Gerakan
#MeToo di China, Hanya di Permukaan atau Kian Menukik Laraswati Ariadne Anwar ; Wartawan Komppas |
KOMPAS, 8 Agustus 2021
Akhir-akhir
ini di China seolah muncul berbagai gebrakan terkait penanganan kejahatan
pelecehan seksual. Mulai dari penangkapan megabintang Kris Wu, pekan lalu,
hingga baru-baru ini pernyataan korporasi raksasa Alibaba untuk mendukung
penyelidikan polisi terhadap salah seorang pegawainya yang diduga melakukan
pelecehan seksual. Meskipun demikian, patut terus dipantau, apakah penanganan
kekerasan seksual dan berbasis jender ini mencapai akar atau baru sekadar di
permukaan. Direktur
Utama Alibaba Daniel Zhang mengeluarkan pernyataan pada Minggu (8/8/2021)
bahwa perusahaan teknologi digital raksasa itu sama sekali tidak menoleransi
pelecehan jenis apa pun, apalagi berupa kekerasan seksual. Pernyataan ini
keluar setelah polisi mengumumkan penyelidikan terhadap salah seorang manajer
di perusahaan tersebut. Kasus
ini berawal dengan laporan seorang perempuan yang bekerja di Alibaba kepada
polisi pekan lalu. Korban yang namanya tidak disebutkan demi melindungi
keselamatannya itu mengaku mengalami kekerasan seksual beberapa bulan
sebelumnya ketika sedang melakukan perjalanan dinas ke Provinsi Shandong
bersama manajernya. Korban
mengatakan, ia dipaksa minum miras hingga tidak sadarkan diri. Setelah itu,
ia dilecehkan oleh klien Alibaba, yaitu seorang petinggi dari perusahaan
supermarket Jinan Hualian. Manajer korban mengetahui hal ini, tetapi tidak
berbuat apa-apa alias membiarkan begitu saja. Sekembali
dari perjalanan dinas, korban mengadu kepada divisi sumber daya manusia di
Alibaba. Pengaduan ini pun tak membuahkan hasil. Laporannya tidak diacuhkan.
Oleh sebab itu, korban kemudian memutuskan melaporkan hal itu kepada pihak
kepolisian. Setelah Direktur Alibaba Zhang memberi pernyataan akan bekerja
sama dengan polisi, pihak Jinan Hualian Supermarket juga mengeluarkan
komitmen serupa dan tidak akan membela petinggi perusahaan mereka apabila
terbukti bersalah. Skandal Kris Wu Bulan
lalu, megabintang Kris Wu (30) dituduh memerkosa salah satu penggemarnya. Wu
adalah aktor sekaligus penyanyi keturunan China yang berkewarganegaraan
Kanada. Ia naik daun ketika bergabung dengan band Exo dan merintis solo
karier sejak tahun 2014. Wu merupakan pesohor yang paling diminati di China.
Ia adalah duta berbagai jenama, mulai dari mi instan hingga mobil mewah. Skandal
bermula ketika seorang perempuan bernama Du Meizhu menulis di media sosial bahwa ia diperkosa
oleh Wu ketika sedang tidak sadarkan diri akibat dipaksa minum miras. Menurut
Du, ia dikontak oleh Wu dan timnya di media sosial dengan iming-iming hendak
dijadikan model video klip untuk salah satu lagu Wu. Ketika
bertemu di rumah Wu, Du diajak minum miras meskipun baru berusia 17 tahun dan
setelah itu diperkosa. Manajer Wu beberapa waktu setelah itu memberikan uang
tutup mulut yang oleh Du dikembalikan. Akibat unggahan Du, setidaknya ada 24
perempuan yang tampil di media sosial dan mengaku telah dilecehkan juga oleh
Wu. Beberapa di antaranya berusia 14-16 tahun. Modusnya juga serupa, yaitu
ditawari menjad model iklan ataupun video klip. Wu
menyangkal tuduhan-tuduhan itu, tetapi berbagai jenama yang menyokong namanya
beramai-ramai memecat dia. Pekan lalu, polisi China pun menangkap Wu atas
tuduhan pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan. Jika terbukti, hukuman
penjara seumur hidup menantinya. Pascapenangkapan
Wu, Pemerintah China kemudian melakukan kampanye menyerang industri hiburan
di negara itu. Menurut pemerintah, industri hiburan memberi masyarakat
idola-idola palsu yang tidak menganut nilai moral sesuai adat istiadat China,
dalam hal ini adalah Partai Komunis China (PKC). Bahkan,
PKC juga menyerang media sosial, antara lain WeChat dan Weibo agar mereka
menghapus daftar pesohor terpopuler di China. Alasannya adalah nama-nama
artis ataupun pengimbas (influencer) yang ditampilkan tersebut memiliki
kepribadian tidak sesuai dengan moral partai. Di permukaan Penangkapan
Wu dan penyelidikan kasus di Alibaba ini disambut baik oleh warganet China.
Banyak yang menyuarakan bahwa orang-orang yang berada di posisi berkuasa,
baik karena uang maupun status sosial, kini tidak bisa lari dari tanggung
jawab. Namun, para pemerhati isu jender dan kekerasan justru mencemaskan
fenomena tersebut menjadi celah bagi pemerintah untuk menyikut
industri-industri yang dinilai tidak sesuai ideologi PKC. Dosen
Ilmu Komunikasi Chinese University in Hong Kong, Fang Kecheng, menilai
Pemerintah China mengambil kesempatan di tengah kasus yang melibatkan orang
terkenal. ”Dalam hal ini, pemerintah justru menegasikan gerakan Me Too (saya
juga) yang melawan semua jenis kekerasan berbasis jender. Pemerintah
memasukkan agenda politik, yaitu menyetir narasi kepada moral PKC. Saat ini
yang menjadi sasaran mereka adalah industri hiburan dengan tuduhan tidak
memberi masyarakat konten sesuai nilai-nilai PKC,” paparnya kepada majalah
Vice. Secara
teori, China telah mengakui kesetaraan jender jauh sebelum negara-negara lain
melakukannya. Konstitusi pertama China di tahun 1954 menyatakan bahwa setiap
laki-laki dan perempuan setara di bidang politik, ekonomi, dan budaya. China
juga termasuk negara pertama yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala
Jenis Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) di tahun 1980. Namun,
kenyataan berbeda di atas kertas. Tahun 2011, Dana Penduduk Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNFPA) mengeluarkan hasil kajian di China. Terungkap bahwa 52
persen laki-laki yang mengalami hubungan jangka panjang—baik berupa
pernikahan, pertunangan, maupun pacaran—pernah melakukan kekerasan fisik
ataupun seksual kepada pasangannya. Sebanyak 39 persen perempuan dalam
hubungan jangka panjang mengaku pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Diteliti
lebih lanjut, 86 persen pelaku mengaku melakukan kekerasan seksual bukan
karena marah atau dalam keadaan mabuk, melainkan karena menganggap dirinya
berhak melakukannya terhadap pasangannya. Laporan itu turut menjelaskan bahwa
42 persen laporan kekerasan seksual di polisi tidak ditindak. Sisanya
dilakukan tindakan, tetapi tidak tuntas. Pakar
ilmu komunikasi dari Universitas Jinan, Guangzhou, Lin Zhongxuan dan Liu
Yang, dalam makalah mereka di Asian Journal of Women’s Studies edisi 2019
menjelaskan, gerakan Me Too dari Amerika Serikat yang merupakan kebangkitan
para korban pelecehan untuk memastikan keadilan ditegakkan tiba di China pada tahun 2018. Gerakan
ini awalnya menjamur di perguruan tinggi. Universitas Beihang adalah kampus
pertama yang melaporkan adanya pelecehan oleh dosen kepada mahasiswi,
kemudian disusul oleh Universitas Peking. Setelah itu, laporan juga muncul
dari industri media dengan adanya aduan wartawan senior di stasiun televisi
pemerintah, CCTV, melecehkan seorang pegawai magang. Total di tahun 2018 ada
36 kasus yang diadukan kepada publik dan tidak ada yang ditindak. ”Pemerintah
justru membungkam gerakan Me Too. Berbagai unggahan korban di media sosial
diblokir dengan alasan meresahkan masyarakat dan tidak sesuai dengan nilai
budaya yang menyanjung keselarasan,” tulis makalah tersebut. Oleh
sebab itu, publik China menanti jika penangkapan Kris Wu dan penyelidikan
atas Alibaba adalah titik tolak pemberian keadilan kepada para korban
kekerasan berbasis jender atau ini hanya sebatas upaya pemerintah memperoleh
dukungan untuk kasus yang populis dan tanpa ada penerapan nyata di akar
rumput. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar