PBB Kofi Annan pada 2000 pernah melontarkan gagasan pembentukan
global compact untuk menangani tantangan global di masa mendatang. Kofi Annan
berpandangan, semua tantangan yang ada tidak mungkin hanya diselesaikan pada
level negara. Harus ada kontribusi dari pemangku kepentingan yang lain. Kerja
sama tiga sektor menjadi kunci untuk menjawab tantangan masa depan. Negara,
dunia usaha, dan masyarakat madani harus membangun sikap saling percaya,
saling mengerti, dan saling menghormati demi terciptakan langkah bersama
menghadapi tantangan masa depan. Tantangan nyata yang kita hadapi sekarang
ini, bagaimana menjawab persoalan kesehatan, ekonomi, dan sosial akibat
pandemi Covid-19. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar