Dokter
Bukanlah Tumpuan Permasalahan Ova Emilia ; Guru Besar Bidang Pendidikan Kedokteran
Pertama di Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan
Keperawatan (FK-KMK) UGM |
KOMPAS, 9 Agustus 2021
Sebanyak
598 dokter gugur sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia. (kompas.com,
28/7/2021). Gugurnya para pahlawan kesehatan itu disinyalir menjadi kerugian
sekaligus kekhawatiran negara akan terjerembab dalam krisis pandemi
berkepanjangan. Kelelahan
tenaga kesehatan dan paparan Covid-19 disebut menjadi pemicu tingginya angka
kematian dokter. Pelayanan kesehatan kolaps. Jumlah dokter tidak lagi cukup
untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Beragam alternatif solusi pun
mulai banyak ditawarkan. Penggunaan calon tenaga kesehatan sebagai sebuah
solusi juga mulai digulirkan. Pertanyaan
yang muncul kemudian, apakah kondisi darurat kesehatan di masa pandemi
Covid-19 an sich karena kurangnya jumlah dokter? Ataukah karena
karut-marutnya sistem layanan kesehatan yang gagap dalam menghadapi pandemi? Kondisi
darurat memang menuntut cara berpikir di luar ‘kenormalan’. Namun, pemetaan
masalah yang komprehensif dan sistematis tetap penting untuk dilakukan, agar
tidak menjadi tindakan serampangan yang justru hanya akan menambah keresahan. Dokter dalam angka Data
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) 2019 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki
89 fakultas kedokteran yang terdiri dari 38 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan
51 Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Jumlah kelulusan dokter umum di Indonesia
berada dalam kisaran angka 13.000 per tahun. Tahun 2025 bahkan Indonesia
diprediksikan akan berhasil meluluskan lebih dari 14.000 dokter baru per
tahun. Melimpahnya
tenaga dokter menyimpan pertanyaan utama. Ke manakah mereka akan melabuhkan
diri untuk mengabdi bagi negeri? Untuk distribusi tenaga dokter di Indonesia,
masih cukup sulit untuk menemukan keharmonisan ‘data tunggal’. Data KKI
bersumber pada jumlah Surat Tanda Registrasi (STR) dokter yang akan praktik. Sedangkan
data Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan
(BPPSDMK) Kementerian Kesehatan cenderung menunjukkan jumlah tenaga dokter
yang menjalankan praktik klinik di rumah sakit (RS) ataupun puskesmas. Untuk
data tenaga dokter dengan praktik klinik, belum terangkum di dalamnya. Data
BPPSDMK Kemenkes 2020 menunjukkan bahwa pada 2019 Indonesia memiliki 188.868
dokter. Dengan pertumbuhan jumlah lulusan dokter 13.650 per tahun (KKI, 2020)
maka PPSDMK optimistis di 2030 Indonesia akan berhasil mencetak 325.368
dokter dengan tingkat atresi 2,5 persen per tahun. Posisi
ini akan membuat Indonesia mengalami surplus jumlah tenaga dokter 43.783
dalam kurun waktu 10 tahun dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)
281.585 dokter (75 persen). Ini berarti Indonesia akan mencapai target SDGs
setelah 7-8 tahun. Data
kecukupan jumlah tenaga kesehatan di Indonesia sejak awal sudah harus
diperhitungkan. Pemerintah optimistis untuk meningkatkan jumlah lulusan
ataupun pengadaan tenaga dokter. Namun, data sebaran jumlah dokter di
Indonesia masih luput dari perhatian. Sudah
saatnya distribusi dokter bukan lagi bicara angka atau kecukupan berbasis
rasio, tetapi harus mulai mempertimbangkan pemetaan karakteristik permasalahan
kesehatan masing-masing wilayah, agar masyarakat mendapatkan pelayanan sesuai
kebutuhan. Undang-undang
Pendidikan Kedokteran tahun 2013 telah menegaskan bahwa jumlah produksi
tenaga dokter perlu melihat konteks kebutuhannya. Selain itu, jumlah dokter yang
dihasilkan oleh institusi pendidikan perlu mempertimbangkan pos pengabdian
yang akan diduduki, sehingga kerja sama Kementerian Kesehatan selaku pengguna
serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, harus solid. Produksi dokter ini
harus dijaga agar tidak menjadi surplus ataupun minus karena akan berdampak
kurang baik bagi negara. Pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) RI No 26 Tahun 2019
mengenai Peraturan Pelaksanaan UU No 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, yang
menetapkan bahwa dalam situasi darurat negara mengizinkan pendelegasian
wewenang. Pendelegasian wewenang ini harus berbasis kompetensi, karena sumber
daya kompeten menjadi marwah pelayanan kesehatan. Segala upaya peniadaan
syarat kompetensi ini sama halnya dengan melakukan pelanggaran HAM. Respons sistem kesehatan Badan
Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2020 dalam dokumen Operational Planning
Guidelines to Support Country Preparedness and Response memberikan sembilan
aspek preventif bagaimana negara harus merespons pandemi. Dari
sembilan aspek itu, negara telah mengupayakan banyak hal seperti koordinasi
dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Satgas Covid-19 yang
jadi ‘konduktor’ dalam membangun dan memperkuat surveilans serta
laboratorium. Semua diusahakan dan dibangun cepat, karena situasi pandemi
membuat semua pihak berpikir keras untuk bisa bertahan. Komunikasi
risiko serta pelibatan masyarakat harus didesain dengan matang. Ketiadaan
komunikasi terpusat menjadikan masyarakat mengalami kebingungan dalam mengakses
validitas informasi hingga terjebak pada disinformasi dan misinformasi
kesehatan. Distorsi informasi dan komunikasi ini merugikan masyarakat. Di
titik inilah peran negara diperlukan untuk turut mengendalikan informasi
kesehatan. Perilaku
tidak patuh prokes, anjuran memakai ramuan atau tindakan tertentu justru
meningkatkan paparan risiko infeksi, meningkatkan lonjakan kasus, dan
meningkatkan risiko bagi dokter di garda pelayanan kesehatan. Praktik
pembatasan sosial seperti stigma dan pengucilan mulai dilakukan masyarakat
kepada warga terpapar Covid-19. Tindakan ini justru membuat kegiatan
surveilans tidak berjalan dengan sepenuh hati. Transparansi menjadi kunci
keberhasilan surveilans. Namun, masing-masing daerah di Indonesia justru
memiliki rapid response bervariasi, tergantung tingkat kesiapan daerah.
Sebuah wilayah bahkan masih merasa khawatir jika daerahnya akan mendapatkan
label “zona merah”. Saat
aspek preventif sudah dilaksanakan dengan konsekuen, maka antisipasi lonjakan
kasus di fasilitas kesehatan bisa diupayakan, seperti memperluas kapasitas
bangsal lapangan dan terpantau oleh sistem kesehatan. Praktik pelanggaran
terhadap aspek preventif justru memberi konsekuensi pada banyaknya nakes
gugur dalam tugas. Situasi bahkan semakin memburuk saat sebagian nakes
memutuskan untuk mundur dari upaya pelayanan. Sembilan
aspek yang ditawarkan WHO di atas menunjukkan bahwa dokter bukan sumber
tunggal krisis pelayanan kesehatan. Ada penyebab multifaktoral yang bisa
direfleksikan bersama. Menipisnya jumlah dokter hanyalah imbas dari
ketidaksiapan sistem layanan kesehatan, bukan menjadi tumpuan pokok
permasalahan. Penguatan kesehatan Kompleksitas
permasalahan krisis pelayanan kesehatan perlu dipahami secara komprehensif
agar bisa memberikan tawaran alternatif solusi yang tepat. Pertama, pandemi
Covid-19 bukan hanya menjadi masalah krisis tenaga dokter. Oleh karenanya
perlu kerja sama lintas sektoral yang memungkinkan seluruh lini berperan,
mulai dari masyarakat, institusi pendidikan, infrastruktur, logistik, sumber
daya, sektor politik, ekonomi, bahkan budaya untuk mengatasi pandemi
Covid-19. Kedua,
pemetaan distribusi dokter mendesak untuk dilakukan pemerintah. Pemetaan
penting diupayakan untuk mendapatkan data riil penggiatan layanan kesehatan
berbasis kebutuhan masyarakat. Ketiga, memperkuat puskesmas atau Fasilitas
Kesehatan Tingkat Primer (FKTP) dengan tenaga dokter kompeten serta
meningkatkan kompetensi dokter layanan primer secara formal sehingga memiliki
status profesi unggul. Mengabaikan kualitas kompetensi hanya akan
mempertaruhkan keselamatan masyarakat sekaligus melanggar hak kesehatan warga
negara. Krisis
pelayanan kesehatan yang terjadi sampai dengan hari ini sekali lagi bukan
hanya karena keterbatasan jumlah dokter. Tawaran solusi untuk mendayagunakan
nakes yang belum kompeten justru menjadi bentuk ketergesaan yang membahayakan
pasien, karena kompetensi dokter merupakan sebuah keutamaan dalam menjalankan
mandat pelayanan kemanusiaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar