Jurnalisme
Wabah dan Siasat Semiotika Acep Iwan Saidi ; Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB |
KOMPAS ,11 Agustus 2021
Kecepatan
penyebaran wabah Covid-19 nyaris berbanding lurus dengan penyebaran informasi
tentangnya. Beranalogi kepada Baudrillard (1981), perpaduan keduanya
melahirkan dua ledakan sekaligus. Pertama, sebagai sebuah wabah yang terjadi
di ruang nyata (riil), pandemi Covid-19 ”meledak ke arah luar” (explosion). Wabah
ini merontokkan kerumunan seperti api membakar ladang alang-alang. Dengan
sangat cepat ia menghabisi lahan di kiri-kanannya yang tanpa sekat. Tetangga,
saudara, dan kerabat dekat yang terpapar menjadi peristiwa riil keseharian.
Kematian nyata di depan mata. Kedua,
informasi tentang wabah ini ”meledak ke arah dalam” (implosion), yakni ke
dalam kepala setiap individu. Berita tentang kematian, ambulans jenazah yang
antre di pemakaman, perang vaksin, penanganan oleh pemerintah yang tidak
meyakinkan, unjuk rasa terhadap kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan
masyarakat (PPKM), dan lain-lain membombardir kepala tiap individu yang
notabene sedang berada di rumah. Ini
menjadi wabah lain yang menyebar lebih cepat dan menyerang sisi lemah tubuh
juga. Jika
paduan dua ledakan tersebut diibaratkan tsunami, kita telah mengalami dua
sapuan gelombang yang dasyat, yakni Covid-19 tanpa varian sebagai gelombang
pertama dan varian Delta yang menyapu pada kesempatan kedua saat ini. Kita
sudah dan sedang menyaksikan (merasakan), gelombang kedua ini jauh lebih
dahsyat dari gelombang yang pertama. Pertanyaannya,
mungkinkah akan datang gelombang berikutnya? Tentu kita sangat tidak
mengharapkan itu. Namun, tentu kita juga harus berjaga. Kemungkinan muncul
varian baru masih sangat terbuka. Memilih keberpihakan Lewat
esai singkat ini, saya ingin mengajak kita berpikir dan berupaya mengatasi
”ledakan ke arah dalam” sebagaimana disinggung di atas, yakni tentang
bagaimana pengelolaan informasi agar tidak menjadi pandemi, setidaknya
mengurangi efeknya. Hal
ini penting seturut hasil survei yang dilakukan tim riset dari Universitas
Multimedia Nusantara (UMN) tentang persepsi publik terhadap pemberitaan
Covid-19 (Kompas, 31/7/2021). Saya mencatat dua hal menarik pada hasil survei
ini. Pertama, publik telah semakin selektif dalam menyerap pemberitaan
Covid-19. Terkait hal ini, publik juga lebih percaya kepada media arus utama. Kedua,
pemberitaan tentang Covid-19 telah berdampak pada emosi publik. ”Sebagian
besar responden merasakan semacam keletihan, kesedihan, pilu, rasa rindu, dan
kesepian (disuarakan anak muda). Sementara kalangan yang lebih tua merasa
marah, cemas, tertekan, atau mental yang lebih terganggu”, demikian tim
peneliti. Tak
ada penjelasan lebih rinci tentang pemberitaan seperti apa yang menimbulkan
dampak emosi tersebut. Di samping itu, juga tidak ada penjelasan spesifik
mengapa mereka lebih memilih media arus utama. Hal ini menunjukkan bahwa
pemilihan pada media arus utama tidak serta-merta media ini telah memberitakan
berbagai peristiwa pandemi dengan baik. Di
bagian lain, tim peneliti mengatakan, ”walaupun percaya pada media massa arus
utama, ada kecurigaan juga bahwa pemberitaan di media massa dilebih-lebihkan
dari realitas”. Terlepas
dari kemungkinan kelemahannya, hasil survei ini merupakan catatan dan masukan
yang menarik untuk para pelaku dan pengelola media, dalam hal ini terutama
media arus utama. Saya yakin, dalam perang melawan pandemi Covid-19 ini, para
pelaku dan pengelola media telah memiliki kesadaran untuk bersama-sama
melawan dan mengusir wabah ini. Sejatinya media memang mengambil posisi
keberpihakan ke sisi kemanusiaan dalam pemberitaannya. Namun,
penting dipahami bahwa keberpihakan tersebut bukan berarti media harus
mengorbankan nilai-nilai kebenaran informasi. Wacana dan usul beberapa pihak
tempo hari, yakni media harus menghentikan pemberitaan yang memiliki unsur
kengerian akibat pandemi Covid-19 (berita buruk seputar wabah), tentu tidak
tepat dan karena itu harus ditolak. Alih-alih demikian, yang harus dipikirkan
adalah seluruh informasi tersampaikan dengan benar di satu sisi dan di sisi
lain tidak menimbulkan kecemasan atau ketakutan publik sebagaimana dilansir
tim riset UMN. Melawan secara tak normal Hal
yang harus dipahami bersama adalah fakta bahwa saat ini kita sedang berada
dalam ketidaknormalan—yang tidak serta-merta bisa bisa dihadapi dengan
membangun perilaku kenormalan baru. Ketimbang demikian, situasi tidak normal
ini juga harus dihadapi dengan cara-cara tidak normal. Dalam
konteks pemberitaan media, perspektif tentang ”peristiwa yang penting”
sebagai bahan baku berita mesti diubah. Konstruksi 5W1H harus dimainkan—untuk
tidak menyebut didekonstruksi—sedemikian rupa, yang berbeda dengan situasi
normal. Nilai penting ”kepala berita”, misalnya, tidak lagi diukur sebagai
”nilai penting peristiwa untuk kebutuhan pasar informasi” yang dapat
dikompetisikan antara satu media dan media lain. Alih-alih
demikian, poin pentingnya mesti diletakkan pada bagaimana peristiwa yang
dinarasikan memiliki nilai terapis untuk publik dalam kerangka melawan wabah
secara bersama-sama. Konstruksi pemberitaan demikian menuntut para pelaku dan
pengelola media memperlebar ruang tatapan sekaligus memperjeli pengamatan
sehingga menemukan noktah putih pada kanvas hitam. Selanjutnya,
dibutuhkan kerendahan hati untuk menjadikan noktah putih tersebut sebagai
titik berangkat (angle) penulisan. Penting ditekankan bahwa model penulisan
dengan sudut pandang ini bukan berarti menghilangkan ”yang hitam”. Bagian
hitam yang bisa jadi lebih dominan tetap harus disampaikan. Inilah yang ingin
saya sebut sebagai jurnalisme wabah. Pendek kata, jurnalisme ini mengubah
model penulisan piramida terbalik (dalam situasi normal) menjadi kontruksi
piramida ”tak terbalik”. Lebih
jauh, saya ingin menyampaikan bahwa jurnalisme wabah adalah sebuah siasat
semiotika, yakni sebuah cara bagaimana kita mengelola bahasa sebagai gugusan
tanda. Dalam
siasat ini, bahasa tidak disikapi sebatas alat komunikasi dan penyampai
realitas. Melampaui hal itu, bahasa seyogianya disikapi pada fungsinya
sebagai media yang dapat membebaskan manusia dari beban realitas. Anda bisa
menjelaskan kepada rekan kerja di kantor bahwa rumah Anda besar dan megah,
misalnya, tanpa membawa bangunan rumah tersebut ke hadapan rekan Anda. Dengan
demikian, Anda terbebas dari beban itu. Namun,
seraya dengan proses itu, di dalam benak rekan Anda akanmuncul semacam
pembayangan tentang rumah Anda. Pada titik ini, bahasa memungkinkan teman
Anda memahami sekaligus salah paham. Jadi, pada akhirnya semua akan sangat
tergantung pada bahasa. Kerja jurnalisme, lebih-kurang, juga bermuara ke
situ. Saat
seorang jurnalis menemukan peristiwa, saat itu ia menemukan bahasa. Ia
memindahkan (to denote) peristiwa itu ke dalam bahasa, ke dalam tanda.
Walhasil, sejak bertemu dengan peristiwa, seorang jurnalis sudah
mengoperasikan siasat semiotika sedemikian, tanpa mengkhianati peristiwa.
Jadi, mari maksimalkan siasat ini dalam memerangi pandemi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar