Ada
Saat Memberi, Ada Saat Menerima Impian Nopitasari ; Penulis, tinggal di Solo |
DETIKNEWS, 8
Agustus 2021
Kemarin teman saya pamer
kalau dia bisa memotong rambutnya sendiri. Virus Covid-19 varian delta yang
masih meneror membuatnya paranoid untuk pergi ke salon. Seperti biasa dia
meminta pendapat saya tentang potongan rambutnya itu. "Gimana
menurutmu?" "Bagus kok, cuma kok
rasanya aku familier ya sama potongan rambut itu. Sebentar aku
ingat-ingat," kata saya menanggapinya. Saya pun akhirnya
mengingat-ngingat sebenarnya mirip siapa sih potongan rambut teman saya ini. "Oh, ya aku ingat.
Sorry ya, tapi kok model rambutmu itu mirip (saya menyebutkan seorang
influencer yang sedang ramai "dirujak" netizen) hahaha," "Oh, iya ya. Asem
tenan! Hih." Dia misuh-misuh, tapi akhirnya kami tertawa bersamaan. Jangan salah paham, kami
tidak sedang "potongan rambut shaming". Teman saya sejak dulu
memang sebal dengan mbak-mbak influencer itu. Potongan rambut teman saya itu
memang mirip dengan influencer yang sedang ramai dihujat netizen. Alasannya,
dia menulis tweet yang mengabarkan bahwa dia ulang tahun, disertai unggahan
foto selfie dan kode QRIS yang terhubung ke rekeningnya. Kode tersebut dia unggah
agar orang yang mau mengado dirinya bisa lebih mudah, yaitu mentransfer
sejumlah uang. Tentu saja kelakuannya
yang dianggap "mengemis online" itu membuat kaum julid-ers
berkumpul. Apalagi ternyata diketahui kalau dia bermasalah karena tidak
segera mengembalikan uang pesanan tote bag yang setahun belum dibuat. Jadilah
para korban berkumpul. Mereka menuntut uang mereka dikembalikan karena efek
dari posting-an influencer tersebut pastilah banyak yang mentransfer. Meski ketika saya lihat
banyak juga yang iseng dengan mentransfer sejumlah uang dengan nominal yang
menggelikan, atau sekadar mengedit bukti transfer untuk lucu-lucuan. Tentu
saja saya paham kegemasan mereka kepada orang yang suka meminta-minta padahal
bukan untuk kebutuhan yang darurat. Jujur, sebenarnya saya
sendiri juga pernah membuat posting-an semacam itu ketika ulang tahun. Tapi
tentu saja hanya bercanda. Tidak berani lah saya mengunggah kode QRIS
terang-terangan. Bisa-bisa bukan transferan dari teman-teman, tapi malah
transferan dari pinjaman online. Lak ya remuk, Jum. Belum selesai saya
menyimak kegaduhan mbak influencer, saya dibuat penasaran lagi dengan
kegaduhan berikutnya. Kegaduhan itu bernama tren ikoy-ikoy-an. Saya lihat
beberapa tweet membicarakan tentang beberapa selebgram yang kesal dengan tren
ini. Saya sampai googling apa itu ikoy-ikoy dan menemukan jawabannya. Jadi
ikoy-ikoy sebuah kegiatan berbagi yang tengah ngetren di Instagram. Intinya
para pesohor seperti selebgram atau selebritis berbagi dalam bentuk apapun
kepada para pengikutnya yang dipilih secara acak. Kata ikoy sendiri berasal
dari nama salah satu staf selebgram Arief Muhammad yang mempopulerkan tren
ini. Jadi teknisnya ini adalah
kegiatan berbagi atau giveaway dari selebgram kepada follower-nya. Follower
terserah ingin minta barang apa yang sedang dibagikan. Mereka bisa mengirim
pesan pribadi kepada selebgram yang mengadakan ikoy-ikoy. Yang membuat
selebgram lain kesal adalah jadi banyak follower yang memaksa selebgram lain
untuk mengadakan kegiatan serupa. Nah, hal tersebut menjadi sorotan karena
jadinya malah seperti mengemis. Saya sendiri juga sering
mengadakan giveaway, tapi ya untuk seru-seruan saja. Yang ikut juga yang
tertarik barangnya dan tentu saja mereka tidak merasa mengemis. Saya tidak
maido kalau banyak orang yang kesal dengan orang yang suka meminta-minta
sesuatu untuk hal yang kurang penting atau bukan untuk kebutuhan primer.
Tidak juga darurat atau kepepet. Tapi apakah menerima pemberian selalu
berkonotasi negatif? Belum tentu. Saya paham, ada orang yang
tipenya tidak mau menerima pemberian orang lain. Tidak ingin merepotkan orang
lain. Tapi dalam kondisi tertentu, tidak bisa selamanya begitu. Saya punya
cerita, ada teman yang sedang mengalami kasus terinfeksi kembali (reinfected)
Covid. Dia banyak cerita di grup WhatsApp tentang kondisinya yang tentu saja
membutuhkan bantuan. Sambat begini-begitu. Saya dan beberapa teman ingin
memberinya bantuan sesuai yang dibutuhkan. Tentu saja kami minta
alamatnya melalui pesan pribadi. Tapi ternyata kami tidak diberi alamatnya.
Bahkan pesan saya diabaikan, tapi di grup dia masih ngoceh terus. Seorang
teman yang pesannya dibalas mengadu kepada saya, katanya si teman tadi gengsi
menerima pemberian. Saya pun semakin kesal.
Terus saya harus bagaimana? Jadi serba salah. Kalau dia butuhnya hanya cerita
dan mencari dukungan moral saja, tapi kok ceritanya mengatakan kalau memang
butuh bantuan. Dalam kasus seperti ini mbok ya dibuang dulu egonya. Tidak
usah pekewuh. Sudah saatnya menerima bantuan. Bukankah itu kondisi darurat?
Mau pilih gengsi atau mati? Saya kesal ketika kami
yang memang sedang khawatir dan peduli sekali malah ditolak ketika ingin
membantu. Kami jadi suuzon bantuan yang ingin kami berikan diterjemahkan
sebagai urusan uang belaka. Tentu saja hal tersebut membuat kami tersinggung
dan bisa jadi malas untuk peduli lagi. Kalau kita mampu, ada, dan
tulus untuk memberi sesuatu yang dibutuhkan itu ya mbok diterima. Selama itu
bukan pemberian yang bermasalah seperti suap, gratifikasi, atau dari
seseorang yang membuat kita trauma dan diberikan dengan cara yang baik ya
diterima saja. Bisa jadi itu sebenarnya jawaban doa kita. Orang yang membantu
sebenarnya adalah wasilah atau perpanjangan tangan dari Tuhan. Kita sedang
butuh pertolongan kan? Lha ya tidak mungkin kan tiba-tiba ada uang, sembako
atau vitamin yang jatuh dari langit? Seharusnya masa-masa seperti ini bisa
jadi ajang belajar untuk menerima. Saya ketika isoman sangat
terbantu sekali karena bantuan teman-teman. Karena saya sadar saya sedang
tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Dari yang mengirimi kebutuhan
sehari-hari sampai mentransfer uang. Mungkin uang saya masih cukup, tapi itu
bukan perkara saya hanya mau uangnya. Selain itu juga melegakan hati orang
yang memberi karena bisa menyalurkan kasih sayang dan kepedulian mereka. Kita tidak menjadi hina
karena meminta pertolongan ketika memang kita butuh ditolong. Memang, bagi
mereka yang terlalu biasa mandiri, meminta pertolongan adalah sesuatu yang
berat. Saya dulu juga begitu. Apa-apa harus saya kerjakan sendiri. Bahkan
banyak teman yang menganggap saya terlalu mandiri. Saya paling tidak suka
merepotkan orang lain. Selama bisa saya kerjakan sendiri, ya akan saya
kerjakan sendiri. Saya juga suka sekali
memberi dan sungkan untuk menerima pemberian. Pekewuh. Tapi lama-lama saya
sadar, saya harus menurunkan ego saya. Ada saatnya saya minta tolong, dan itu
tidak apa-apa. Ada saatnya saya menerima pemberian, menerima bantuan, dan itu
wajar. Dalam kondisi biasa, saya
dan teman-teman suka berkirim hadiah. Tidak menganggapnya sebagai utang yang
harus segera dilunasi saat itu juga. Diterima saja, nanti giliran kita
longgar, kita yang gentian mengirimi. Teman saya pernah cerita,
ketika Hari Raya Lebaran dia ingin memberi angpau kepada anak temannya, tapi
langsung ditolak. Bahkan orangtua si anak ketika mengucap, "Nggak usah,
nggak usah," seperti bernada marah. Tentu saja teman saya tersinggung
karena merasa mereka tidak punya konflik. Apalagi setelah itu temannya itu
menulis story WhatsApp bahwa tidak ingin mengajari anaknya untuk mengemis. Saya pribadi tidak
menganggap angpau itu seperti sarana anak untuk mengemis. Tidak sampai saya
mikir jauh seperti itu. Perayaan seperti itu juga setahun sekali. Paling
tidak diterima saja, jika tidak berkenan, nanti bisa diberikan ke yang lain.
Yang penting melegakan yang memberi. Sampai sekarang saya masih
saja merenung, apa saya yang lebay? Bukankah selama ini saya selalu
memastikan bahwa saya memberi sesuai kebutuhan agar tidak mubazir, saya
memberi kepada orang yang jelas mau menerima pemberian saya karena memang
butuh. Apa saya hanya kecewa karena pemberian saya ditolak? Ya, memang sih ditolak itu
pastinya kecewa. Sebelumnya juga begitu, ada teman yang mengirimi buku, tidak
mau dibayar, giliran saya mau mengirimi tidak mau. Malah diarahkan untuk
mengirim ke tempat lain. Kenapa dia tidak menerima saja sih pemberian saya?
Terserah setelah itu mau diapakan. Kalau buku itu memang harus disumbangkan,
saya sudah ada pos tersendiri sebenarnya. Rasanya kalau ditolak langsung kok
menyebalkan. Kalau dia alasannya tidak
butuh, lha saya kan bisa bilang kalau saya juga tidak butuh. Padahal kalau
dia memberi, orang lain harus menerima. Giliran orang mau memberi, kok dia
tidak mau menerima. Kan tidak adil. Semua idealnya seimbang. Maunya menerima
pemberian terus ya njelehi, tidak pernah memberi padahal mampu. Sebaliknya,
maunya memberi saja juga menyebalkan, tidak memberi ruang kepada orang lain
untuk bergantian memberi. Kita ini manusia, tidak bisa hidup sendiri.
Saling-saling lah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar