Jakarta
Tenggelam Adiyanto ; Wartawan Media Indonesia |
MEDIA INDONESIA,
8 Agustus 2021
BELUM lama ini, Presiden
Amerika Serikat Joe Biden menyinggung soal Jakarta. Ia bilang kota ini
berpotensi tenggelam pada satu dekade mendatang. Ia menyampaikan
pernyataannya itu bukan dalam rangka kunjungan kerjanya di Indonesia,
melainkan di negerinya sendiri, tepatnya di Kantor Direktur Intelijen
Nasional AS pada 27 Juli lalu. Di situ ia berbicara dalam
konteks perubahan iklim. Menurut Presiden yang menggantikan Donald Trump itu,
pemanasan global menyebabkan naiknya permukaan air laut. Ribuan orang bisa
kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan kehidupan. “Apa yang terjadi
di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa dalam 10 tahun ke depan, mereka
mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah
air?” kata Biden seperti dikutip berbagai media arus utama di Tanah Air. Ucapan Biden itu sontak
bikin heboh dan jadi perbincangan, termasuk di kalangan warganet yang kadang
sok ‘mahatahu’ dan ‘mahakuasa’. Ia juga jadi bahan dialog di berbagai
televisi dan siniar (podcast). Apa yang disampaikan Tuan Biden sebetulnya
bukan sesuatu yang baru dan tidak mengejutkan. Banyak ahli lingkungan,
termasuk pakar tata kota di Indonesia, telah mengingatkan tentang penurunan
tanah di Jakarta sehingga berpotensi tenggelam, baik pada saat dipimpin Sutiyoso
maupun Fauzi Bowo. Bahkan, Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, JP Coen, pun ketika memerintah di zaman VOC sudah tahu kalau
wilayah yang dulu bernama Jayakarta itu memiliki kontur labil karena
merupakan hasil sedimentasi. Namun, itu bukan masalah untuk tetap ditinggali
karena kota itu mirip di negerinya (Belanda) yang sebagian wilayahnya juga
berada di bawah permukaan laut. “Ia (Coen) meminta arsitek
bernama Simon Stevin untuk membangun sejumlah kanal seperti kota-kota di
Belanda,” kata sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, dalam
dialog Banjir Jakarta, Riwayatmu Dulu di channel Youtube dan Facebook
Historia.id pada Februari lalu. Seperti tercatat dalam
berbagai kitab sejarah, upaya itu tidak sepenuhnya berhasil sebab alam,
terutama cuaca dengan intensitas hujan yang tidak seperti di Belanda, ikut
berkonspirasi membuat kota ini sering tergenang. Ditambah lagi pembangunan
yang kian masif membuat ketersediaan air tanah di Jakarta pun ikut tergerus,
yang berdampak pada kian menurunnya permukaan daratan. Awal Februari lalu,
peneliti Kebencanaan Pusat Teknologi Reduksi dan Risiko Bencana Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PTRRB BPPT) Joko Widodo memaparkan dari
berbagai hasil kajian studi ditemukan fakta terjadinya penurunan tanah di DKI
selama 50 tahun terakhir. Dalam studinya, kata Joko, tim INDI (Indonesian Network for Disaster
Information) 4.0 BPPT telah menganalisis menggunakan metode interferometric synthetic aperture radar
(Insar) berdasarkan data satelit Radar Sentinel 1A untuk melihat laju
penurunan tanah di Jakarta. Hasil analisis data Insar yang direkam sejak 20
Maret–22 Oktober 2019 itu memperlihatkan bahwa laju maksimum penurunan tanah
mencapai 6 cm per tahun. Menurut dia, ada empat
penyebab penurunan muka tanah yang terjadi di Jakarta. Pertama, akibat
ekstraksi air tanah. Kedua, akibat beban konstruksi. Ketiga, akibat
konsolidasi alami tanah alluvium. Terakhir, penurunan tanah tektonik. Jika
ditambah semakin naiknya permukaan laut sebagai dampak pemanasan global, apa yang
disampaikan Biden rasanya masuk akal. Apalagi jika tidak diiringi langkah
konkret segera untuk menanggulanginya. Terus terang saya tidak
paham mengapa Biden mengambil contoh Jakarta ketika berbicara dengan para
bawahannya tentang perubahan iklim. Saya juga tidak tahu apakah omongannya
itu bakal berdampak pada harga tanah dan kavling di pesisir utara Jakarta,
seperti halnya ucapan para gubernur Bank Sentral yang kerap mengguncang
lantai bursa. Namun, yang pasti, kita
patut berterima kasih atas ucapannya itu. Setidaknya bisa menjadi warning
bagi kita semua meski mungkin wacana itu bakal tenggelam dengan berita atau
gosip-gosip selanjutnya, seperti korupsi, artis yang terjerat prostitusi, dan
sebagainya. Maklum, warga +62 umumnya cepat lupa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar