Jalan
Baru Tangkal Pencurian Ikan M Riza Damanik ; Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional
Indonesia; Alumnus Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro |
KOMPAS, 9 Agustus 2021
Aksi
pencurian ikan oleh kapal asing di perairan Indonesia masih marak terjadi
dengan beragam modus dan jenis alat tangkap. Ikhtiar menyeluruh harus
dilakukan agar penanganan kejahatan perikanan segera tuntas: menyasar
langsung ke faktor “penyebab”, bukan sekadar merespons “akibat.” Sejak
awal 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menangkap 94 kapal,
terdiri dari 24 kapal ikan asing, enam berbendera Malaysia, dua Filipina dan
16 Vietnam (Kompas, 30/5/2021) dan 70 kapal ikan Indonesia. Dalam rentang
2015-2020, KKP juga telah menenggelamkan 94 kapal Malaysia, 90 kapal Filipina
dan 322 kapal Vietnam. Selain itu, ada juga kapal ikan dari Thailand (22),
China (3), Nigeria (1), dan Belize (1). Kejadian
berulang ini menjelaskan efek getar dari ekspose penenggelaman kapal pencuri
ikan lima tahun terakhir belum memberikan efek jera. Faktor penyebab Keberhasilan
memerangi aktivitas pencurian ikan di perairan seluas dan sesubur Indonesia
mustahil hanya dengan pendekatan pengawasan. Pencurian ikan hanyalah akibat,
sedang penyebab utamanya dapat ditelusuri dari dua faktor. Pertama,
faktor internal, yakni fakta bahwa perairan Indonesia memiliki potensi sumber
daya perikanan teramat besar, namun berada dalam ragam ketimpangan yang tak
kalah lebar. Secara vertikal, hanya 26 persen dari total kapal ikan Indonesia
atau sekitar 5.000 kapal saja yang dapat izin pusat dengan ukuran di atas
30GT dan beroperasi di atas 12 mil laut. Kondisi
minimalis serupa juga tersaji di perairan internasional. Kapal ikan Indonesia
yang menangkap ikan tuna di sekitar perairan Samudra Hindia yang terdaftar di
Komisi Tuna Samudera Hindia (IOTC) berkurang dari 1.276 kapal (2014) menjadi
524 kapal (Juni 2021). Kapal ikan Indonesia yang terdaftar di Komisi
Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT) juga turun dari 413 kapal menjadi
176 kapal. Begitupun
di Komisi Perikanan Pasifik Barat dan Tengah (WCPFC) turun dari 361 kapal
menjadi 22 kapal. Bahkan, di Komisi Tuna Tropis Antar-Amerika (IATTC) yang
sebelumnya masih ada tujuh kapal, kini tak ada sama sekali. Lalu,
di mana sebenarnya sebagian besar kapal ikan Indonesia itu berada? Sebanyak
74 persen beroperasi di perairan kepulauan atau kurang dari 12 mil laut.
Jumlah ini belum termasuk ratusan ribu kapal ikan tak bermotor milik nelayan
kecil dan tradisional. Di
satu sisi, Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) relatif sepi sehingga
“memancing” masuknya kapal ikan asing pencuri ikan. Di sisi lain, perairan
kepulauan sangatlah padat. Nelayan kecil dan tradisional tak hanya saling
rebut dengan kapal-kapal berukuran menengah dan besar, tapi juga saling sikut
dengan sesama kapal kecil. Ketimpangan
serupa terlihat secara horizontal. Sebanyak 60 persen dari total 12,5 juta
ton potensi ikan Indonesia ada di timur. Sementara, sekitar 60 persen kapal
ikan dan 70 persen infrastruktur pelabuhan perikanan ada di barat. Itu
sebabnya, meski potensi ikan Indonesia lebih besar di timur, 64 persen dari
sekitar 7 juta ton total tangkapan ikan nasional di 2019 justru di barat dan
baru 36 persen sisanya di timur. Faktor
kedua, kondisi eksternal. Yakni, terus meningkatnya permintaan dan
perdagangan ikan di dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB memproyeksikan
konsumsi ikan dunia di 2030 menjadi 28 juta ton setara berat hidup, 18 persen
lebih tinggi dari 2018. Peningkatan
konsumsi terutama dipicu tingginya tuntutan perubahan gaya hidup sehat
masyarakat dan tren perdagangan komoditas ikan yang terus tumbuh. Nilai
ekspor global ikan dan produk ikan 1976-208 meningkat 8 persen per tahun
secara nominal dan 4 persen secara riil. Nilai ekspor 2018 lebih dari 20 kali
lipat 1976, yakni 7,8 miliar dollar AS. Jalan baru Masa
pandemi Covid-19 adalah waktu tepat untuk mengintegrasikan ikhtiar negara
dalam mengatasi pencurian ikan dengan mengurangi ketimpangan pembangunan
antara timur dan barat, memperkuat ekonomi berbasis laut, serta menjaga
keberlanjutan pangan-laut untuk anak bangsa. Indonesia
butuh tata kelola perikanan yang lebih baik guna mendukung lebih banyak lagi
armada ekonomi (kapal ikan) beroperasi di seluruh penjuru perairan Indonesia. Secara
operasional, dapat dilakukan melalui tiga langkah. Pertama, memperbaiki
ekosistem berusaha untuk memudahkan nelayan dan pelaku usaha perikanan lain
bersama-sama melakukan transformasi paradigmatik: dari perairan kepulauan ke
ZEEI, dari wilayah barat ke timur Indonesia, dari bahan baku ke produk
bernilai tambah. Arahan
Presiden Jokowi pada rapat sidang terbatas 5 April lalu dapat dijadikan
peluang mengakselerasi agenda transformasi ini. Presiden telah meminta
dinaikkannya rasio kredit perbankan untuk UMKM dari 20 persen menjadi di atas
30 persen di 2024. Plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa agunan dari
sebelumnya Rp 50 juta menjadi Rp 100 juta. Bahkan
maksimum pinjaman KUR yang sebelumnya Rp 500 juta direncanakan naik menjadi
Rp 20 miliar. Selain pembiayaan, fasilitasi kemudahan perizinan dan
pendampingan kemitraan usaha antara nelayan kecil, menengah dan besar harus
terus ditingkatkan. Kedua,
memperkuat korporatisasi nelayan berbasis koperasi. Peluangnya ada pada Pasal
26 Ayat (1) dan (2) PP No 7/2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan
Pemberdayaan Koperasi dan UMKM yang membuka peran koperasi nelayan untuk
kembali mengelola Tempat Pelelangan Ikan. Strategi
ini akan memudahkan koperasi melakukan konsolidasi hulu-hilir usaha nelayan
kecil dan tradisional jadi setara korporasi. Maka, perikanan rakyat tak lagi
hanya jadi “pemain belakang” (di bawah 12 mil laut), tetapi juga bisa
terlibat aktif dalam mengelola perikanan di ZEEI atau terdaftar di Organisasi
Pengelolaan Perikanan Regional (RFMOs) untuk beroperasi di laut lepas. Terakhir,
memperkuat kelembagaan Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam melakukan patroli
keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi
Indonesia. Sesuai
amanat UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, penugasan Bakamla dilakukan
secara terintegrasi dan terpadu dalam satu kesatuan komando dan kendali.
Penguatan Bakamla bukan sekadar menambah jumlah armada patroli, tetapi juga
dilengkapi sistem informasi maritim terpadu, SDM unggul dan dukungan anggaran
memadai. KKP
bisa kembali pada tugas dan fungsi utama memperbaiki tata kelola perikanan
dan kelautan nasional agar lebih optimal, adil, berkelanjutan. Jalan baru
menangkal pencurian ikan adalah menjadikan laut senyata-nyata ruang hidup
bangsa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar